Dari Ayat-Ayat Cinta ke Dawson’s Creek: Jalan Ninja Kecakapan Seorang Pengarang
Rabu, 20 Maret 2024 - 05:40 WIB
Lantas, mengapa seorang pengarang tidak total mengarang saja tentang semuanya? Membuat karakter-karakter yang benar-benar fiktif, yang sama sekali tidak terhubung dengan dirinya, yang sama sekali bertolak belakang dengan kepribadiannya, dan bahkan dengan lingkungan tempat ia tinggal. Tentu saja bisa. Namun, pembaca yang jeli akan mampu menangkap kepura-puraan dan kekosongan rasa dalam karyanya. Ini seperti menikmati karya Vincent van Gogh dalam bentuk fotokopian. Tidak hanya hambar, tetapi juga absurd.
Akan tetapi, absurditas juga bisa lahir dari pola yang terulang tanpa sadar. Memang, tidak ada kebaruan di semesta ini. Semuanya sudah ada sejak awal. Hanya saja, semesta juga memiliki probabilitas yang tak terbatas. Mengapa kita tidak mencoba-coba bermain-main dengan komposisi baru? Takut ditinggal penggemar?
Well, tiap individu punya momennya masing-masing. Ada masanya mereka menggilai fiksi campur aduk, bahkan yang absurd sekali pun. Berikutnya akan beralih ke fiksi yang agak teratur dengan bobot pesan moral yang lebih berat. Berikutnya lagi akan beralih ke non fiksi seperti esai-esai yang ditulis orang lain dengan berbagai tema. Lagi pula, bukankah bahan bakar paling baik untuk seorang pengarang adalah karya tulis non fiksi?
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Saya agak mengalami kesulitan ketika harus betulan mengarang sosok imajiner. Mulai dari merancang karakternya, gesturnya, bahkan cara bicaranya, meskipun itu untuk sebuah karya tulis berbentuk cerita pendek. Bayangkan saja jika saya harus melakukannya untuk sebuah karya audio visual.
Tentu saja bukannya tidak bisa, tetapi jelas butuh usaha ekstra memikirkan segala detail agar tidak menimbulkan ketimpangan logika. Akan sangat terbantu jika sebelumnya saya banyak membaca buku mengenai psikologi dan antropologi. Ditambah riset ini dan itu, tentu menciptakan sosok imajiner tidak begitu sulit.
Pasti akan ada sedikit dari diri saya yang ikut lebur dalam sosok itu, tetapi tidak akan lebih menonjol ketimbang kepribadian hasil karangan. Dan, bicara soal logika dalam sebuah karya fiksi, ini akan memakan tempat yang cukup banyak juga. Mungkin di lain kesempatan akan saya buatkan artikel tersendiri.
Yang jelas, menjadi seorang pengarang berarti memegang dua sisi uang koin. Satu sisi, apa yang kita tulis ternyata mampu membuka identitas kita sebagai individu dalam sebuah masyarakat. Dan, di sisi lain, seorang pengarang tetap bisa bersembunyi di balik topeng, “Itu hanya fiksi, kok.”
Sekian.
Denpasar, 15 Maret 2024
Akan tetapi, absurditas juga bisa lahir dari pola yang terulang tanpa sadar. Memang, tidak ada kebaruan di semesta ini. Semuanya sudah ada sejak awal. Hanya saja, semesta juga memiliki probabilitas yang tak terbatas. Mengapa kita tidak mencoba-coba bermain-main dengan komposisi baru? Takut ditinggal penggemar?
Well, tiap individu punya momennya masing-masing. Ada masanya mereka menggilai fiksi campur aduk, bahkan yang absurd sekali pun. Berikutnya akan beralih ke fiksi yang agak teratur dengan bobot pesan moral yang lebih berat. Berikutnya lagi akan beralih ke non fiksi seperti esai-esai yang ditulis orang lain dengan berbagai tema. Lagi pula, bukankah bahan bakar paling baik untuk seorang pengarang adalah karya tulis non fiksi?
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Saya agak mengalami kesulitan ketika harus betulan mengarang sosok imajiner. Mulai dari merancang karakternya, gesturnya, bahkan cara bicaranya, meskipun itu untuk sebuah karya tulis berbentuk cerita pendek. Bayangkan saja jika saya harus melakukannya untuk sebuah karya audio visual.
Tentu saja bukannya tidak bisa, tetapi jelas butuh usaha ekstra memikirkan segala detail agar tidak menimbulkan ketimpangan logika. Akan sangat terbantu jika sebelumnya saya banyak membaca buku mengenai psikologi dan antropologi. Ditambah riset ini dan itu, tentu menciptakan sosok imajiner tidak begitu sulit.
Pasti akan ada sedikit dari diri saya yang ikut lebur dalam sosok itu, tetapi tidak akan lebih menonjol ketimbang kepribadian hasil karangan. Dan, bicara soal logika dalam sebuah karya fiksi, ini akan memakan tempat yang cukup banyak juga. Mungkin di lain kesempatan akan saya buatkan artikel tersendiri.
Yang jelas, menjadi seorang pengarang berarti memegang dua sisi uang koin. Satu sisi, apa yang kita tulis ternyata mampu membuka identitas kita sebagai individu dalam sebuah masyarakat. Dan, di sisi lain, seorang pengarang tetap bisa bersembunyi di balik topeng, “Itu hanya fiksi, kok.”
Sekian.
Denpasar, 15 Maret 2024
tulis komentar anda