Dari Ayat-Ayat Cinta ke Dawson’s Creek: Jalan Ninja Kecakapan Seorang Pengarang

Rabu, 20 Maret 2024 - 05:40 WIB
Saya rasa jika ada tuduhan ‘kurang riset’ dilayangkan kepada seorang pengarang, itu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga bukan berarti aman-aman saja. Riset sangat diperlukan, meskipun kita mengklaim bahwa kita menguasai tema tersebut.

Kapasitas memori manusia amat terbatas. Ada kalanya kita melewatkan sebuah detail kecil namun krusial. Riset juga membuat sudut pandang kita meluas. Kita bisa memberi narasi dari perspektif yang berbeda. Atau yang lebih jauh lagi, kita mungkin akan mendapat tema baru untuk dibahas.

Hanya menulis apa yang kita ketahui membuat kita berada di dalam pagar. Gerak kita amat terbatas. Memang, detail bisa dimodifikasi, tetapi tidak dengan pola. Mengapa pola bisa terlacak? Ya, karena kolamnya hanya satu. Tiap hari berenang di tempat yang sama, tentu gerakannya terekam begitu saja di bawah sadar. Ditambah lagi ekosistem yang tidak berubah, atau malah kita yang menolak berubah karena telanjur terbuai kenyamanan semu.

Sementara itu, ketika kita menulis apa yang ingin kita ketahui, jelas akan membuka pikiran lebih luas lagi. Semesta ini tidak terbatas―anggaplah begitu. Jadi, mengapa kita tidak mencoba menjelajah lebih jauh? Saya belum lupa rasanya ketika menemukan hal-hal baru yang menarik minat saya saat melakukan sebuah riset.

baca juga: 6 Penulis Manga Populer yang Sosoknya Misterius

Yang menarik lagi jika kita membahas gairah seorang pengarang. Rata-rata pengarang menciptakan karakter dari sosok yang ada di dekat mereka. Bisa dari teman, orang tua, anak, rekan kerja di kantor, atau yang paling sering diambil adalah diri sendiri.

Kevin Williamson, pengarang serial Dawson’s Creek, mengaku membagi-bagi kepribadiannya untuk tokoh-tokoh ciptaannya. Osamu Dazai kerap menulis tentang keinginan bunuh diri. Ya, karena memang itulah yang dialaminya, di samping budaya itu memang menjadi semacam trademark di Jepang. Siapa lagi yang bisa dijadikan contoh? Pram? Tentu saja ia menulis apa yang ada di sekelilingnya, termasuk memakai kisah dirinya sendiri (serta keluarganya) sebagai bahan.

Nah, jika tidak hati-hati, bahkan identitas terdalam pun bisa muncul ke permukaan. Soal fetish misalnya, tentang bentuk keminatan seksual. Saya ambil contoh diri saya sendiri. Tanpa sadar, saya banyak menciptakan karakter pria dewasa yang piawai bermain gitar. Tidak peduli level ketampanannya, keahlian bermain gitar itu semacam meningkatkan nilai diri si tokoh. Mengapa? Ya, karena di mata saya, pria yang piawai bermain gitar itu sangat seksi dan menawan.

Dan, jika itu perempuan, seringnya saya akan membuat ia menggemari buku, kopi, dan/atau musik. Mengapa? Ya, karena saya bisa menjelaskan panjang lebar soal sensasi fisik dan non fisik ketika si tokoh berkelindan dengan tiga hal tersebut. Toh memang saya mengalaminya.

Jiwa Atmaja, dalam bukunya Kritik Sastra Kiri, membeberkan perihal kaitan sebuah karya dan identitas penulisnya. Dijelaskan di sana bahwa sebuah karya mampu menyingkap identitas penulisnya, bahkan jenis komunitas tempat si penulis tinggal. Identitas di sini cakupannya luas. Bisa tentang ideologinya, prinsip ekonomi yang dipegang, kepercayaan terhadap agama atau spiritualisme, dan termasuk soal fetish tadi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More