Dari Ayat-Ayat Cinta ke Dawson’s Creek: Jalan Ninja Kecakapan Seorang Pengarang

Rabu, 20 Maret 2024 - 05:40 WIB
Yang menarik lagi jika kita membahas gairah seorang pengarang. Rata-rata pengarang menciptakan karakter dari sosok yang ada di dekat mereka. Bisa dari teman, orang tua, anak, rekan kerja di kantor, atau yang paling sering diambil adalah diri sendiri.

Kevin Williamson, pengarang serial Dawson’s Creek, mengaku membagi-bagi kepribadiannya untuk tokoh-tokoh ciptaannya. Osamu Dazai kerap menulis tentang keinginan bunuh diri. Ya, karena memang itulah yang dialaminya, di samping budaya itu memang menjadi semacam trademark di Jepang. Siapa lagi yang bisa dijadikan contoh? Pram? Tentu saja ia menulis apa yang ada di sekelilingnya, termasuk memakai kisah dirinya sendiri (serta keluarganya) sebagai bahan.

Nah, jika tidak hati-hati, bahkan identitas terdalam pun bisa muncul ke permukaan. Soal fetish misalnya, tentang bentuk keminatan seksual. Saya ambil contoh diri saya sendiri. Tanpa sadar, saya banyak menciptakan karakter pria dewasa yang piawai bermain gitar. Tidak peduli level ketampanannya, keahlian bermain gitar itu semacam meningkatkan nilai diri si tokoh. Mengapa? Ya, karena di mata saya, pria yang piawai bermain gitar itu sangat seksi dan menawan.

Dan, jika itu perempuan, seringnya saya akan membuat ia menggemari buku, kopi, dan/atau musik. Mengapa? Ya, karena saya bisa menjelaskan panjang lebar soal sensasi fisik dan non fisik ketika si tokoh berkelindan dengan tiga hal tersebut. Toh memang saya mengalaminya.

Jiwa Atmaja, dalam bukunya Kritik Sastra Kiri, membeberkan perihal kaitan sebuah karya dan identitas penulisnya. Dijelaskan di sana bahwa sebuah karya mampu menyingkap identitas penulisnya, bahkan jenis komunitas tempat si penulis tinggal. Identitas di sini cakupannya luas. Bisa tentang ideologinya, prinsip ekonomi yang dipegang, kepercayaan terhadap agama atau spiritualisme, dan termasuk soal fetish tadi.

Lantas, mengapa seorang pengarang tidak total mengarang saja tentang semuanya? Membuat karakter-karakter yang benar-benar fiktif, yang sama sekali tidak terhubung dengan dirinya, yang sama sekali bertolak belakang dengan kepribadiannya, dan bahkan dengan lingkungan tempat ia tinggal. Tentu saja bisa. Namun, pembaca yang jeli akan mampu menangkap kepura-puraan dan kekosongan rasa dalam karyanya. Ini seperti menikmati karya Vincent van Gogh dalam bentuk fotokopian. Tidak hanya hambar, tetapi juga absurd.

Akan tetapi, absurditas juga bisa lahir dari pola yang terulang tanpa sadar. Memang, tidak ada kebaruan di semesta ini. Semuanya sudah ada sejak awal. Hanya saja, semesta juga memiliki probabilitas yang tak terbatas. Mengapa kita tidak mencoba-coba bermain-main dengan komposisi baru? Takut ditinggal penggemar?

Well, tiap individu punya momennya masing-masing. Ada masanya mereka menggilai fiksi campur aduk, bahkan yang absurd sekali pun. Berikutnya akan beralih ke fiksi yang agak teratur dengan bobot pesan moral yang lebih berat. Berikutnya lagi akan beralih ke non fiksi seperti esai-esai yang ditulis orang lain dengan berbagai tema. Lagi pula, bukankah bahan bakar paling baik untuk seorang pengarang adalah karya tulis non fiksi?

baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!

Saya agak mengalami kesulitan ketika harus betulan mengarang sosok imajiner. Mulai dari merancang karakternya, gesturnya, bahkan cara bicaranya, meskipun itu untuk sebuah karya tulis berbentuk cerita pendek. Bayangkan saja jika saya harus melakukannya untuk sebuah karya audio visual.

Tentu saja bukannya tidak bisa, tetapi jelas butuh usaha ekstra memikirkan segala detail agar tidak menimbulkan ketimpangan logika. Akan sangat terbantu jika sebelumnya saya banyak membaca buku mengenai psikologi dan antropologi. Ditambah riset ini dan itu, tentu menciptakan sosok imajiner tidak begitu sulit.

Pasti akan ada sedikit dari diri saya yang ikut lebur dalam sosok itu, tetapi tidak akan lebih menonjol ketimbang kepribadian hasil karangan. Dan, bicara soal logika dalam sebuah karya fiksi, ini akan memakan tempat yang cukup banyak juga. Mungkin di lain kesempatan akan saya buatkan artikel tersendiri.

Yang jelas, menjadi seorang pengarang berarti memegang dua sisi uang koin. Satu sisi, apa yang kita tulis ternyata mampu membuka identitas kita sebagai individu dalam sebuah masyarakat. Dan, di sisi lain, seorang pengarang tetap bisa bersembunyi di balik topeng, “Itu hanya fiksi, kok.”

Sekian.

Denpasar, 15 Maret 2024
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More