Indonesia Tidak Mau Laut China Selatan Jadi Episentrum Konflik
Selasa, 19 Maret 2024 - 18:14 WIB
Dalam webinar ini, selain Menko Polhukam, hadir sebagai pembicara Dubes Berkuasa Penuh RI untuk Filipina Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan Co-Founder ISDS Erik Purnama Putra. Hasil survei terbaru kerja sama ISDS dan Litbang Kompas tentang persepsi masyarakat soal kedaulatan negara mengungkap temuan-temuan yang menarik.
Isu perselisihan antar negara di Laut China Selatan, paling banyak dipersepsikan dengan kedaulatan wilayah. 30,5% responden menjawab batas maritim/negara/laut merupakan sumber konflik. Disusul oleh faktor ekonomi yakni sumber daya alam sebanyak 29,7%. Wilayah strategis menempati urutan ketiga dengan 21,8% jumlah responden.
Begitu juga ancaman dari luar bagi kedaulatan wilayah Indonesia di sekitar perairan Laut China Selatan juga dipicu oleh perebutan penguasaan wilayah maritim sebanyak 37,5%. Sebanyak 22% responden menyatakan tak ada ancaman dari luar. Selanjutnya pencurian sumber daya alam merupakan faktor pemicu ketiga dengan 17,2% responden.
Sementara itu, kehadiran China di Laut China Selatan dianggap menjadi ancaman bagi negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Sebanyak 78,9 % responden menyebut manuver China di Laut China Selatan mengancam negara-negara ASEAN. Mayoritas yang mendukung persepsi itu disampaikan oleh Gen Y sebanyak 34%, Gen X (31,9%), Baby Boomer (22,3%), dan Gen Z (11,6%). Berdasarkan usia: Gen Z (17-26 tahun), Gen Y (27-42 tahun), Gen X (43-58 tahun) dan Baby Boomer (> 58 tahun).
Sedangkan, 73,1 % responden menyatakan kedaulatan Indonesia juga terancam oleh China di Kawasan tersebut. Fenomena ini didukung oleh Gen X sebanyak 40,9% responden, Baby Boomer (22,6%), Gen Y (20,8%) dan Gen Z (15,7%). Sebagian responden menilai ASEAN sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut China Selatan.
Malaysia adalah negara ASEAN yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5%, disusul Singapura 15,8% dan Filipina 12,7%. Dalam kaitan itu, Indonesia bisa melakukan sejumlah langkah kerja sama dengan ASEAN. Di antaranya: membuat aliansi pertahanan (47% responden), kerja sama penelitian dan teknologi (16,4%), pendidikan untuk perwira TNI (16,2%) hingga pengembangan industri pertahanan Indonesia (14,5%) dan latihan bersama (12,5%).
Setelah ASEAN, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah Amerika Serikat (AS) sebanyak 16,7% responden, China (14,3%), Rusia (8,4%), Jepang (3,9%), Uni Eropa (3,4%), Korea Selatan (1,6%), Israel (0,2%). Sebanyak 8,1% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab. Bentuk kerja sama yang bisa dilakukan Indonesia dengan AS di antaranya pengembangan industri pertahanan Indonesia sebanyak 23,6% responden, pembelian senjata (22,4%), membuat aliansi pertahanan (21,6%) dan latihan bersama (20,8%).
Adapun, dengan China, Indonesia juga bisa menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah dengan berbagai cara. Di antaranya: meningkatkan perekonomian sebanyak 33%, membuat aliansi pertahanan (31,8%), pengembangan industri pertahanan Indonesia (13,1%), pendidikan untuk perwira TNI (11,8%) serta pembelian senjata (10%).
Sementara itu, membuat aliansi pertahanan ternyata merupakan kerja sama yang paling diharapkan untuk memperkuat kedaulatan wilayah Indonesia di Laut China Selatan. Jumlahnya 35,3% responden. Bentuk kerja sama lain yang diharapkan responden adalah pengembangan industri pertahanan Indonesia (15,7%), kerja sama penelitian dan teknologi (13,2%) dan pendidikan untuk perwira TNI (13,2%). Sedangkan, latihan bersama mendapat dukungan 11,6% responden.
Dengan siapa Indonesia sebaiknya menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah? Ternyata 52,1% responden mengharapkan Indonesia membuat aliansi pertahanan dengan ASEAN. Pilihan kedua Indonesia sebaiknya membuat alianasi pertahanan dengan China sebanyak 12,9%, Rusia (10,5%), Amerika Serikat (10,2%), Uni Eropa (3.7%), Korea Selatan (2,4%), Jepang (1,6%), Australia (1,2%) dan Israel (0,6%).
Isu perselisihan antar negara di Laut China Selatan, paling banyak dipersepsikan dengan kedaulatan wilayah. 30,5% responden menjawab batas maritim/negara/laut merupakan sumber konflik. Disusul oleh faktor ekonomi yakni sumber daya alam sebanyak 29,7%. Wilayah strategis menempati urutan ketiga dengan 21,8% jumlah responden.
Begitu juga ancaman dari luar bagi kedaulatan wilayah Indonesia di sekitar perairan Laut China Selatan juga dipicu oleh perebutan penguasaan wilayah maritim sebanyak 37,5%. Sebanyak 22% responden menyatakan tak ada ancaman dari luar. Selanjutnya pencurian sumber daya alam merupakan faktor pemicu ketiga dengan 17,2% responden.
Sementara itu, kehadiran China di Laut China Selatan dianggap menjadi ancaman bagi negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Sebanyak 78,9 % responden menyebut manuver China di Laut China Selatan mengancam negara-negara ASEAN. Mayoritas yang mendukung persepsi itu disampaikan oleh Gen Y sebanyak 34%, Gen X (31,9%), Baby Boomer (22,3%), dan Gen Z (11,6%). Berdasarkan usia: Gen Z (17-26 tahun), Gen Y (27-42 tahun), Gen X (43-58 tahun) dan Baby Boomer (> 58 tahun).
Sedangkan, 73,1 % responden menyatakan kedaulatan Indonesia juga terancam oleh China di Kawasan tersebut. Fenomena ini didukung oleh Gen X sebanyak 40,9% responden, Baby Boomer (22,6%), Gen Y (20,8%) dan Gen Z (15,7%). Sebagian responden menilai ASEAN sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut China Selatan.
Malaysia adalah negara ASEAN yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5%, disusul Singapura 15,8% dan Filipina 12,7%. Dalam kaitan itu, Indonesia bisa melakukan sejumlah langkah kerja sama dengan ASEAN. Di antaranya: membuat aliansi pertahanan (47% responden), kerja sama penelitian dan teknologi (16,4%), pendidikan untuk perwira TNI (16,2%) hingga pengembangan industri pertahanan Indonesia (14,5%) dan latihan bersama (12,5%).
Setelah ASEAN, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah Amerika Serikat (AS) sebanyak 16,7% responden, China (14,3%), Rusia (8,4%), Jepang (3,9%), Uni Eropa (3,4%), Korea Selatan (1,6%), Israel (0,2%). Sebanyak 8,1% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab. Bentuk kerja sama yang bisa dilakukan Indonesia dengan AS di antaranya pengembangan industri pertahanan Indonesia sebanyak 23,6% responden, pembelian senjata (22,4%), membuat aliansi pertahanan (21,6%) dan latihan bersama (20,8%).
Adapun, dengan China, Indonesia juga bisa menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah dengan berbagai cara. Di antaranya: meningkatkan perekonomian sebanyak 33%, membuat aliansi pertahanan (31,8%), pengembangan industri pertahanan Indonesia (13,1%), pendidikan untuk perwira TNI (11,8%) serta pembelian senjata (10%).
Sementara itu, membuat aliansi pertahanan ternyata merupakan kerja sama yang paling diharapkan untuk memperkuat kedaulatan wilayah Indonesia di Laut China Selatan. Jumlahnya 35,3% responden. Bentuk kerja sama lain yang diharapkan responden adalah pengembangan industri pertahanan Indonesia (15,7%), kerja sama penelitian dan teknologi (13,2%) dan pendidikan untuk perwira TNI (13,2%). Sedangkan, latihan bersama mendapat dukungan 11,6% responden.
Dengan siapa Indonesia sebaiknya menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah? Ternyata 52,1% responden mengharapkan Indonesia membuat aliansi pertahanan dengan ASEAN. Pilihan kedua Indonesia sebaiknya membuat alianasi pertahanan dengan China sebanyak 12,9%, Rusia (10,5%), Amerika Serikat (10,2%), Uni Eropa (3.7%), Korea Selatan (2,4%), Jepang (1,6%), Australia (1,2%) dan Israel (0,6%).
Lihat Juga :
tulis komentar anda