Indonesia Tidak Mau Laut China Selatan Jadi Episentrum Konflik

Selasa, 19 Maret 2024 - 18:14 WIB
loading...
Indonesia Tidak Mau Laut China Selatan Jadi Episentrum Konflik
Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto mengungkapkan Indonesia wajib menjalankan mandat Pembukaan UUD 1945 Alinea 4, untuk ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia tidak menginginkan kawasan Laut China Selatan menjadi ajang proyeksi kekuatan negara Major Powers dan menjadi episentrum konflik. Sebaliknya, Indonesia harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi Sea of Peace.

Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto mengungkapkan Indonesia wajib menjalankan mandat Pembukaan UUD 1945 Alinea 4, untuk ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

“Kita harus terus menyerukan agar semua pihak menahan diri dari aksi yang dapat memicu insiden, menjaga status quo, serta menggunakan cara-cara non-kekerasan dan perundingan damai yang berdasarkan norma hukum internasional, utamanya UNCLOS 1982,” kata Hadi Tjahjanto saat menjadi Webinar bertema “Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan yang diadakan oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) pada Selasa (19/3/2024).



Lebih jauh, dia mengungkapkan sengketa wilayah di Laut China Selatan menjadi semakin kompleks dengan menguatnya rivalitas geopolitik Major Powers di kawasan, utamanya antara Amerika Serikat dan China. Sikap China yang semakin asertif, bahkan agresif, di Laut China Selatan diikuti oleh peningkatan kehadiran militer asing, utamanya Amerika Serikat dan sekutunya. Amerika Serikat juga membangun kekuatan aliansi, yaitu AUKUS dan QUAD, untuk membendung pengaruh China di kawasan. AS ingin menegaskan agar prinsip freedom of navigation tetap berlaku di Laut China Selatan.

Dalam merespons permasalahan Laut China Selatan di bidang pertahanan dan keamanan, pemerintah Indonesia telah menguatkan keamanan Laut Natuna Utara melalui kecukupan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI.

“Salah satu kunci dialog dengan RRT (China) adalah melalui ASEAN. Indonesia, sebagai natural leader di ASEAN adalah motor penggerak di ASEAN yang selalu menghasilkan terobosan. Oleh karena itu, kita perlu memperkuat soliditas dan sentralitas ASEAN serta membangun posisi bersama ASEAN untuk isu Laut China Selatan,” katanya.

Menko Polhukam mengungkapkan perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang. Salah perhitungan akan membawa pada situasi konflik yang akan merugikan bersama.

“RRT (China) merupakan mitra komprehensif strategis bagi Indonesia dan ASEAN, yang memiliki peran sentral dalam perdamaian dan stabilitas kawasan, dan penting untuk terus kita engage di semua lini, baik melalui dialog dan kerjasama praktis di Laut China Selatan,’’ tegasnya.

Dalam webinar ini, selain Menko Polhukam, hadir sebagai pembicara Dubes Berkuasa Penuh RI untuk Filipina Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan Co-Founder ISDS Erik Purnama Putra. Hasil survei terbaru kerja sama ISDS dan Litbang Kompas tentang persepsi masyarakat soal kedaulatan negara mengungkap temuan-temuan yang menarik.

Isu perselisihan antar negara di Laut China Selatan, paling banyak dipersepsikan dengan kedaulatan wilayah. 30,5% responden menjawab batas maritim/negara/laut merupakan sumber konflik. Disusul oleh faktor ekonomi yakni sumber daya alam sebanyak 29,7%. Wilayah strategis menempati urutan ketiga dengan 21,8% jumlah responden.

Begitu juga ancaman dari luar bagi kedaulatan wilayah Indonesia di sekitar perairan Laut China Selatan juga dipicu oleh perebutan penguasaan wilayah maritim sebanyak 37,5%. Sebanyak 22% responden menyatakan tak ada ancaman dari luar. Selanjutnya pencurian sumber daya alam merupakan faktor pemicu ketiga dengan 17,2% responden.

Sementara itu, kehadiran China di Laut China Selatan dianggap menjadi ancaman bagi negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Sebanyak 78,9 % responden menyebut manuver China di Laut China Selatan mengancam negara-negara ASEAN. Mayoritas yang mendukung persepsi itu disampaikan oleh Gen Y sebanyak 34%, Gen X (31,9%), Baby Boomer (22,3%), dan Gen Z (11,6%). Berdasarkan usia: Gen Z (17-26 tahun), Gen Y (27-42 tahun), Gen X (43-58 tahun) dan Baby Boomer (> 58 tahun).

Sedangkan, 73,1 % responden menyatakan kedaulatan Indonesia juga terancam oleh China di Kawasan tersebut. Fenomena ini didukung oleh Gen X sebanyak 40,9% responden, Baby Boomer (22,6%), Gen Y (20,8%) dan Gen Z (15,7%). Sebagian responden menilai ASEAN sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut China Selatan.

Malaysia adalah negara ASEAN yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5%, disusul Singapura 15,8% dan Filipina 12,7%. Dalam kaitan itu, Indonesia bisa melakukan sejumlah langkah kerja sama dengan ASEAN. Di antaranya: membuat aliansi pertahanan (47% responden), kerja sama penelitian dan teknologi (16,4%), pendidikan untuk perwira TNI (16,2%) hingga pengembangan industri pertahanan Indonesia (14,5%) dan latihan bersama (12,5%).

Setelah ASEAN, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah Amerika Serikat (AS) sebanyak 16,7% responden, China (14,3%), Rusia (8,4%), Jepang (3,9%), Uni Eropa (3,4%), Korea Selatan (1,6%), Israel (0,2%). Sebanyak 8,1% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab. Bentuk kerja sama yang bisa dilakukan Indonesia dengan AS di antaranya pengembangan industri pertahanan Indonesia sebanyak 23,6% responden, pembelian senjata (22,4%), membuat aliansi pertahanan (21,6%) dan latihan bersama (20,8%).

Adapun, dengan China, Indonesia juga bisa menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah dengan berbagai cara. Di antaranya: meningkatkan perekonomian sebanyak 33%, membuat aliansi pertahanan (31,8%), pengembangan industri pertahanan Indonesia (13,1%), pendidikan untuk perwira TNI (11,8%) serta pembelian senjata (10%).

Sementara itu, membuat aliansi pertahanan ternyata merupakan kerja sama yang paling diharapkan untuk memperkuat kedaulatan wilayah Indonesia di Laut China Selatan. Jumlahnya 35,3% responden. Bentuk kerja sama lain yang diharapkan responden adalah pengembangan industri pertahanan Indonesia (15,7%), kerja sama penelitian dan teknologi (13,2%) dan pendidikan untuk perwira TNI (13,2%). Sedangkan, latihan bersama mendapat dukungan 11,6% responden.

Dengan siapa Indonesia sebaiknya menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah? Ternyata 52,1% responden mengharapkan Indonesia membuat aliansi pertahanan dengan ASEAN. Pilihan kedua Indonesia sebaiknya membuat alianasi pertahanan dengan China sebanyak 12,9%, Rusia (10,5%), Amerika Serikat (10,2%), Uni Eropa (3.7%), Korea Selatan (2,4%), Jepang (1,6%), Australia (1,2%) dan Israel (0,6%).

Ada 4,6% responden tidak tahu atau tidak menjawab. Dan mayoritas responden itu berasal dari Gen Y sebanyak 38,9%, Gen X (24,7%), Gen Z (18,7%) dan Baby Boomer (15%). Untuk penelitian ini dilakukan secara kuantitatif melalui survei jajak pendapat via telepon kepada 312 responden dengan margin of error 5,6%. Wilayah Survei ada di lima kota yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar. Jajak Pendapat dilakukan melalui telepon dengan teknik pengambilan sampel, yakni simple random sampling dari database Litbang Kompas.

Agus Widjojo mengungkapkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia terhadap masalah kedaulatan negara sudah cukup baik. Hanya saja, memang perlu dirumuskan dulu apa yang dimaksudkan dengan kedaulatan tersebut apakah ancaman fisik nyata berupa wilayah atau ancaman berupa kebijakan politik atau ekonomi.

Karena hal itu akan berpengaruh pada cara masyarakat dalam melihat kedaulatan tersebut. Menurut dia, ancaman kedaulatan dipahami masyarakat yang diteliti dalam survei adalah masalah luar negeri. Sehingga, ancaman kedaulatan itu punya makna tunggal yaitu ancaman dari luar negeri. “Hal itu semakin menegaskan bahwa ancaman kedaulatan memang berasal dari luar negeri,” katanya.

Ancaman jarang dari dalam negeri karena pemerintah punya sistem hukum hingga mudah menegakkan jika ada pelanggaran. Jika ancaman dari luar negeri seperti di Laut China Selatan meski Indonesia mengatakan ada UNCLOS atau Indonesia punya hak berdaulat dan kedaulatan tapi jika negara yang dihadapi bersikeras tidak mau mengakui maka diperlukan upaya lain untuk mencapai kepentingan nasional.

Agus mengungkapkan jika masalah Laut China Selatan sampai meningkat statusnya menjadi konflik, hal itu tidak akan menguntungkan siapa pun. Karena itu, Indonesia harus terus mencari cara lain yang lebih baik dan disepakati bersama melalui diplomasi. “Diplomasi atau negoisasi tidak bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu atau satu bulan, tapi itu bisa berjalan dalam jangka waktu yang lama. Artinya diplomasi harus terus jalan sampai dicapai titik temu bersama,” jelasnya.

Agus sepakat bahwa ASEAN bisa menjadi tumpuan kerja sama bagi Indonesia untuk mengatasi konflik di kawasan tersebut. Karena ASEAN memang merupakan fokus dari kebijakan luar negeri Indonesia. “Pembentukan aliansi di luar ASEAN, misal dengan AS, Rusia, China, dan lainnya, tidak mungkin tidak disadari implikasinya. Kalau kita beraliansi dengan negara adidaya, berarti kita sudah berpihak ke salah satu blok,” jelasnya.

Padahal Indonesia memiliki kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Kepala Bakamla RI Laksdya Irvansyah yang hadir sebagai peserta menjelaskan, dalam kondisi damai bisa saja Bakamla dimajukan dalam menangani masalah di Laut China Selatan. Tentu saja, Bakamla tetap perlu di-back up TNI AL dalam patroli menghadapi gangguan atau ancaman di Laut China Selatan atau Laut Natuna Utara.

Hal itu lantaran pelanggaran yang terjadi di Laut China Selatan lebih banyak karena pencurian ikan yang dilakukan negara Vietnam. Pun kapal coast guard China yang masuk ke wilayah Perairan Natuna Utara. Karena itu, Irvansyah mendorong agar coast guard negara ASEAN bisa lebih intensif dalam menjalin kerja sama dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan.

Co-Founder ISDS Erik Purnama Putra mengungkapkan ancaman nyata kedaulatan di Laut China Selatan tidak bisa ditangani sendiri oleh Indonesia. Menurut dia, Indonesia harus menggandeng negara anggota ASEAN untuk bersama-sama menyuarakan aspirasinya. ‘’Sebagai negara Non-Blok, RI tidak bisa membentuk aliansi militer, melainkan mencari kawan untuk mengatasi masalah bersama,’’ ungkap Erik.

Karena itu, Erik mengungkapkan perlunya para stakeholders keamanan laut, termasuk TNI dan Bakamla melakukan koordinasi dengan lebih ketat. Tujuannya, agar patroli bisa lebih dilakukan efisien dan efektif dari sisi sumber daya.

“Oleh karena itu, ISDS menggarisbawahi, aturan dan implementasi tentang keamanan laut perlu lebih dikembangkan agar tidak ada tumpang tindih. Pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya berupa anggaran lebih banyak untuk keamanan laut,” paparnya.

Selain itu, Pemerintah RI yaitu Kemlu, Kemhan, dan TNI perlu mendorong keberlanjutan ASEX (ASEAN Solidarity Exercise) yang telah digagas Indonesia pada saat menjadi Ketua ASEAN 2023. Menurut Erik, latihan bersama militer-militer khusus ASEAN ini sangat penting dari sisi diplomasi dan taktik/teknis serta komunikasi antar militer ASEAN.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1236 seconds (0.1#10.140)