Prinsip Praduga Tak Bersalah Dalam Perampasan Aset Korupsi
Senin, 18 Maret 2024 - 14:39 WIB
Sedangkan metode pembuktikan terbalik dalam perampasan aset melalui tuntutan keperdataan menggunakan metode pembuktian yang disebut Balanced Probability Principle atau pembuktian keseimbangan yang tujuan utamanya adalah mengembalikan aset korupsi dengan cara terdakwa pemilik aset wajib membuktikan keabsahan kepemilikan asetnya, dilandaskan pada prinsip presumption of guilt atau praduga bersalah terhadap setiap sen asset yang di duga berasal dari korupsi.
Namun demikian, dalam praktik hukum penerapan pembuktian konvensional pembuktian melalui penuntutan pidana tidaklah rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka dengan dianutnya prinsip praduga tak bersalah. Berbeda dengan penuntutan keperdataan kerentanan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka- dengan prinsip praduga bersalah atas aset korupsi yang notabene rentan terhadap pelanggaran hak asasi terdakwa-praduga tidak bersalah, dapat dimitigasi dengan metode pembuktian terbalik berada pada terdakwa bahwa kepemilikan aset-aset tidak berasal dari korupsi.
Pola perampasan aset melalui tuntutan pidana dan keperdataan telah dicantumkan dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sampai saat ini belum diberlakukan. Masalah kontroversi antara di satu sisi, kehendak untuk melaksanakan perampasan terhadap aset-aset yang berasal dari kejahatan dan di sisi lain keterikatan banyak negara atas ICCPR 1966 dan Konstitusi negara telah membawa masalah tersendiri bagaimana meningkatkan upaya negara/pemerintah melakukan pemberantasan kejahatan khususnya yang dilakukan oleh organisasi internasional dalam kejahatan (international and transnational organized crimes).
Dampak negatif yang bersifat masif dan dijalankan secara terstruktur dan sistematis organisasi internasional dalam kejahatan diperkirakan memiliki dana anggaran mencapai ¾ dari anggaran negara-negara berkembang sehingga dengan kekuatan finansial yang signifikan dan dukungan teknologi komunikasi yang canggih tidak dapat dinafikkan bahwa ia dapat menguasai suatu negara yang miskin bahkan negara yang berkembang.
Dampak negatif dari akibat kejahatan organisasi internasional yang telah merusak sistem perekonomian dunia pada umumnya dan negara-negara berkembang pada khususnya adalah kejahatan pencucian uang di mana uang hasil kejahatan yang tersebar di berbagai negara telah di-recycle kembali ke negara-negara tujuan melalui sistem keuangan dan perbankan masing-masing negara tersebut.
Melihat betapa luas dampak negatif dari kegiatan organisasi kejahatan internasional ini maka perampasan aset tindak pidana melalui dua pola pendekatan secara paralel, pola kepidanaan dan keperdataan, merupakan solusi terkini, aktual, dan relevan dengan perkembangan kualitatif dan kuantitatif kejahatan baik pada level nasional, transnasional, dan internasional.
Namun demikian, dalam praktik hukum penerapan pembuktian konvensional pembuktian melalui penuntutan pidana tidaklah rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka dengan dianutnya prinsip praduga tak bersalah. Berbeda dengan penuntutan keperdataan kerentanan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka- dengan prinsip praduga bersalah atas aset korupsi yang notabene rentan terhadap pelanggaran hak asasi terdakwa-praduga tidak bersalah, dapat dimitigasi dengan metode pembuktian terbalik berada pada terdakwa bahwa kepemilikan aset-aset tidak berasal dari korupsi.
Pola perampasan aset melalui tuntutan pidana dan keperdataan telah dicantumkan dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sampai saat ini belum diberlakukan. Masalah kontroversi antara di satu sisi, kehendak untuk melaksanakan perampasan terhadap aset-aset yang berasal dari kejahatan dan di sisi lain keterikatan banyak negara atas ICCPR 1966 dan Konstitusi negara telah membawa masalah tersendiri bagaimana meningkatkan upaya negara/pemerintah melakukan pemberantasan kejahatan khususnya yang dilakukan oleh organisasi internasional dalam kejahatan (international and transnational organized crimes).
Dampak negatif yang bersifat masif dan dijalankan secara terstruktur dan sistematis organisasi internasional dalam kejahatan diperkirakan memiliki dana anggaran mencapai ¾ dari anggaran negara-negara berkembang sehingga dengan kekuatan finansial yang signifikan dan dukungan teknologi komunikasi yang canggih tidak dapat dinafikkan bahwa ia dapat menguasai suatu negara yang miskin bahkan negara yang berkembang.
Dampak negatif dari akibat kejahatan organisasi internasional yang telah merusak sistem perekonomian dunia pada umumnya dan negara-negara berkembang pada khususnya adalah kejahatan pencucian uang di mana uang hasil kejahatan yang tersebar di berbagai negara telah di-recycle kembali ke negara-negara tujuan melalui sistem keuangan dan perbankan masing-masing negara tersebut.
Melihat betapa luas dampak negatif dari kegiatan organisasi kejahatan internasional ini maka perampasan aset tindak pidana melalui dua pola pendekatan secara paralel, pola kepidanaan dan keperdataan, merupakan solusi terkini, aktual, dan relevan dengan perkembangan kualitatif dan kuantitatif kejahatan baik pada level nasional, transnasional, dan internasional.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda