Urgensi UU Daerah Kepulauan
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 09:07 WIB
Besarnya defisit celah fiskal dalam APBD ini selain menciptakan ketergantungan yang tinggi pada pusat secara permanen, juga cenderung “mematikan” inisiatif untuk melakukan inovasi guna meningkatkan pendapatan daerah kepulauan.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, kesenjangan pembangunan dan keterbelakangan akses layanan dasar akan semakin sukar dikejar. Janji Presiden dalam Nawacita I dan II yang mengusung tekad “membangun Indonesia dari pinggiran” masih ditunggu realisasinya.
Urgensi Undang-Undang
Jumlah pulau di Indonesia yang resmi tercatat dan terdaftar di United Nations Conferences on the Standardization of Geographical Names sebanyak 16.056 pulau. Panjang garis pantai 99.093 kilometer pesegi dan luas laut 5,8 juta kilometer pesegi dengan 2,7 juta kilometer pesegi merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (Badan Informasi Geospasial, 2015).
Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen rumput laut terbesar di dunia namun kenyataannya hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, bukan produk olahan bernilai tambah tinggi. Tiongkok yang tidak berkelimpahan bahan baku tersebut—sebagian mengimpor dari kita—justru dapat memproduksi lebih dari 17 industri turunan rumput laut bernilai tambah tinggi.
Pemetaan masalah tidak optimalnya pengelolaan potensi laut terutama akibat keterbatasan infrastruktur khususnya ketersediaan listrik untuk industri pengolahan, rendahnya konektivitas moda logistik pelayaran antar-pulau, wewenang dan urusan pemda amat terbatas untuk mengelola potensi kelautan, produksi terbatas pada bahan mentah, dan minimnya dukungan pendanaan.
Data dan fakta empirik berupa keterbelakangan dan ketertinggalan tersebut membutuhkan payung hukum, bukan hanya perubahan kebijakan yang bersifat temporer. Tentu tidak perlu menciptakan rezim pemerintahan khusus di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, melainkan cukup dengan mengakomodasi tiga kebutuhan penting, yaitu pengakuan atas ruang, pemberian wewenang lebih tepat di bidang pengelolaan perairan dan laut, dan dukungan pendanaan untuk membangun sektor prioritas itu.
Dalam kaitan ini, inisiasi yang telah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menyusun RUU DK patut segera direspons. Ditinjau dari sisi filosofis, historis, sosial, ekonomi, dan empirik, urgensi UU tersebut merupakan keniscayaan sebagaimana amanat Pasal 18 A (ayat 1) dan Pasal 18 B (ayat 1) UUD 1945.
Meskipun perhatian pusat atas daerah kepulauan dengan karakteristik: terluar, terisolir, dan tertinggal terus meningkat, namun hal itu tidak cukup memastikan keberlangsungan pembangunan tanpa disertai kepastian hukum yang dijamin undang-undang.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, kesenjangan pembangunan dan keterbelakangan akses layanan dasar akan semakin sukar dikejar. Janji Presiden dalam Nawacita I dan II yang mengusung tekad “membangun Indonesia dari pinggiran” masih ditunggu realisasinya.
Urgensi Undang-Undang
Jumlah pulau di Indonesia yang resmi tercatat dan terdaftar di United Nations Conferences on the Standardization of Geographical Names sebanyak 16.056 pulau. Panjang garis pantai 99.093 kilometer pesegi dan luas laut 5,8 juta kilometer pesegi dengan 2,7 juta kilometer pesegi merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (Badan Informasi Geospasial, 2015).
Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen rumput laut terbesar di dunia namun kenyataannya hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, bukan produk olahan bernilai tambah tinggi. Tiongkok yang tidak berkelimpahan bahan baku tersebut—sebagian mengimpor dari kita—justru dapat memproduksi lebih dari 17 industri turunan rumput laut bernilai tambah tinggi.
Pemetaan masalah tidak optimalnya pengelolaan potensi laut terutama akibat keterbatasan infrastruktur khususnya ketersediaan listrik untuk industri pengolahan, rendahnya konektivitas moda logistik pelayaran antar-pulau, wewenang dan urusan pemda amat terbatas untuk mengelola potensi kelautan, produksi terbatas pada bahan mentah, dan minimnya dukungan pendanaan.
Data dan fakta empirik berupa keterbelakangan dan ketertinggalan tersebut membutuhkan payung hukum, bukan hanya perubahan kebijakan yang bersifat temporer. Tentu tidak perlu menciptakan rezim pemerintahan khusus di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, melainkan cukup dengan mengakomodasi tiga kebutuhan penting, yaitu pengakuan atas ruang, pemberian wewenang lebih tepat di bidang pengelolaan perairan dan laut, dan dukungan pendanaan untuk membangun sektor prioritas itu.
Dalam kaitan ini, inisiasi yang telah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menyusun RUU DK patut segera direspons. Ditinjau dari sisi filosofis, historis, sosial, ekonomi, dan empirik, urgensi UU tersebut merupakan keniscayaan sebagaimana amanat Pasal 18 A (ayat 1) dan Pasal 18 B (ayat 1) UUD 1945.
Meskipun perhatian pusat atas daerah kepulauan dengan karakteristik: terluar, terisolir, dan tertinggal terus meningkat, namun hal itu tidak cukup memastikan keberlangsungan pembangunan tanpa disertai kepastian hukum yang dijamin undang-undang.
(dam)
tulis komentar anda