Perempuan dan Aksara
Senin, 11 Maret 2024 - 22:08 WIB
Agak sulit membayangkan bagaimana Manggali dapat mewarisi sebuah kitab yang tak kasatmata. Namun, efeknya nyata. Banyak yang berebut mendapatkan kitab yang katanya mempu membuat pemiliknya bertambah sakti. Ngomong-ngomong soal sakti, saya setuju kalau Virginia Woolf dan Nawal El Saadawi mendapat julukan itu. Mereka adalah dua perempuan sakti dengan senjata berupa pena.
Betapa tidak? Nawal, misalnya, sampai harus berurusan dengan pemerintah Mesir, bahkan sempat merasakan dinginnya lantai penjara. Sementara Virginia Woolf, dalam bukunya Ruang Milik Sendiri (Jalan Baru Publisher, Desember 2020), begitu luwes sekaligus tegas mengatakan bahwa perempuan memang butuh ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Akan tetapi, kesaktian itu sesungguhnya sudah ada dalam diri perempuan sejak ia masih berupa janin. Hanya perlu membukanya dengan kunci yang tepat. Sayangnya, kunci itu sendiri butuh untuk ditemukan. Yang menemukan secara tidak sengaja, patut bersyukur, tidak perlu buang banyak tenaga. Sementara yang sengaja mencarinya, malah kesulitan karena―sialnya―bertemu dengan partner yang tidak ingin kunci itu ditemukan. Atau, kuncinya sudah ditemukan, tetapi berusaha dirusak dengan segala cara.
Ada lelucon berbunyi begini, “Kalau perempuan dianggap lemah, mengapa obat kuat justru tercipta untuk laki-laki?” Saya pikir ini senada dengan premis yang disampaikan Rina Nose. Paradoks yang mengundang tawa sekaligus tanya. Benarkah label-label yang selama ini kita dengar tentang perempuan? Atau, itu hanya rekaan kaum patriarki? Adonis, seorang penyair berkebangsaan Suriah, bercerita banyak soal perempuan di bukunya Sejarah yang Tercabik di Tubuh Perempuan (Diva Press, 2022).
Begitulah perempuan:/Sesekali, yang menjerat dirinya adalah putranya/Tapi seringkali, yang menjerat dirinya adalah suaminya/ (halaman 18). Saya rasa bait tersebut cukup gamblang. Siapa pun dapat dengan mudah menerjemahkan. Namun, ini bukan berarti kita berhak menyalahkan para suami (juga anak). Sama seperti relasi lainnya, tuntutan akan selalu ada.
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Akan tetapi, dari situ akan lahir kesepakatan-kesepakatan yang diharapkan tidak merugikan pihak mana pun. Ini termasuk membebaskan perempuan menjadi dirinya sendiri. Dengan begitu, potensi dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita simak kutipan berikut. Diambil dari Ruang Milik Sendiri karya Virginia Woolf.
… mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)
Dalam sebuah film―kebetulan saya lupa judulnya, tetapi ingat sekali salah satu bagiannya―diceritakan seorang perempuan harus memakai nama laki-laki ketika menerbitkan karyanya. Ya, semata-mata agar ada yang sudi membeli.
Entah apa yang melatari. Apakah pihak yang berkuasa kala itu memang melarang? Apakah masyarakat tidak percaya bahwa perempuan bisa menulis (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah demi menghindari kritik atas karyanya, penulis sengaja ‘bersembunyi’?
Betapa tidak? Nawal, misalnya, sampai harus berurusan dengan pemerintah Mesir, bahkan sempat merasakan dinginnya lantai penjara. Sementara Virginia Woolf, dalam bukunya Ruang Milik Sendiri (Jalan Baru Publisher, Desember 2020), begitu luwes sekaligus tegas mengatakan bahwa perempuan memang butuh ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Akan tetapi, kesaktian itu sesungguhnya sudah ada dalam diri perempuan sejak ia masih berupa janin. Hanya perlu membukanya dengan kunci yang tepat. Sayangnya, kunci itu sendiri butuh untuk ditemukan. Yang menemukan secara tidak sengaja, patut bersyukur, tidak perlu buang banyak tenaga. Sementara yang sengaja mencarinya, malah kesulitan karena―sialnya―bertemu dengan partner yang tidak ingin kunci itu ditemukan. Atau, kuncinya sudah ditemukan, tetapi berusaha dirusak dengan segala cara.
Ada lelucon berbunyi begini, “Kalau perempuan dianggap lemah, mengapa obat kuat justru tercipta untuk laki-laki?” Saya pikir ini senada dengan premis yang disampaikan Rina Nose. Paradoks yang mengundang tawa sekaligus tanya. Benarkah label-label yang selama ini kita dengar tentang perempuan? Atau, itu hanya rekaan kaum patriarki? Adonis, seorang penyair berkebangsaan Suriah, bercerita banyak soal perempuan di bukunya Sejarah yang Tercabik di Tubuh Perempuan (Diva Press, 2022).
Begitulah perempuan:/Sesekali, yang menjerat dirinya adalah putranya/Tapi seringkali, yang menjerat dirinya adalah suaminya/ (halaman 18). Saya rasa bait tersebut cukup gamblang. Siapa pun dapat dengan mudah menerjemahkan. Namun, ini bukan berarti kita berhak menyalahkan para suami (juga anak). Sama seperti relasi lainnya, tuntutan akan selalu ada.
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Akan tetapi, dari situ akan lahir kesepakatan-kesepakatan yang diharapkan tidak merugikan pihak mana pun. Ini termasuk membebaskan perempuan menjadi dirinya sendiri. Dengan begitu, potensi dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita simak kutipan berikut. Diambil dari Ruang Milik Sendiri karya Virginia Woolf.
… mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)
Dalam sebuah film―kebetulan saya lupa judulnya, tetapi ingat sekali salah satu bagiannya―diceritakan seorang perempuan harus memakai nama laki-laki ketika menerbitkan karyanya. Ya, semata-mata agar ada yang sudi membeli.
Entah apa yang melatari. Apakah pihak yang berkuasa kala itu memang melarang? Apakah masyarakat tidak percaya bahwa perempuan bisa menulis (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah demi menghindari kritik atas karyanya, penulis sengaja ‘bersembunyi’?
Lihat Juga :
tulis komentar anda