Perempuan dan Aksara
loading...
A
A
A
SEKAR MAYANG
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
BELUM lama saya menyimak video pendek (reels) yang menampilkan Rina Nose di acara Mata Najwa. Dalam sketsa tersebut, Rina membawa premis tentang perempuan yang dianggap tidak mau kalah berdebat. Ia memungkas dengan, “Apa benar perempuan tidak mau kalah dalam berdebat, atau laki-laki saja yang tidak punya kemampuan verbal?”
baca juga: Nikahi Wanita Penulis Penulis Novel Erotis, Uskup Spanyol Dilucuti Kekuasaannya
Lantas, saya teringat sebuah ungkapan bahwa perempuan rata-rata mengeluarkan sekitar dua puluh ribu kata dalam satu hari. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa otak perempuan memang dominan dengan seni dan aksara.Menurut sebagian perempuan, jika dalam satu hari tidak mengoceh sebanyak dua puluh ribu kata, mereka merasa ada yang kurang.
Sementara menurut para peneliti, mengoceh termasuk salah satu media penyaluran emosi. Saya sendiri malah sungguh-sungguh membayangkan para perempuan akan mudah menulis sebuah novel dengan total kata seratus ribuan hanya dalam waktu satu minggu. Nyatanya? Satu hari dapat tiga ribu kata saja sudah luar biasa.
Tak jarang yang berpendapat bahwa menulis itu mudah, semudah menarik napas dan mengembuskannya kembali. Yang mereka lupa bahwa jika jalur napas tidak bagus, menghela udara pun bisa amat merepotkan. Artinya, jika lumbung kita kosong, apa yang mau kita makan? Jika tidak mengunyah jutaan buku, apa yang mau kita tulis. Seorang penulis yang baik tentu tidak mau membuat tulisan yang kosong.
Apa kaitannya dengan perempuan? Tentu saja ini soal sumber daya, baik waktu maupun tenaga. Sama-sama punya dua puluh empat jam dalam satu hari, perempuan lebih merasa kekurangan waktu daripada laki-laki, apalagi jika perempuan itu sudah berumah tangga.
Pagi-pagi sekali ia bangun, menyiapkan segala keperluan anak dan suaminya. Mungkin juga harus mengantar salah satu anaknya ke sekolah dan menjemputnya di siang hari. Di antara waktu jeda mengantar dan menjemput, ia berkejaran dengan waktu menyelesaikan cucian, setrikaan, atau memasak untuk menu makan siang (mungkin plus makan malam).
Siang jelang sore, ia mungkin menemani anaknya bermain atau mengerjakan PR. Atau mungkin punya tugas domestik lain yang belum tuntas, sampai nanti waktunya matahari hendak tenggelam. Malam hari, ia menemani anak-anak tidur, lalu berganti mendampingi suaminya.
baca juga: 6 Penulis Manga Populer yang Sosoknya Misterius
Mungkin, sempat terpikir dirinya ingin ini-itu yang sifatnya pribadi, misalnya membaca buku atau merawat tubuhnya atau pergi jalan-jalan dengan teman-temannya. Namun, semua serasa musnah manakala ia ingat sederet urusan domestik yang mengular tanpa ujung.
Saya jadi ingat pernah membaca sesuatu tentang JK Rowling, sang kreator Harry Potter. Ia dikabarkan menginap di sebuah hotel sendirian selama dua bulan demi menuntaskan bagian terakhir seri Harry Potter. Ya, memang harus hotel, atau tempat mana pun asal bukan rumah. Ah, bukankah rumah merupakan tempat ternyaman? Belum tentu. Rumah pun bisa jadi tempat paling menjengkelkan jika situasinya tidak mendukung keinginan, harapan, atau rencana-rencana kita.
Bayangkan jika Rowling sedang menulis adegan perang terakhir antara pasukan Dumbledore dan Voldemort, lalu ia teringat bahwa tumpukan piring kotor sisa makan siang belum dibersihkan. Ia mungkin bukan seseorang yang impulsif, tetapi bentuk tumpukan piring kotor itu akan melayang-layang di antara lontaran mantra-mantra.
Oke, anggaplah seorang perempuan punya pasangan yang suportif, insting seorang ibu sedikit banyak akan muncul untuk memastikan segala di rumah baik-baik saja. Terlintas di pikiran, apakah anak-anaknya aman di tangan suami?
Apakah jemuran sudah dimasukkan karena langit tampak mendung sedari tadi? Apakah sisa lauk pagi tadi sudah dihangatkan untuk makan siang? Apakah mangkuk makanan kucing sudah diisi kembali? Kekhawatiran-kekhawatiran kecil tetapi banyak seperti ini mampu membelokkan fokus perempuan.
baca juga: Bercerita Penulis Ternama Menjadi ’Korban’ Tradisi Keluarga
Jangan tanya jika pasangan si perempuan bukan tipe yang suportif. Tentunya akan lebih banyak siasat agar ia tetap bisa mengerjakan kesenangannya dengan aksara. Jika tidak diakali, ia tidak menghasilkan apa-apa. Dan, gelembung-gelembung memuakkan itu siap meledak kapan saja dalam sebutan gangguan mental.
Gambaran menyatunya perempuan dan aksara dapat kita jumpai dalam Manggali Kalki, buku kedua dari Trilogi Jirah karya Cok Sawitri. Dyah Ratna Manggali diceritakan mewarisi sebuah kitab yang ‘tertulis’ di tubuhnya. Aksara-aksara itu, sayangnya, hanya dapat terbaca oleh orang-orang tertentu.
Agak sulit membayangkan bagaimana Manggali dapat mewarisi sebuah kitab yang tak kasatmata. Namun, efeknya nyata. Banyak yang berebut mendapatkan kitab yang katanya mempu membuat pemiliknya bertambah sakti. Ngomong-ngomong soal sakti, saya setuju kalau Virginia Woolf dan Nawal El Saadawi mendapat julukan itu. Mereka adalah dua perempuan sakti dengan senjata berupa pena.
Betapa tidak? Nawal, misalnya, sampai harus berurusan dengan pemerintah Mesir, bahkan sempat merasakan dinginnya lantai penjara. Sementara Virginia Woolf, dalam bukunya Ruang Milik Sendiri (Jalan Baru Publisher, Desember 2020), begitu luwes sekaligus tegas mengatakan bahwa perempuan memang butuh ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Akan tetapi, kesaktian itu sesungguhnya sudah ada dalam diri perempuan sejak ia masih berupa janin. Hanya perlu membukanya dengan kunci yang tepat. Sayangnya, kunci itu sendiri butuh untuk ditemukan. Yang menemukan secara tidak sengaja, patut bersyukur, tidak perlu buang banyak tenaga. Sementara yang sengaja mencarinya, malah kesulitan karena―sialnya―bertemu dengan partner yang tidak ingin kunci itu ditemukan. Atau, kuncinya sudah ditemukan, tetapi berusaha dirusak dengan segala cara.
Ada lelucon berbunyi begini, “Kalau perempuan dianggap lemah, mengapa obat kuat justru tercipta untuk laki-laki?” Saya pikir ini senada dengan premis yang disampaikan Rina Nose. Paradoks yang mengundang tawa sekaligus tanya. Benarkah label-label yang selama ini kita dengar tentang perempuan? Atau, itu hanya rekaan kaum patriarki? Adonis, seorang penyair berkebangsaan Suriah, bercerita banyak soal perempuan di bukunya Sejarah yang Tercabik di Tubuh Perempuan (Diva Press, 2022).
Begitulah perempuan:/Sesekali, yang menjerat dirinya adalah putranya/Tapi seringkali, yang menjerat dirinya adalah suaminya/ (halaman 18). Saya rasa bait tersebut cukup gamblang. Siapa pun dapat dengan mudah menerjemahkan. Namun, ini bukan berarti kita berhak menyalahkan para suami (juga anak). Sama seperti relasi lainnya, tuntutan akan selalu ada.
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Akan tetapi, dari situ akan lahir kesepakatan-kesepakatan yang diharapkan tidak merugikan pihak mana pun. Ini termasuk membebaskan perempuan menjadi dirinya sendiri. Dengan begitu, potensi dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita simak kutipan berikut. Diambil dari Ruang Milik Sendiri karya Virginia Woolf.
… mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)
Dalam sebuah film―kebetulan saya lupa judulnya, tetapi ingat sekali salah satu bagiannya―diceritakan seorang perempuan harus memakai nama laki-laki ketika menerbitkan karyanya. Ya, semata-mata agar ada yang sudi membeli.
Entah apa yang melatari. Apakah pihak yang berkuasa kala itu memang melarang? Apakah masyarakat tidak percaya bahwa perempuan bisa menulis (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah demi menghindari kritik atas karyanya, penulis sengaja ‘bersembunyi’?
Probabilitasnya cukup luas. Apa pun alasannya, akan terbentuk opini di kemudian hari bahwa perempuan sulit mendapat tempat dalam sebuah komunitas. Tekanan-tekanan serupa juga diceritakan Nawal El Saadawi dalam bukunya Melawan Sistem Perbudakan (IRCiSoD, 2022).
Sejak lahir, perempuan seolah-olah tidak memiliki hak selain ‘menundukkan pandangannya’. Tidak mengherankan. Ketika perempuan benar-benar memaknai otaknya, ia akan mudah mengalahkan laki-laki, apalagi jika para laki-laki ini dicekoki slogan ‘tidak boleh kalah dari perempuan’.
Aturan-aturan akhirnya tercipta untuk membatasi gerak perempuan. Sebab, tidak dimungkiri, dengan pandangan yang lebih luas, yang lebih menyentuh langit, pikiran perempuan (tentu saja beserta hatinya) mampu menuntaskan tantangan sebesar dan seberat apa pun.
Sebaik-baiknya hidup adalah yang bermanfaat bagi banyak orang. Sangat tidak bijak jika kita mematikan potensi orang lain, terutama perempuan, hanya demi gengsi. Mengapa tidak bahu-membahu menciptakan situasi ideal dalam hidup? Ah, kita tentu tidak perlu terjebak dengan fitrah kompetitif (baca: kegemaran berperang) yang dimiliki laki-laki. Mungkin, yang perlu kita lakukan bersama-sama adalah menambah ruang untuk menempatkan rangkaian aksara tersebut agar lebih banyak lagi khalayak yang membaca. Sekian.
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
BELUM lama saya menyimak video pendek (reels) yang menampilkan Rina Nose di acara Mata Najwa. Dalam sketsa tersebut, Rina membawa premis tentang perempuan yang dianggap tidak mau kalah berdebat. Ia memungkas dengan, “Apa benar perempuan tidak mau kalah dalam berdebat, atau laki-laki saja yang tidak punya kemampuan verbal?”
baca juga: Nikahi Wanita Penulis Penulis Novel Erotis, Uskup Spanyol Dilucuti Kekuasaannya
Lantas, saya teringat sebuah ungkapan bahwa perempuan rata-rata mengeluarkan sekitar dua puluh ribu kata dalam satu hari. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa otak perempuan memang dominan dengan seni dan aksara.Menurut sebagian perempuan, jika dalam satu hari tidak mengoceh sebanyak dua puluh ribu kata, mereka merasa ada yang kurang.
Sementara menurut para peneliti, mengoceh termasuk salah satu media penyaluran emosi. Saya sendiri malah sungguh-sungguh membayangkan para perempuan akan mudah menulis sebuah novel dengan total kata seratus ribuan hanya dalam waktu satu minggu. Nyatanya? Satu hari dapat tiga ribu kata saja sudah luar biasa.
Tak jarang yang berpendapat bahwa menulis itu mudah, semudah menarik napas dan mengembuskannya kembali. Yang mereka lupa bahwa jika jalur napas tidak bagus, menghela udara pun bisa amat merepotkan. Artinya, jika lumbung kita kosong, apa yang mau kita makan? Jika tidak mengunyah jutaan buku, apa yang mau kita tulis. Seorang penulis yang baik tentu tidak mau membuat tulisan yang kosong.
Apa kaitannya dengan perempuan? Tentu saja ini soal sumber daya, baik waktu maupun tenaga. Sama-sama punya dua puluh empat jam dalam satu hari, perempuan lebih merasa kekurangan waktu daripada laki-laki, apalagi jika perempuan itu sudah berumah tangga.
Pagi-pagi sekali ia bangun, menyiapkan segala keperluan anak dan suaminya. Mungkin juga harus mengantar salah satu anaknya ke sekolah dan menjemputnya di siang hari. Di antara waktu jeda mengantar dan menjemput, ia berkejaran dengan waktu menyelesaikan cucian, setrikaan, atau memasak untuk menu makan siang (mungkin plus makan malam).
Siang jelang sore, ia mungkin menemani anaknya bermain atau mengerjakan PR. Atau mungkin punya tugas domestik lain yang belum tuntas, sampai nanti waktunya matahari hendak tenggelam. Malam hari, ia menemani anak-anak tidur, lalu berganti mendampingi suaminya.
baca juga: 6 Penulis Manga Populer yang Sosoknya Misterius
Mungkin, sempat terpikir dirinya ingin ini-itu yang sifatnya pribadi, misalnya membaca buku atau merawat tubuhnya atau pergi jalan-jalan dengan teman-temannya. Namun, semua serasa musnah manakala ia ingat sederet urusan domestik yang mengular tanpa ujung.
Saya jadi ingat pernah membaca sesuatu tentang JK Rowling, sang kreator Harry Potter. Ia dikabarkan menginap di sebuah hotel sendirian selama dua bulan demi menuntaskan bagian terakhir seri Harry Potter. Ya, memang harus hotel, atau tempat mana pun asal bukan rumah. Ah, bukankah rumah merupakan tempat ternyaman? Belum tentu. Rumah pun bisa jadi tempat paling menjengkelkan jika situasinya tidak mendukung keinginan, harapan, atau rencana-rencana kita.
Bayangkan jika Rowling sedang menulis adegan perang terakhir antara pasukan Dumbledore dan Voldemort, lalu ia teringat bahwa tumpukan piring kotor sisa makan siang belum dibersihkan. Ia mungkin bukan seseorang yang impulsif, tetapi bentuk tumpukan piring kotor itu akan melayang-layang di antara lontaran mantra-mantra.
Oke, anggaplah seorang perempuan punya pasangan yang suportif, insting seorang ibu sedikit banyak akan muncul untuk memastikan segala di rumah baik-baik saja. Terlintas di pikiran, apakah anak-anaknya aman di tangan suami?
Apakah jemuran sudah dimasukkan karena langit tampak mendung sedari tadi? Apakah sisa lauk pagi tadi sudah dihangatkan untuk makan siang? Apakah mangkuk makanan kucing sudah diisi kembali? Kekhawatiran-kekhawatiran kecil tetapi banyak seperti ini mampu membelokkan fokus perempuan.
baca juga: Bercerita Penulis Ternama Menjadi ’Korban’ Tradisi Keluarga
Jangan tanya jika pasangan si perempuan bukan tipe yang suportif. Tentunya akan lebih banyak siasat agar ia tetap bisa mengerjakan kesenangannya dengan aksara. Jika tidak diakali, ia tidak menghasilkan apa-apa. Dan, gelembung-gelembung memuakkan itu siap meledak kapan saja dalam sebutan gangguan mental.
Gambaran menyatunya perempuan dan aksara dapat kita jumpai dalam Manggali Kalki, buku kedua dari Trilogi Jirah karya Cok Sawitri. Dyah Ratna Manggali diceritakan mewarisi sebuah kitab yang ‘tertulis’ di tubuhnya. Aksara-aksara itu, sayangnya, hanya dapat terbaca oleh orang-orang tertentu.
Agak sulit membayangkan bagaimana Manggali dapat mewarisi sebuah kitab yang tak kasatmata. Namun, efeknya nyata. Banyak yang berebut mendapatkan kitab yang katanya mempu membuat pemiliknya bertambah sakti. Ngomong-ngomong soal sakti, saya setuju kalau Virginia Woolf dan Nawal El Saadawi mendapat julukan itu. Mereka adalah dua perempuan sakti dengan senjata berupa pena.
Betapa tidak? Nawal, misalnya, sampai harus berurusan dengan pemerintah Mesir, bahkan sempat merasakan dinginnya lantai penjara. Sementara Virginia Woolf, dalam bukunya Ruang Milik Sendiri (Jalan Baru Publisher, Desember 2020), begitu luwes sekaligus tegas mengatakan bahwa perempuan memang butuh ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Akan tetapi, kesaktian itu sesungguhnya sudah ada dalam diri perempuan sejak ia masih berupa janin. Hanya perlu membukanya dengan kunci yang tepat. Sayangnya, kunci itu sendiri butuh untuk ditemukan. Yang menemukan secara tidak sengaja, patut bersyukur, tidak perlu buang banyak tenaga. Sementara yang sengaja mencarinya, malah kesulitan karena―sialnya―bertemu dengan partner yang tidak ingin kunci itu ditemukan. Atau, kuncinya sudah ditemukan, tetapi berusaha dirusak dengan segala cara.
Ada lelucon berbunyi begini, “Kalau perempuan dianggap lemah, mengapa obat kuat justru tercipta untuk laki-laki?” Saya pikir ini senada dengan premis yang disampaikan Rina Nose. Paradoks yang mengundang tawa sekaligus tanya. Benarkah label-label yang selama ini kita dengar tentang perempuan? Atau, itu hanya rekaan kaum patriarki? Adonis, seorang penyair berkebangsaan Suriah, bercerita banyak soal perempuan di bukunya Sejarah yang Tercabik di Tubuh Perempuan (Diva Press, 2022).
Begitulah perempuan:/Sesekali, yang menjerat dirinya adalah putranya/Tapi seringkali, yang menjerat dirinya adalah suaminya/ (halaman 18). Saya rasa bait tersebut cukup gamblang. Siapa pun dapat dengan mudah menerjemahkan. Namun, ini bukan berarti kita berhak menyalahkan para suami (juga anak). Sama seperti relasi lainnya, tuntutan akan selalu ada.
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Akan tetapi, dari situ akan lahir kesepakatan-kesepakatan yang diharapkan tidak merugikan pihak mana pun. Ini termasuk membebaskan perempuan menjadi dirinya sendiri. Dengan begitu, potensi dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita simak kutipan berikut. Diambil dari Ruang Milik Sendiri karya Virginia Woolf.
… mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)
Dalam sebuah film―kebetulan saya lupa judulnya, tetapi ingat sekali salah satu bagiannya―diceritakan seorang perempuan harus memakai nama laki-laki ketika menerbitkan karyanya. Ya, semata-mata agar ada yang sudi membeli.
Entah apa yang melatari. Apakah pihak yang berkuasa kala itu memang melarang? Apakah masyarakat tidak percaya bahwa perempuan bisa menulis (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah demi menghindari kritik atas karyanya, penulis sengaja ‘bersembunyi’?
Probabilitasnya cukup luas. Apa pun alasannya, akan terbentuk opini di kemudian hari bahwa perempuan sulit mendapat tempat dalam sebuah komunitas. Tekanan-tekanan serupa juga diceritakan Nawal El Saadawi dalam bukunya Melawan Sistem Perbudakan (IRCiSoD, 2022).
Sejak lahir, perempuan seolah-olah tidak memiliki hak selain ‘menundukkan pandangannya’. Tidak mengherankan. Ketika perempuan benar-benar memaknai otaknya, ia akan mudah mengalahkan laki-laki, apalagi jika para laki-laki ini dicekoki slogan ‘tidak boleh kalah dari perempuan’.
Aturan-aturan akhirnya tercipta untuk membatasi gerak perempuan. Sebab, tidak dimungkiri, dengan pandangan yang lebih luas, yang lebih menyentuh langit, pikiran perempuan (tentu saja beserta hatinya) mampu menuntaskan tantangan sebesar dan seberat apa pun.
Sebaik-baiknya hidup adalah yang bermanfaat bagi banyak orang. Sangat tidak bijak jika kita mematikan potensi orang lain, terutama perempuan, hanya demi gengsi. Mengapa tidak bahu-membahu menciptakan situasi ideal dalam hidup? Ah, kita tentu tidak perlu terjebak dengan fitrah kompetitif (baca: kegemaran berperang) yang dimiliki laki-laki. Mungkin, yang perlu kita lakukan bersama-sama adalah menambah ruang untuk menempatkan rangkaian aksara tersebut agar lebih banyak lagi khalayak yang membaca. Sekian.
(hdr)