Penggunaan Angket terhadap Penyalahgunaan Kewenangan dalam Pemilu 2024
Jum'at, 01 Maret 2024 - 17:46 WIB
DR I Wayan Sudirta, SH, MH
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI
NEGARAIndonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang perwujudannya diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi 'segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya', sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki persamaan di depan hukum dan wajib untuk menjunjung tinggi hukum.
Oleh sebab itu, segala tindakan pemimpin negara, seluruh aparatur pemerintah baik dari atas hingga ke bawah, maupun seluruh warga negara wajib mematuhi seluruh ketentuan atau kaidah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konsep negara hukum modern, Pemerintah juga diwajibkan untuk tidak ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap segala pelanggaran hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat demi terwujudnya asas keadilan dan kesamaan di muka hukum.
Memaknai negara hukum modern berbasis prinsip 'Rule of Law', konsep negara hukum modern menurut Julius Stahl mencakup elemen-elemen penting yakni perlindungan Hak Asasi Manusia, Pembagian Kekuasaan, Pemerintah berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan tata usaha negara; yang mana kemudian disesuaikan juga dengan prinsip negara hukum (A.V Dicey) yakni hukum sebagai panglima tertinggi (supremacy of the law), persamaan di muka hukum (equality before the law), dan asas legalitas atau kesesuaian dan keadilan mekanisme hukum (due process of law).
Oleh sebab itu, terdapat pembagian kekuasaan di mana negara sebagai cabang kekuasaan eksekutif harus menghormati hak-hak individu dan peraturan, peradilan sebagai cabang yudikatif menyelenggarakan peradilan yang bebas, adil, dan tidak memihak, serta cabang legislatif sebagai penyelanggara kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang merdeka, demokratis, melindungi HAM, transparan, dan menjadi mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan negara.
Melihat polemik belakangan ini yakni terkait Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 yang baru saja berlangsung, kini tengah bergulir wacana untuk penggunaan Hak Angket DPR terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebagian masyarakat menganggap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu sarat dengan kesalahan, kesewenangan, penyalahgunaan kewenangan, dan berbagai pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Hasil Pemilu 2024 lalu bisa jadi dianggap tidak memiliki legitimasi karena pada prosesnya sarat dengan berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh sebab itu, wacana digulirkannya Hak Angket sesuai dengan perundang-undangan merupakan sesuatu yang wajar karena pada dasarnya Hak Angket ini merupakan hak DPR untuk melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang telah dilihat oleh masyarakat dan membutuhkan penjelasan dan/atau perbaikan.
Dalam pembahasan di ruang publik, terjadi pro dan kontra tentang penggunaan Hak Angket ini. Hal ini tentu wajar mengingat ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini atau memang merasa bahwa hal-hal yang 'dituduhkan' bukan merupakan pelanggaran hukum atau tidak memiliki data yang valid. Mengenai hal ini tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut yakni tentang apa saja yang menjadi materi angket yang direncanakan akan digulirkan di DPR tersebut. Namun sebelumnya di dalam tulisan ini, penulis mengingatkan kembali bahwa penggunaan hak angket adalah hal yang berbeda dengan penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu, sebagaimana juga telah dijelaskan oleh berbagai Pakar Hukum khususnya Pakar Hukum Tata Negara.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI
NEGARAIndonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang perwujudannya diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi 'segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya', sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki persamaan di depan hukum dan wajib untuk menjunjung tinggi hukum.
Oleh sebab itu, segala tindakan pemimpin negara, seluruh aparatur pemerintah baik dari atas hingga ke bawah, maupun seluruh warga negara wajib mematuhi seluruh ketentuan atau kaidah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konsep negara hukum modern, Pemerintah juga diwajibkan untuk tidak ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap segala pelanggaran hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat demi terwujudnya asas keadilan dan kesamaan di muka hukum.
Memaknai negara hukum modern berbasis prinsip 'Rule of Law', konsep negara hukum modern menurut Julius Stahl mencakup elemen-elemen penting yakni perlindungan Hak Asasi Manusia, Pembagian Kekuasaan, Pemerintah berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan tata usaha negara; yang mana kemudian disesuaikan juga dengan prinsip negara hukum (A.V Dicey) yakni hukum sebagai panglima tertinggi (supremacy of the law), persamaan di muka hukum (equality before the law), dan asas legalitas atau kesesuaian dan keadilan mekanisme hukum (due process of law).
Oleh sebab itu, terdapat pembagian kekuasaan di mana negara sebagai cabang kekuasaan eksekutif harus menghormati hak-hak individu dan peraturan, peradilan sebagai cabang yudikatif menyelenggarakan peradilan yang bebas, adil, dan tidak memihak, serta cabang legislatif sebagai penyelanggara kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang merdeka, demokratis, melindungi HAM, transparan, dan menjadi mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan negara.
Melihat polemik belakangan ini yakni terkait Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 yang baru saja berlangsung, kini tengah bergulir wacana untuk penggunaan Hak Angket DPR terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebagian masyarakat menganggap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu sarat dengan kesalahan, kesewenangan, penyalahgunaan kewenangan, dan berbagai pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Hasil Pemilu 2024 lalu bisa jadi dianggap tidak memiliki legitimasi karena pada prosesnya sarat dengan berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh sebab itu, wacana digulirkannya Hak Angket sesuai dengan perundang-undangan merupakan sesuatu yang wajar karena pada dasarnya Hak Angket ini merupakan hak DPR untuk melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang telah dilihat oleh masyarakat dan membutuhkan penjelasan dan/atau perbaikan.
Dalam pembahasan di ruang publik, terjadi pro dan kontra tentang penggunaan Hak Angket ini. Hal ini tentu wajar mengingat ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini atau memang merasa bahwa hal-hal yang 'dituduhkan' bukan merupakan pelanggaran hukum atau tidak memiliki data yang valid. Mengenai hal ini tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut yakni tentang apa saja yang menjadi materi angket yang direncanakan akan digulirkan di DPR tersebut. Namun sebelumnya di dalam tulisan ini, penulis mengingatkan kembali bahwa penggunaan hak angket adalah hal yang berbeda dengan penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu, sebagaimana juga telah dijelaskan oleh berbagai Pakar Hukum khususnya Pakar Hukum Tata Negara.
tulis komentar anda