Waspada Voter Turnout Pilkada pada Masa Pandemi
Jum'at, 14 Agustus 2020 - 06:32 WIB
Sementara itu, pemilihan awal presiden di Kota Lafayette, Louisiana, Amerika Serikat, 20 Juni 2020, voter turnout menurun karena warga takut akan wabah korona. Masyarakat lebih banyak memilih menggunakan hak pilihnya melalui pos. Pemilih yang biasanya mencapai rata-rata 1.000 orang, kali ini hanya 162 orang. Pemilih yang menggunakan hak pilihnya melalui pos rata-rata berumur 65 ke atas. Pemilih yang menggunakan pos yang biasanya rata-rata hanya 1.800, meningkat menjadi 6.000 bahkan akan terus meningkat sesuai permintaan masyarakat.
Kita bisa belajar terkait voter turnout dari negara-negara yang sudah menyelenggarakan pemilu selama pandemi Covid-19. Paling tidak ada dua variabel yang bisa memengaruhi naik atau turunnya voter turnout. Pertama, tingginya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah ini bisa dilihat dari kinerja secara umum atau kemampuan pemerintah dalam menangani Covid-19. Di Korea Selatan kepercayaan terhadap Presiden Moon Jae-in cukup tinggi bila dilihat dari kemajuan kinerja secara umum setelah menggantikan Park Geun-hye. Kepercayaan masyarakat Korea Selatan semakin meningkat ketika pemerintahnya mampu mengendalikan persebaran virus korona. Hal senada terjadi pada pemilu Singapura, voter turnout justru mengalami kenaikan karena kepercayaan terhadap partai penguasa People’s Action Party (PAP) masih cukup tinggi. PAP menguasai 83 dari 93 kursi di parlemen, meskipun ada indikasi pemilih muda menginginkan banyak kehadiran oposisi di parlemen.
Kedua, adanya alternatif pemungutan suara akibat ketakutan massa akan persebaran Covid-19. Seperti di Amerika Serikat, tingginya masyarakat yang positif Covid-19 menjadikan warganya khawatir untuk memberikan hak suara, meski penyelenggara pemilu sudah menerapkan protokol kesehatan. Adanya alternatif metode pemilihan dengan menggunakan pos menjadi alternatif pada pemilu awal Amerika Serikat.
Melihat kondisi Indonesia yang persebaran Covid-19 masih tinggi dan tidak adanya alternatif cara pemungutan suara, voter turnout dalam pilkada serentak kali ini berpotensi untuk turun. Penyelenggara pemilu harus memaksimalkan kampanye yang akan dimulai pada 26 September 2020 sampai 5 Desember 2020. Selama 71 hari KPUD harus bisa menarik masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Bahaya Turnout Buying dan Vote Buying
Pilkada pada masa Covid-19 menambah berat sosialisasi yang dilakukan pasangan calon (paslon). Sosialisasi yang seharusnya lebih banyak dilakukan ketika kampanye untuk meningkatkan voter turnout pastinya akan berkurang. Paslon juga harus lebih banyak mengangkat isu tentang Covid-19 dan penanganannya. Paslon yang memberikan program nyatalah yang akan dipilih masyarakat. Adanya Covid-19 menjadikan seleksi alam (survival of the fittest) bagi pasangan calon. Bagi pemilih, dengan beratnya dampak ekonomi yang dirasakan karena Covid-19, akan tergoda memilih paslon yang bisa memberikan utilitas besar salah satunya adalah uang. Fenomena turnout buying dan vote buying yang masih menggejala di setiap pemilu di Indonesia pasti akan meningkat di pilkada serentak 2020 saat pandemi. Maka dari itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan menyeluruh sampai di tingkat bawah untuk mengawasi hantu turnout buying dan vote buying. Dengan demikian, tingginya voter turnout di pilkada serentak 2020 dapat benar-benar tumbuh dari kesadaran masyarakat sebagai warga negara untuk memilih pemimpin yang terbaik.
Kita bisa belajar terkait voter turnout dari negara-negara yang sudah menyelenggarakan pemilu selama pandemi Covid-19. Paling tidak ada dua variabel yang bisa memengaruhi naik atau turunnya voter turnout. Pertama, tingginya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah ini bisa dilihat dari kinerja secara umum atau kemampuan pemerintah dalam menangani Covid-19. Di Korea Selatan kepercayaan terhadap Presiden Moon Jae-in cukup tinggi bila dilihat dari kemajuan kinerja secara umum setelah menggantikan Park Geun-hye. Kepercayaan masyarakat Korea Selatan semakin meningkat ketika pemerintahnya mampu mengendalikan persebaran virus korona. Hal senada terjadi pada pemilu Singapura, voter turnout justru mengalami kenaikan karena kepercayaan terhadap partai penguasa People’s Action Party (PAP) masih cukup tinggi. PAP menguasai 83 dari 93 kursi di parlemen, meskipun ada indikasi pemilih muda menginginkan banyak kehadiran oposisi di parlemen.
Kedua, adanya alternatif pemungutan suara akibat ketakutan massa akan persebaran Covid-19. Seperti di Amerika Serikat, tingginya masyarakat yang positif Covid-19 menjadikan warganya khawatir untuk memberikan hak suara, meski penyelenggara pemilu sudah menerapkan protokol kesehatan. Adanya alternatif metode pemilihan dengan menggunakan pos menjadi alternatif pada pemilu awal Amerika Serikat.
Melihat kondisi Indonesia yang persebaran Covid-19 masih tinggi dan tidak adanya alternatif cara pemungutan suara, voter turnout dalam pilkada serentak kali ini berpotensi untuk turun. Penyelenggara pemilu harus memaksimalkan kampanye yang akan dimulai pada 26 September 2020 sampai 5 Desember 2020. Selama 71 hari KPUD harus bisa menarik masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Bahaya Turnout Buying dan Vote Buying
Pilkada pada masa Covid-19 menambah berat sosialisasi yang dilakukan pasangan calon (paslon). Sosialisasi yang seharusnya lebih banyak dilakukan ketika kampanye untuk meningkatkan voter turnout pastinya akan berkurang. Paslon juga harus lebih banyak mengangkat isu tentang Covid-19 dan penanganannya. Paslon yang memberikan program nyatalah yang akan dipilih masyarakat. Adanya Covid-19 menjadikan seleksi alam (survival of the fittest) bagi pasangan calon. Bagi pemilih, dengan beratnya dampak ekonomi yang dirasakan karena Covid-19, akan tergoda memilih paslon yang bisa memberikan utilitas besar salah satunya adalah uang. Fenomena turnout buying dan vote buying yang masih menggejala di setiap pemilu di Indonesia pasti akan meningkat di pilkada serentak 2020 saat pandemi. Maka dari itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan menyeluruh sampai di tingkat bawah untuk mengawasi hantu turnout buying dan vote buying. Dengan demikian, tingginya voter turnout di pilkada serentak 2020 dapat benar-benar tumbuh dari kesadaran masyarakat sebagai warga negara untuk memilih pemimpin yang terbaik.
(ras)
tulis komentar anda