Pemilu di Tengah Demokrasi yang Cacat
Sabtu, 17 Februari 2024 - 21:06 WIB
Sejatinya dalam tipe rezim ini, tidak ada persaingan melainkan hanya penyelenggaran teknis-elektoral prosedural rutin yang diklaim sebagai wujud pelaksanaan demokrasi. Lembaga-lembaga demokrasi pun dikontrol penuh oleh kekuatan koersif dan kapasitas kekuasaan organisasional negara sehingga rezim mampu mengkonsolidasikan kekuatan secara hegemonik untuk mengendalikan proses pemilu.
Namun pascagelombang demokrasi liberal di era 1990an, negara-negara yang dulu dipimpin oleh kediktatoral militer mencoba menganut model demokrasi liberal dengan pendekatan neo-institusionalisme akan tetapi tak juga menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan substantif. Steven Levitsky dan Lucan A Way menemukan bahwa pascaperang dingin, negara-negara yang mulanya berwatak kediktatoral militer tak juga berubah menjadi negara demokratis, melainkan bertransformasi menjadi “rezim otoritarianisme kompetitif”.
Dalam rezim otoritarianisme kompetitif, kekuasaan petahana tidak memiliki kapasitas koersif dan organisasional untuk mengkonsolidasikan kekuasaan hegemonik dalam rangka untuk meniadakan kompetisi dalam pemilu. Namun terjadi banyak penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi secara serius demi mengkondisikan “arena pertarungan yang tak adil” dalam kompetisi elektoral.
Dengan kata lain, penyalahgunaan kekuasaan, institusi hingga sumberdaya negara dilakukan oleh petahana untuk menciptakan arena pertarungan yang tak adil sehingga menciptakan kompetisi yang tak adil (unfair competition).
Intervensi terhadap independensi lembaga peradilan layaknya peristiwa MKMK, penggunaan aparat hukum dan birokrasi serta mobilisasi kepala desa secara terselubung, menekan pengusaha yang mendukung lawan hingga monopoli akses finansial dan media (baliho, iklan tv, medsos) sampai pada penggunaan anggaran kebijakan sosial (pork-barrel spending) layaknya bansos dan BLT merupakan upaya menciptakan medan pertempuran yang tak seimbang. Sehingga pergerakan elektoral lawan dengan mudah dikontrol bahkan digembosi.
Peristiwa semacam ini tentu tak dapat disebut telah tegaknya demokrasi dengan hanya berpatokan pada parameter diselenggarakannya pemilu secara rutin. Levitsky dan Schedler bersepakat situasi semacam ini disebut dalam term “electoral authoritarianism”. Di mana pemilu terselenggara dalam suasana otoriter yang diawali dengan runtuhnya “pagar” etika dan norma demokrasi hingga penggunaan sumber daya kekuasaan dan institusi negara untuk melemahkan kompetisi yang adil dan bebas sebagai syarat material terwujudnya demokrasi.
Elektoral otoritarianisme membuat sebagian negara berhasil melaksanaan pemilu secara rutin namun gagal melembagakan prinsip-prinsip demokrasi layaknya supremasi hukum, netralitas birokrasi, freedom of speech hingga imparsialitas penyelenggara pemilu. Sehingga rezim otoritarianisme kompetitif bukan bertujuan untuk menjalankan demokrasi melainkan untuk melanggengkan kekuasaan dan kohesi elit melalui sarana kompetisi elektoral yang tak adil dengan penyalahgunaan sumberdaya kekuasaan negara.
Maka pascakemenangan Prabowo-Gibran, perpolitikan Indonesia harus memiliki oposisi yang kuat di perlemen. Tujuannya menghindari Indonesia tergelincir dari rezim otoritarianisme kompetitif ke dalam jurang rezim otoritarianisme penuh (authoritarianism hegemonic regimes). Karena salah satu penyebab terjerumusnya rezim otoritarianisme kompetitif ke dalam jurang rezim otoritarianisme penuh layaknya Kirgizstan, Uganda, Kongo dan Belarus yakni lemahnya oposisi, sehingga membuat kontrol terhadap kekuasaan sangat lemah.
Maka tak terhindarkan pemimpin kekuasaan eksekutif pun berubah menjadi seorang otokrat populis. Karena rusaknya demokrasi seringkali diakibatkan oleh tindakan pemimpin otokrat populis (leader-driven) yang terus menerus melanggar prinsip demokrasi namun tanpa kontrol dan pengawasan yang berarti dari cabang kekuasaan demokrasi.
Namun pascagelombang demokrasi liberal di era 1990an, negara-negara yang dulu dipimpin oleh kediktatoral militer mencoba menganut model demokrasi liberal dengan pendekatan neo-institusionalisme akan tetapi tak juga menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan substantif. Steven Levitsky dan Lucan A Way menemukan bahwa pascaperang dingin, negara-negara yang mulanya berwatak kediktatoral militer tak juga berubah menjadi negara demokratis, melainkan bertransformasi menjadi “rezim otoritarianisme kompetitif”.
Dalam rezim otoritarianisme kompetitif, kekuasaan petahana tidak memiliki kapasitas koersif dan organisasional untuk mengkonsolidasikan kekuasaan hegemonik dalam rangka untuk meniadakan kompetisi dalam pemilu. Namun terjadi banyak penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi secara serius demi mengkondisikan “arena pertarungan yang tak adil” dalam kompetisi elektoral.
Dengan kata lain, penyalahgunaan kekuasaan, institusi hingga sumberdaya negara dilakukan oleh petahana untuk menciptakan arena pertarungan yang tak adil sehingga menciptakan kompetisi yang tak adil (unfair competition).
Intervensi terhadap independensi lembaga peradilan layaknya peristiwa MKMK, penggunaan aparat hukum dan birokrasi serta mobilisasi kepala desa secara terselubung, menekan pengusaha yang mendukung lawan hingga monopoli akses finansial dan media (baliho, iklan tv, medsos) sampai pada penggunaan anggaran kebijakan sosial (pork-barrel spending) layaknya bansos dan BLT merupakan upaya menciptakan medan pertempuran yang tak seimbang. Sehingga pergerakan elektoral lawan dengan mudah dikontrol bahkan digembosi.
Peristiwa semacam ini tentu tak dapat disebut telah tegaknya demokrasi dengan hanya berpatokan pada parameter diselenggarakannya pemilu secara rutin. Levitsky dan Schedler bersepakat situasi semacam ini disebut dalam term “electoral authoritarianism”. Di mana pemilu terselenggara dalam suasana otoriter yang diawali dengan runtuhnya “pagar” etika dan norma demokrasi hingga penggunaan sumber daya kekuasaan dan institusi negara untuk melemahkan kompetisi yang adil dan bebas sebagai syarat material terwujudnya demokrasi.
Elektoral otoritarianisme membuat sebagian negara berhasil melaksanaan pemilu secara rutin namun gagal melembagakan prinsip-prinsip demokrasi layaknya supremasi hukum, netralitas birokrasi, freedom of speech hingga imparsialitas penyelenggara pemilu. Sehingga rezim otoritarianisme kompetitif bukan bertujuan untuk menjalankan demokrasi melainkan untuk melanggengkan kekuasaan dan kohesi elit melalui sarana kompetisi elektoral yang tak adil dengan penyalahgunaan sumberdaya kekuasaan negara.
Maka pascakemenangan Prabowo-Gibran, perpolitikan Indonesia harus memiliki oposisi yang kuat di perlemen. Tujuannya menghindari Indonesia tergelincir dari rezim otoritarianisme kompetitif ke dalam jurang rezim otoritarianisme penuh (authoritarianism hegemonic regimes). Karena salah satu penyebab terjerumusnya rezim otoritarianisme kompetitif ke dalam jurang rezim otoritarianisme penuh layaknya Kirgizstan, Uganda, Kongo dan Belarus yakni lemahnya oposisi, sehingga membuat kontrol terhadap kekuasaan sangat lemah.
Maka tak terhindarkan pemimpin kekuasaan eksekutif pun berubah menjadi seorang otokrat populis. Karena rusaknya demokrasi seringkali diakibatkan oleh tindakan pemimpin otokrat populis (leader-driven) yang terus menerus melanggar prinsip demokrasi namun tanpa kontrol dan pengawasan yang berarti dari cabang kekuasaan demokrasi.
(poe)
tulis komentar anda