Serangan Fajar, Wong Cilik, dan Jawa
Selasa, 13 Februari 2024 - 07:54 WIB
Bambang Asrini
Esais Isu Sosial dan Budaya
JUTAAN wong cilik bersiap pergi ke bilik suara, sementara mereka harus mengarungi badai 'suara-suara hatinya' sendiri. Setidaknya ada dua kategori atas amatan penulis, dengan melihat kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan saat ini.
Yang pertama, bisa jadi mereka sudah tak peduli lagi, mengedepankan cara pragmatis, termasuk menerima serangan fajar berupa uang atau sembako. Yang kedua, kemungkinan mereka masih menolaknya, tentu dengan berbagai cara dan alasan, ingin merengkuh 'suara harapan' tentang pembebasan dan perubahan dalam memilih pemimpin negeri sesuai nurani.
Seperti kita tahu, mengamini yang sudah terjadi dan terang benderang meneruskan kekacauan, memilih capres yang melabrak segala aturan hukum pun melecehkan demokrasi justru merusak masa depan mereka, nasib wong-wong cilik itu sendiri. Mereka bisa jadi bimbang, jumlah jutaan yang lain dipilah-pilah oleh kategori-kategori penelaah dan konsultan politik 'berhati dingin' sebagai 'jenis penerima-bansos terperinci'. Yang menyambut 'serangan fajar' dianggap sebuah berkah dalam bentuk uang atau sembako sesegera mungkin, kemudian selangkah menuju ke bilik suara dan meraih angka, selanjutnya memenangkan kontestasi Pemilu yang acapkali menyedihkan ini.
Hal itu, bagi sebagian konsultan politik dianggap sebagai hal yang lumrah dalam hidup wong cilik yang kalah dan terpojok oleh kebutuhan keseharian yang mencekik hari-hari ini pun keterbatasan-keterbatasan lainnya.
Yang pertama, adalah mereka yang menerima uang atau sembako tapi tak akan memberi suara pada si pemberi. Yang kedua, menerima uang/sembako dan memberikan suara pada pemberi. Yang terakhir adalah populasi terbesar, yakni mereka yang memberi suara pada si pemberi dengan jumlah nilai terbesar uang atau sembakonya.
Menjadi orang Jawa, penulis masih percaya ada 'suara-suara lain' dari timbunan ingatan komunal ribuan-tahun, tentang memberi arti martabat diri sebagai membangun ikhtiar menuju manusia utuh, dadi Wong Jowo. Iming-iming tentang harta-benda, uang apalagi kekuasaan menjadi sebuah nilai-nilai abstrak tentang hal yang berkarakter sejatinya imaterial. Tak menyoal benda saja. Tentunya, itu masih menjadi pertimbangan-pertimbangan 'ajining diri' untuk diterima atau ditolak sama sekali tergantung situasi dan kondisi.
Esais Isu Sosial dan Budaya
JUTAAN wong cilik bersiap pergi ke bilik suara, sementara mereka harus mengarungi badai 'suara-suara hatinya' sendiri. Setidaknya ada dua kategori atas amatan penulis, dengan melihat kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan saat ini.
Yang pertama, bisa jadi mereka sudah tak peduli lagi, mengedepankan cara pragmatis, termasuk menerima serangan fajar berupa uang atau sembako. Yang kedua, kemungkinan mereka masih menolaknya, tentu dengan berbagai cara dan alasan, ingin merengkuh 'suara harapan' tentang pembebasan dan perubahan dalam memilih pemimpin negeri sesuai nurani.
Seperti kita tahu, mengamini yang sudah terjadi dan terang benderang meneruskan kekacauan, memilih capres yang melabrak segala aturan hukum pun melecehkan demokrasi justru merusak masa depan mereka, nasib wong-wong cilik itu sendiri. Mereka bisa jadi bimbang, jumlah jutaan yang lain dipilah-pilah oleh kategori-kategori penelaah dan konsultan politik 'berhati dingin' sebagai 'jenis penerima-bansos terperinci'. Yang menyambut 'serangan fajar' dianggap sebuah berkah dalam bentuk uang atau sembako sesegera mungkin, kemudian selangkah menuju ke bilik suara dan meraih angka, selanjutnya memenangkan kontestasi Pemilu yang acapkali menyedihkan ini.
Hal itu, bagi sebagian konsultan politik dianggap sebagai hal yang lumrah dalam hidup wong cilik yang kalah dan terpojok oleh kebutuhan keseharian yang mencekik hari-hari ini pun keterbatasan-keterbatasan lainnya.
Yang pertama, adalah mereka yang menerima uang atau sembako tapi tak akan memberi suara pada si pemberi. Yang kedua, menerima uang/sembako dan memberikan suara pada pemberi. Yang terakhir adalah populasi terbesar, yakni mereka yang memberi suara pada si pemberi dengan jumlah nilai terbesar uang atau sembakonya.
Martabat Wong Cilik
Penulis tumbuh dari keluarga sederhana, dalam konteks status serta struktur masyarakat kelas menengah-bawah, mengalami pun meghayati sebagai wong cilik, yang terbiasa sepanjang hidup mengalami tekanan secara psiko-sosiologis. Acapkali menjadi objek daripada menjadi subjek dalam strata dan kontruksi masyarakat paska modern yang kompleks ini.Menjadi orang Jawa, penulis masih percaya ada 'suara-suara lain' dari timbunan ingatan komunal ribuan-tahun, tentang memberi arti martabat diri sebagai membangun ikhtiar menuju manusia utuh, dadi Wong Jowo. Iming-iming tentang harta-benda, uang apalagi kekuasaan menjadi sebuah nilai-nilai abstrak tentang hal yang berkarakter sejatinya imaterial. Tak menyoal benda saja. Tentunya, itu masih menjadi pertimbangan-pertimbangan 'ajining diri' untuk diterima atau ditolak sama sekali tergantung situasi dan kondisi.
tulis komentar anda