Serangan Fajar, Wong Cilik, dan Jawa
Selasa, 13 Februari 2024 - 07:54 WIB
Taruhlah, konsep tentang empan-papan. Yang pengertian mendalamnya adalah orang Jawa yang sangat peduli pada situasi tertentu. Manusia tak boleh mengabaikan situasi dan kondisi lingkungan, konteks frasa ini adalah pada capres yang seringkali melabrak rambu-rambu hukum, sebab ia akan mengakibatkan kondisi proposisi gonyak-ganyuk nglelingsemi, yakni membuat malu karena tidak tahu diri, yang pada akhirnya menimbulkan karyenak tyasing sesami, yang membuat rakyat banyak hatinya menjadi tidak tenteram.
Bagaimana tidak, jika kepentingan publik berupa kekuasaan untuk mengorganisir sebuah negara untuk kesetaraan dan keadilan, senyatanya hanya untuk kepentingan keluarga dan kelompoknya saja, di manakah rasa malu? Hal tersebut membuat orang lain tak bisa nyaman, malahan bisa memicu amarah massal.
Orang-orang Jawa, mengajarkan bahwa senyatanya martabat atau harga diri menyetubuh dalam karakter kamanungsan, yaitu sikap diri yang selalu mengutamakan perilaku yang berlandas kepantasan dan kepatutan manusiawi dalam memperlakukan orang lain secara etis.
Kita masih ingat, akhir 2023 lalu, tatkala kasus masyarakat adat di daerah Rempang, Provinsi Kepualauan Riau mendadak menjadi isu nasional, mereka menolak Proyek Stategis Nasional dengan pemindahan lokasi, terutama makam leluhur mereka. Di Jawa, ada pepatah sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, yang secara harfiah bermakna satu sentuhan kening, satu jari luasnya bumi bertaruh nyawa, menunjukkan bahwa akar fundamen penting yang prinsipiil dalam kosmologi Orang Jawa kaitan antara 'kehormatan', 'tanah', dan 'moral' adalah yang akan dibela mati-matian sampai titik darah penghabisan.
Pengertian dari martabat adalah upaya bersama penghormatan pada diri dan orang lain, dengan orang Jawa untuk menghormati semesta dengan sepatutnya. Kematian dipertaruhkan bukanlah pembelaan atas benda-benda, dalam hal ini adalah makam, tanah dan lokasi tertentu; namun sebuah kompleksitas nilai-nilai yang dijunjung atas sejarah, orang-orang yang wafat dalam kemuliaan sebagai leluhur serta ada komitmen menjaganya sampai raga terpisah kelak.
Dalam konteks ini, serangan fajar dalam melangkah di KPPS nanti dan mencoblos di bilik suara, ingatan atas falsafah ojo milik barang kang melok (Jangan tergiur barang-barang mewah), yang jika kita menimbang bukanlah hal yang mewah dengan nilai tak seberapa jumlahnya uang dan sembako yang ditawarkan, seyogyanya ditolak.
Bukankah yang mewah saja kita semestinya berhati-hati dan waspada, apalagi tak seberapa nilainya dan mengakibatkan penyesalan nantinya? Maka, frasa lain menyusul yang seterusnya adalah konsep Ojo mangro mundak kendo (jangan mudah berubah pikiran agar tidak menyesal), yang bisa dijelaskan maknanya sebagai jangan mudah tergoda dengan segala sesuatu yang tampak indah, yang membawa kehancuran dan penyesalan.
Pada akhirnya, penulis terpikat pada frasa falsafah Orang Jawa sebagai pernyataan akhir penutup sebuah Debat Capres beberapa waktu lalu, yakni tatkala Anies Rasyid Baswedan menyampaikan bahwa sura dira jaya ningrat (Keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kenikmatan), lebur dening pangastuti (kalah dengan kasih sayang dan kebaikan).
Sebuah penutup yang elok, tatkala kita gamang menghadapi persoalan kebangsaan dan bernegara yang hari demi hari mengalami fase menurun oleh angkara murka. Bagaimana pun, mengutip falsafah Orang Jawa tadi bahwa sejatinya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan. Sifat keras hati, picik, dan kemarahan bisa dikalahkan dengan sikap lembut dan sabar.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
Bagaimana tidak, jika kepentingan publik berupa kekuasaan untuk mengorganisir sebuah negara untuk kesetaraan dan keadilan, senyatanya hanya untuk kepentingan keluarga dan kelompoknya saja, di manakah rasa malu? Hal tersebut membuat orang lain tak bisa nyaman, malahan bisa memicu amarah massal.
Orang-orang Jawa, mengajarkan bahwa senyatanya martabat atau harga diri menyetubuh dalam karakter kamanungsan, yaitu sikap diri yang selalu mengutamakan perilaku yang berlandas kepantasan dan kepatutan manusiawi dalam memperlakukan orang lain secara etis.
Kita masih ingat, akhir 2023 lalu, tatkala kasus masyarakat adat di daerah Rempang, Provinsi Kepualauan Riau mendadak menjadi isu nasional, mereka menolak Proyek Stategis Nasional dengan pemindahan lokasi, terutama makam leluhur mereka. Di Jawa, ada pepatah sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, yang secara harfiah bermakna satu sentuhan kening, satu jari luasnya bumi bertaruh nyawa, menunjukkan bahwa akar fundamen penting yang prinsipiil dalam kosmologi Orang Jawa kaitan antara 'kehormatan', 'tanah', dan 'moral' adalah yang akan dibela mati-matian sampai titik darah penghabisan.
Pengertian dari martabat adalah upaya bersama penghormatan pada diri dan orang lain, dengan orang Jawa untuk menghormati semesta dengan sepatutnya. Kematian dipertaruhkan bukanlah pembelaan atas benda-benda, dalam hal ini adalah makam, tanah dan lokasi tertentu; namun sebuah kompleksitas nilai-nilai yang dijunjung atas sejarah, orang-orang yang wafat dalam kemuliaan sebagai leluhur serta ada komitmen menjaganya sampai raga terpisah kelak.
Dalam konteks ini, serangan fajar dalam melangkah di KPPS nanti dan mencoblos di bilik suara, ingatan atas falsafah ojo milik barang kang melok (Jangan tergiur barang-barang mewah), yang jika kita menimbang bukanlah hal yang mewah dengan nilai tak seberapa jumlahnya uang dan sembako yang ditawarkan, seyogyanya ditolak.
Bukankah yang mewah saja kita semestinya berhati-hati dan waspada, apalagi tak seberapa nilainya dan mengakibatkan penyesalan nantinya? Maka, frasa lain menyusul yang seterusnya adalah konsep Ojo mangro mundak kendo (jangan mudah berubah pikiran agar tidak menyesal), yang bisa dijelaskan maknanya sebagai jangan mudah tergoda dengan segala sesuatu yang tampak indah, yang membawa kehancuran dan penyesalan.
Pada akhirnya, penulis terpikat pada frasa falsafah Orang Jawa sebagai pernyataan akhir penutup sebuah Debat Capres beberapa waktu lalu, yakni tatkala Anies Rasyid Baswedan menyampaikan bahwa sura dira jaya ningrat (Keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kenikmatan), lebur dening pangastuti (kalah dengan kasih sayang dan kebaikan).
Sebuah penutup yang elok, tatkala kita gamang menghadapi persoalan kebangsaan dan bernegara yang hari demi hari mengalami fase menurun oleh angkara murka. Bagaimana pun, mengutip falsafah Orang Jawa tadi bahwa sejatinya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan. Sifat keras hati, picik, dan kemarahan bisa dikalahkan dengan sikap lembut dan sabar.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
(abd)
tulis komentar anda