Parit, Jejak Nadi Masyarakat Bugis Perantauan di Pelosok Perairan Banyuasin, Sumatera Selatan

Jum'at, 09 Februari 2024 - 14:49 WIB
“Awal dibuat parit ini dalam dan lebarnya 3 sampai 7 meter. Karena sudah lama, sebagian parit-parit ini tertimbun lumpur dan ditumbuhi tanaman. Kalau tanah dan lumpur dalam parit tidak dikeruk, lama-lama parit semakin dangkal dan menyempit. Tidak bisa lagi dilewati oleh perahu, tongkang, speedboat,” tutur Mustafa.

Sekadar diketahui, berabad-abad lampau masyarakat Bugis sudah merantau dan menyebar di sejumlah pesisir Tanah Air, termasuk Banyuasin. Pada tahun 1963, suku Bugis bermigrasi ke Sungai Rengit, Banyuasin, yang saat itu masih bagian wilayah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Yang pertama datang hanya sekitar 10 kepala keluarga (KK), dan sejak awal kedatangan mereka bermata pencarian nelayan.



Tokoh masyarakat Bugis yang juga Direktur Pandutani Indonesia, Sarjan Tahir

saat bersilaturahmi dengan masyarakat Bugis perantauan di Banyuasin, Sumatera Selatan.



Faktor yang mempengaruhi mereka berlayar dari Sulawesi Selatan ke perairan Sumsel ialah salah satunya faktor ekonomi. Penduduk suku Bugis di Banyuasin ini awalnya ada yang langsung dari Sulawesi Selatan dan ada pula yang datang dari Riau dan Jambi. Pada tahun 1968, masyarakat suku Bugis menempati daerah Teluk Payo, Banyuasin II dan menyebar ke daerah lainnya dalam wilayah Kabupaten Banyuasin.

Lambat laun masyarakat Bugis mengetahui bahwa tanah di pesisir Banyuasin terutama di Teluk Payo cocok ditanami kelapa. Karena daerah yang ditinggali berupa hutan atau lahan kosong dan luas, kemudian mereka membuka lahan dan sungai-sungai kecil atau disebut oleh masyarakat Bugis dengan nama parit.

Mereka membuat parit secara berangsur-angsur, dimulai dari pinggiran lahan seluas 500 ha, selanjutnya ditambah lagi 500 ha dan demikian seterusnya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan yang ada. Mereka memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam kelapa atau kopra.

baca juga: Kue Bugis Jadi Hidangan Spesial Warisan Budaya Indonesia, Unik dengan Warna Ungu

“Saya ingat, bapak saya dulu menggali parit masih dengan alat seadanya. Pohon Nibung dibelah dua, terus dijadikan alat untuk menggali tanah dan dibuat parit. Saking dalamnya parit yang digali, sampai muka dan jidat bapak saya mencium permukaan air sungai,” kenang Nasir, warga Bugis perantauan yang sempat menjadi Kades Tanjung Lago, Banyuasin.

Andi Akka, 65, seorang warga Bugis perantauan yang tinggal di Desa Muara Baru, mengenang masa dahulu dirinya merantau ke Banyuasin pada tahun 1970. Waktu itu, dia dan sejumlah warga Bugis lainnya berlayar selama 40 hari menggunakan kapal kayu dari kampungnya di Bone, Sulawesi Selatan, dan sampai perairan Banyuasin.

"Dulu daerah ini (Desa Muara Baru) masih hutan. Jadi kami yang pertama membuka lahan dan permukiman di daerah ini. Setelah hutan daerah ini kami buka, barulah sebagian lahan yang kami tempati dan tanami tadi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat transmigrasi dari Jawa," ujar petani kelapa dan pinang ini.



Para pemuda Bugis perantauan di Desa Sungai Semut, Parit 7, Banyuasin

tengah bersenda gurau di salah satu rumah warga setempat.



Setali tiga uang, H Adam, warga Bugis perantauan lainnya, juga membenarkan jika merekalah yang pertama membuka lahan dan permukiman di desa Muara Baru. Secara swadaya dan bertahap mereka membangun daerah ini hingga berkembang dan lepas dari keterisolasian.

Meski sudah lama menetap dan membangun kehidupan di Banyuasin, tapi kata H Adam, ia dan warga keturunan Bugis tidak pernah menyombongkan diri kalau merekalah yang pertama membuka daerah ini.

baca juga: Unik! Jemaah Haji Suku Bugis Kenakan Baju Kurung Bak Ratu Saat Pulang ke Tanah Air

Masyarakat Bugis di perantauan, kata dia, mesti pandai menempatkan diri, berbaur dan saling menghormati masyarakat lainnya di luar suku Bugis. Karena hubungan baik itu pula, nyaris tak pernah terjadi konflik antara masyarakat Bugis perantauan dengan masyarakat lokal, termasuk dengan masyarakat transmigrasi dari Jawa, Bali, dan lainnya.

"Kami juga sadar kalau tempat tinggal kami berada di perantauan. Tapi bahwa kami ada di tempat ini dan membangun daerah ini sudah sejak lama, itu sepatutnya juga mesti diakui," kata Kades Muara Baru ini.

Ia melanjutkan, sama halnya seperti masyarakat lainnya di luar suku Bugis, terutama masyarakat transmigrasi yang setiap ada bantuan dari pemerintah selalu didahulukan, masyarakat perantauan Bugis tentu juga sangat menantikan bantuan-bantuan itu.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More