Parit, Jejak Nadi Masyarakat Bugis Perantauan di Pelosok Perairan Banyuasin, Sumatera Selatan
loading...
A
A
A
BANYUASIN - Duaspeedboat perlahan bertolak dari dermaga Simpang PU, Banyuasin , Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (5/2/2024) siang itu. Bagai permadani maha luas, sungai menjadi satu-satunya pilihan bagi speedboat dan sarana transportasi air lainnya untuk melintas.
baca juga: Pejabat Malaysia Keturunan Bugis
Meski terasa mau terbalik saat ber-manuver menghindari garis ombak yang menampar-nampar, speedboat tetap gagah membelahperairan Mekarti, yang bermuara ke Sungai Musi, persisnya perairan Sungsang menuju laut selat Bangka.
Speedboat yang membawa rombongan Pandutani Indonesia (Patani) itu melaju kencang menuju sejumlah pelosok perairan Banyuasin, mulai Kecamatan Mekarti Jaya, Air Salek, Muara Sugihan, Banyuasin III, hingga sebagian perairan Sungsang.
Terasa sekali, hal paling menyulitkan saat speedboat harus memotong rute perjalanan dan melintasi sungai-sungai kecil yang banyak tersebar di perairan Banyuasin. Sungai-sungai kecil yang disebut masyarakat setempat parit, ternyata terhubung langsung dengan permukiman warga yang tinggal di pelosok perairan tersebut.
Pohon kelapa dan aliran parit ciri khas perkampungan
warga Bugis perantauan di Desa Sungai Semut, Parit 7, Banyuasin.
Karena banyak tanaman air ditambah badan sungai yang dangkal dan menyempit tertutup lumpur serta pepohonan, memaksaspeedboatmelambatkan lajunya. Belum lagi mesin speedboat tiba-tiba mati karena kipas mesinnya tersangkut tanaman air yang menutup parit. Namun, setelah susah payah akhirnya speedboat tiba juga di titik pertama yang hendak dikunjungi, persisnya di sebuah desa bernama Sungai Semut, Parit 7, salah satu dari ratusan desa yang tersebar di wilayah perairan Banyuasin.
Suasana haru mewarnai pertemuan dengan masyarakat yang ternyata berasal dari suku Bugis , Makassar , Sulawesi Selatan . Diketahui pula Direktur Pandutani Indonesia, Sarjan Tahir juga berasal dari Bugis persisnya Bone, dan merantau ke Palembang pada tahun 90’an.
baca juga: Menarik, Film Puang Bos Hadirkan Kearifan Lokal Suku Bugis
“Saya merasa sangat bahagia dan seperti berada di tengah keluarga sendiri di kampung (Bugis, Makassar, Sulsel),” kata Sarjan yang pernah menjadi penasehat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (DKSS) Provinsi Sumsel.
Sarjan berbicara di tengah masyarakat yang duduk bersila mengelilinginya. Ia memperkenalkan diri, mulai asal kampung kelahirannya di Bugis, Bone, pengalaman hidupnya selama di perantauan, sampai maksud tujuannya datang ke kampung-kampung yang didiami masyarakat suku Bugis.
Selaku Direktur Utama Pandutani Indonesia (Patani) dan pernah menjabat Ketua Harian Masyarakat Agribisnis Indonesia (MAI), Sarjan memang kerap berkunjung ke sejumlah wilayah bahkan pelosok pedesaan yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan nelayan.
Ibu-ibu warga Bugis perantauan dalam suatu pertemuan di Desa Muara Baru, Banyuasin.
“Saya sering ke pesisir Banyuasin, cuma memang ke daerah ini (Desa Sungai Semut) baru sekali ini. Mudah-mudahan ke depan saya akan lebih sering ke daerah ini. Apalagi di sini mayoritas masyarakatnya dari Bugis, dan saya sendiri berasal dari Bugis,” kata Sarjan yang diketahui maju calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Dapil Sumsel 1.
Sementara itu, seorang warga Bugis perantauan, Mustafa, 60, yang rumahnya dijadikan lokasi pertemuan dengan rombongan Pandutani Indonesia, menyampaikan bahwa masyarakat Sungai Semut sangat berharap ada program normalisasi atau pengerukan parit di daerahnya.
baca juga: Bukan cuma Laki-laki dan Perempuan, Ini Lima Gender dalam Budaya Bugis
Parit-parit yang fungsinya layaknya jalan bagi masyarakat yang tinggal di daratan ini, sudah sejak lama dibuat secara swadaya oleh warga perantauan Bugis, jauh sebelum masyarakat transmigrasi dari Jawa di era pemerintahan Presiden Soeharto masuk ke daerah perairan Banyuasin. Parit tak ubahnya urat nadi dan jejak panjang perjuangan hidup warga perantauan Bugis di pelosok perairan Banyuasin.
“Awal dibuat parit ini dalam dan lebarnya 3 sampai 7 meter. Karena sudah lama, sebagian parit-parit ini tertimbun lumpur dan ditumbuhi tanaman. Kalau tanah dan lumpur dalam parit tidak dikeruk, lama-lama parit semakin dangkal dan menyempit. Tidak bisa lagi dilewati oleh perahu, tongkang, speedboat,” tutur Mustafa.
Sekadar diketahui, berabad-abad lampau masyarakat Bugis sudah merantau dan menyebar di sejumlah pesisir Tanah Air, termasuk Banyuasin. Pada tahun 1963, suku Bugis bermigrasi ke Sungai Rengit, Banyuasin, yang saat itu masih bagian wilayah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Yang pertama datang hanya sekitar 10 kepala keluarga (KK), dan sejak awal kedatangan mereka bermata pencarian nelayan.
Tokoh masyarakat Bugis yang juga Direktur Pandutani Indonesia, Sarjan Tahir
saat bersilaturahmi dengan masyarakat Bugis perantauan di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Faktor yang mempengaruhi mereka berlayar dari Sulawesi Selatan ke perairan Sumsel ialah salah satunya faktor ekonomi. Penduduk suku Bugis di Banyuasin ini awalnya ada yang langsung dari Sulawesi Selatan dan ada pula yang datang dari Riau dan Jambi. Pada tahun 1968, masyarakat suku Bugis menempati daerah Teluk Payo, Banyuasin II dan menyebar ke daerah lainnya dalam wilayah Kabupaten Banyuasin.
Lambat laun masyarakat Bugis mengetahui bahwa tanah di pesisir Banyuasin terutama di Teluk Payo cocok ditanami kelapa. Karena daerah yang ditinggali berupa hutan atau lahan kosong dan luas, kemudian mereka membuka lahan dan sungai-sungai kecil atau disebut oleh masyarakat Bugis dengan nama parit.
Mereka membuat parit secara berangsur-angsur, dimulai dari pinggiran lahan seluas 500 ha, selanjutnya ditambah lagi 500 ha dan demikian seterusnya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan yang ada. Mereka memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam kelapa atau kopra.
baca juga: Kue Bugis Jadi Hidangan Spesial Warisan Budaya Indonesia, Unik dengan Warna Ungu
“Saya ingat, bapak saya dulu menggali parit masih dengan alat seadanya. Pohon Nibung dibelah dua, terus dijadikan alat untuk menggali tanah dan dibuat parit. Saking dalamnya parit yang digali, sampai muka dan jidat bapak saya mencium permukaan air sungai,” kenang Nasir, warga Bugis perantauan yang sempat menjadi Kades Tanjung Lago, Banyuasin.
Andi Akka, 65, seorang warga Bugis perantauan yang tinggal di Desa Muara Baru, mengenang masa dahulu dirinya merantau ke Banyuasin pada tahun 1970. Waktu itu, dia dan sejumlah warga Bugis lainnya berlayar selama 40 hari menggunakan kapal kayu dari kampungnya di Bone, Sulawesi Selatan, dan sampai perairan Banyuasin.
"Dulu daerah ini (Desa Muara Baru) masih hutan. Jadi kami yang pertama membuka lahan dan permukiman di daerah ini. Setelah hutan daerah ini kami buka, barulah sebagian lahan yang kami tempati dan tanami tadi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat transmigrasi dari Jawa," ujar petani kelapa dan pinang ini.
Para pemuda Bugis perantauan di Desa Sungai Semut, Parit 7, Banyuasin
tengah bersenda gurau di salah satu rumah warga setempat.
Setali tiga uang, H Adam, warga Bugis perantauan lainnya, juga membenarkan jika merekalah yang pertama membuka lahan dan permukiman di desa Muara Baru. Secara swadaya dan bertahap mereka membangun daerah ini hingga berkembang dan lepas dari keterisolasian.
Meski sudah lama menetap dan membangun kehidupan di Banyuasin, tapi kata H Adam, ia dan warga keturunan Bugis tidak pernah menyombongkan diri kalau merekalah yang pertama membuka daerah ini.
baca juga: Unik! Jemaah Haji Suku Bugis Kenakan Baju Kurung Bak Ratu Saat Pulang ke Tanah Air
Masyarakat Bugis di perantauan, kata dia, mesti pandai menempatkan diri, berbaur dan saling menghormati masyarakat lainnya di luar suku Bugis. Karena hubungan baik itu pula, nyaris tak pernah terjadi konflik antara masyarakat Bugis perantauan dengan masyarakat lokal, termasuk dengan masyarakat transmigrasi dari Jawa, Bali, dan lainnya.
"Kami juga sadar kalau tempat tinggal kami berada di perantauan. Tapi bahwa kami ada di tempat ini dan membangun daerah ini sudah sejak lama, itu sepatutnya juga mesti diakui," kata Kades Muara Baru ini.
Ia melanjutkan, sama halnya seperti masyarakat lainnya di luar suku Bugis, terutama masyarakat transmigrasi yang setiap ada bantuan dari pemerintah selalu didahulukan, masyarakat perantauan Bugis tentu juga sangat menantikan bantuan-bantuan itu.
"Bantuan itu bukan tak ada sama sekali, tapi minim. Dan setiap ada bantuan, masyarakat Bugis seperti sengaja dinomor duakan. Ini bukan soal iri atau apa, tapi hanya soal keadilan saja. Malah daerah ini sempat tidak ada di peta. Jadi bagaimana mau diperhatikan kalau wilayahnya saja tidak masuk di peta," pungkas H Adam.
baca juga: Pejabat Malaysia Keturunan Bugis
Meski terasa mau terbalik saat ber-manuver menghindari garis ombak yang menampar-nampar, speedboat tetap gagah membelahperairan Mekarti, yang bermuara ke Sungai Musi, persisnya perairan Sungsang menuju laut selat Bangka.
Speedboat yang membawa rombongan Pandutani Indonesia (Patani) itu melaju kencang menuju sejumlah pelosok perairan Banyuasin, mulai Kecamatan Mekarti Jaya, Air Salek, Muara Sugihan, Banyuasin III, hingga sebagian perairan Sungsang.
Terasa sekali, hal paling menyulitkan saat speedboat harus memotong rute perjalanan dan melintasi sungai-sungai kecil yang banyak tersebar di perairan Banyuasin. Sungai-sungai kecil yang disebut masyarakat setempat parit, ternyata terhubung langsung dengan permukiman warga yang tinggal di pelosok perairan tersebut.
Pohon kelapa dan aliran parit ciri khas perkampungan
warga Bugis perantauan di Desa Sungai Semut, Parit 7, Banyuasin.
Karena banyak tanaman air ditambah badan sungai yang dangkal dan menyempit tertutup lumpur serta pepohonan, memaksaspeedboatmelambatkan lajunya. Belum lagi mesin speedboat tiba-tiba mati karena kipas mesinnya tersangkut tanaman air yang menutup parit. Namun, setelah susah payah akhirnya speedboat tiba juga di titik pertama yang hendak dikunjungi, persisnya di sebuah desa bernama Sungai Semut, Parit 7, salah satu dari ratusan desa yang tersebar di wilayah perairan Banyuasin.
Suasana haru mewarnai pertemuan dengan masyarakat yang ternyata berasal dari suku Bugis , Makassar , Sulawesi Selatan . Diketahui pula Direktur Pandutani Indonesia, Sarjan Tahir juga berasal dari Bugis persisnya Bone, dan merantau ke Palembang pada tahun 90’an.
baca juga: Menarik, Film Puang Bos Hadirkan Kearifan Lokal Suku Bugis
“Saya merasa sangat bahagia dan seperti berada di tengah keluarga sendiri di kampung (Bugis, Makassar, Sulsel),” kata Sarjan yang pernah menjadi penasehat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (DKSS) Provinsi Sumsel.
Sarjan berbicara di tengah masyarakat yang duduk bersila mengelilinginya. Ia memperkenalkan diri, mulai asal kampung kelahirannya di Bugis, Bone, pengalaman hidupnya selama di perantauan, sampai maksud tujuannya datang ke kampung-kampung yang didiami masyarakat suku Bugis.
Selaku Direktur Utama Pandutani Indonesia (Patani) dan pernah menjabat Ketua Harian Masyarakat Agribisnis Indonesia (MAI), Sarjan memang kerap berkunjung ke sejumlah wilayah bahkan pelosok pedesaan yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan nelayan.
Ibu-ibu warga Bugis perantauan dalam suatu pertemuan di Desa Muara Baru, Banyuasin.
“Saya sering ke pesisir Banyuasin, cuma memang ke daerah ini (Desa Sungai Semut) baru sekali ini. Mudah-mudahan ke depan saya akan lebih sering ke daerah ini. Apalagi di sini mayoritas masyarakatnya dari Bugis, dan saya sendiri berasal dari Bugis,” kata Sarjan yang diketahui maju calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Dapil Sumsel 1.
Sementara itu, seorang warga Bugis perantauan, Mustafa, 60, yang rumahnya dijadikan lokasi pertemuan dengan rombongan Pandutani Indonesia, menyampaikan bahwa masyarakat Sungai Semut sangat berharap ada program normalisasi atau pengerukan parit di daerahnya.
baca juga: Bukan cuma Laki-laki dan Perempuan, Ini Lima Gender dalam Budaya Bugis
Parit-parit yang fungsinya layaknya jalan bagi masyarakat yang tinggal di daratan ini, sudah sejak lama dibuat secara swadaya oleh warga perantauan Bugis, jauh sebelum masyarakat transmigrasi dari Jawa di era pemerintahan Presiden Soeharto masuk ke daerah perairan Banyuasin. Parit tak ubahnya urat nadi dan jejak panjang perjuangan hidup warga perantauan Bugis di pelosok perairan Banyuasin.
“Awal dibuat parit ini dalam dan lebarnya 3 sampai 7 meter. Karena sudah lama, sebagian parit-parit ini tertimbun lumpur dan ditumbuhi tanaman. Kalau tanah dan lumpur dalam parit tidak dikeruk, lama-lama parit semakin dangkal dan menyempit. Tidak bisa lagi dilewati oleh perahu, tongkang, speedboat,” tutur Mustafa.
Sekadar diketahui, berabad-abad lampau masyarakat Bugis sudah merantau dan menyebar di sejumlah pesisir Tanah Air, termasuk Banyuasin. Pada tahun 1963, suku Bugis bermigrasi ke Sungai Rengit, Banyuasin, yang saat itu masih bagian wilayah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Yang pertama datang hanya sekitar 10 kepala keluarga (KK), dan sejak awal kedatangan mereka bermata pencarian nelayan.
Tokoh masyarakat Bugis yang juga Direktur Pandutani Indonesia, Sarjan Tahir
saat bersilaturahmi dengan masyarakat Bugis perantauan di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Faktor yang mempengaruhi mereka berlayar dari Sulawesi Selatan ke perairan Sumsel ialah salah satunya faktor ekonomi. Penduduk suku Bugis di Banyuasin ini awalnya ada yang langsung dari Sulawesi Selatan dan ada pula yang datang dari Riau dan Jambi. Pada tahun 1968, masyarakat suku Bugis menempati daerah Teluk Payo, Banyuasin II dan menyebar ke daerah lainnya dalam wilayah Kabupaten Banyuasin.
Lambat laun masyarakat Bugis mengetahui bahwa tanah di pesisir Banyuasin terutama di Teluk Payo cocok ditanami kelapa. Karena daerah yang ditinggali berupa hutan atau lahan kosong dan luas, kemudian mereka membuka lahan dan sungai-sungai kecil atau disebut oleh masyarakat Bugis dengan nama parit.
Mereka membuat parit secara berangsur-angsur, dimulai dari pinggiran lahan seluas 500 ha, selanjutnya ditambah lagi 500 ha dan demikian seterusnya sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan yang ada. Mereka memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam kelapa atau kopra.
baca juga: Kue Bugis Jadi Hidangan Spesial Warisan Budaya Indonesia, Unik dengan Warna Ungu
“Saya ingat, bapak saya dulu menggali parit masih dengan alat seadanya. Pohon Nibung dibelah dua, terus dijadikan alat untuk menggali tanah dan dibuat parit. Saking dalamnya parit yang digali, sampai muka dan jidat bapak saya mencium permukaan air sungai,” kenang Nasir, warga Bugis perantauan yang sempat menjadi Kades Tanjung Lago, Banyuasin.
Andi Akka, 65, seorang warga Bugis perantauan yang tinggal di Desa Muara Baru, mengenang masa dahulu dirinya merantau ke Banyuasin pada tahun 1970. Waktu itu, dia dan sejumlah warga Bugis lainnya berlayar selama 40 hari menggunakan kapal kayu dari kampungnya di Bone, Sulawesi Selatan, dan sampai perairan Banyuasin.
"Dulu daerah ini (Desa Muara Baru) masih hutan. Jadi kami yang pertama membuka lahan dan permukiman di daerah ini. Setelah hutan daerah ini kami buka, barulah sebagian lahan yang kami tempati dan tanami tadi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat transmigrasi dari Jawa," ujar petani kelapa dan pinang ini.
Para pemuda Bugis perantauan di Desa Sungai Semut, Parit 7, Banyuasin
tengah bersenda gurau di salah satu rumah warga setempat.
Setali tiga uang, H Adam, warga Bugis perantauan lainnya, juga membenarkan jika merekalah yang pertama membuka lahan dan permukiman di desa Muara Baru. Secara swadaya dan bertahap mereka membangun daerah ini hingga berkembang dan lepas dari keterisolasian.
Meski sudah lama menetap dan membangun kehidupan di Banyuasin, tapi kata H Adam, ia dan warga keturunan Bugis tidak pernah menyombongkan diri kalau merekalah yang pertama membuka daerah ini.
baca juga: Unik! Jemaah Haji Suku Bugis Kenakan Baju Kurung Bak Ratu Saat Pulang ke Tanah Air
Masyarakat Bugis di perantauan, kata dia, mesti pandai menempatkan diri, berbaur dan saling menghormati masyarakat lainnya di luar suku Bugis. Karena hubungan baik itu pula, nyaris tak pernah terjadi konflik antara masyarakat Bugis perantauan dengan masyarakat lokal, termasuk dengan masyarakat transmigrasi dari Jawa, Bali, dan lainnya.
"Kami juga sadar kalau tempat tinggal kami berada di perantauan. Tapi bahwa kami ada di tempat ini dan membangun daerah ini sudah sejak lama, itu sepatutnya juga mesti diakui," kata Kades Muara Baru ini.
Ia melanjutkan, sama halnya seperti masyarakat lainnya di luar suku Bugis, terutama masyarakat transmigrasi yang setiap ada bantuan dari pemerintah selalu didahulukan, masyarakat perantauan Bugis tentu juga sangat menantikan bantuan-bantuan itu.
"Bantuan itu bukan tak ada sama sekali, tapi minim. Dan setiap ada bantuan, masyarakat Bugis seperti sengaja dinomor duakan. Ini bukan soal iri atau apa, tapi hanya soal keadilan saja. Malah daerah ini sempat tidak ada di peta. Jadi bagaimana mau diperhatikan kalau wilayahnya saja tidak masuk di peta," pungkas H Adam.
(hdr)