Pelayanan JKN yang Kreatif dan Inovatif
Kamis, 13 Agustus 2020 - 06:23 WIB
Mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UU SJSN, obat adalah bagian yang dijamin Program JKN. Jenis obat yang dijamin termuat di formularium nasional (fornas) yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018. Hampir semua peserta JKN tidak mengetahui tentang fornas ini sehingga peserta tidak mengetahui obat yang diresepkan dokter itu dijamin atau tidak. Seharusnya BPJS Kesehatan memastikan dokter meresepkan obat yang memang dijamin fornas, dan BPJS Kesehatan juga menyosialisasi dan mengedukasi fornas ini kepada peserta (amanat Pasal 15 ayat (2) UU SJSN).
Kecenderungannya saat ini Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan mengurangi jenis obat yang dijamin JKN. Beberapa obat yang dikeluarkan dari fornas, antara lain obat bevacizumab dan cetuximab yang harganya relatif mahal hingga obat dexyclav (sirup kering) dan vipalbumin yang relatif murah. Kebijakan pemerintah ini mempersulit peserta mengakses obat yang berkualitas.
Akses peserta JKN kepada ruang rawat inap juga menjadi persoalan selama ini. Walaupun Pasal 90 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2018 mengamanatkan faskes dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap kepada masyarakat, namun masih ada peserta JKN yang mengalami kesulitan mendapat ruang rawat inap.
Masalah obat, akses ruang rawat inap, dan persoalan pelayanan lainnya seharusnya bisa diminimalkan bila BPJS Kesehatan benar-benar memaksimalkan peran Unit Pengaduan yang diamanatkan Pasal 89 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018. Pada ayat (5) disebutkan pengaduan ketidakpuasan peserta yang disampaikan harus memperoleh penanganan dan penyelesaian secara memadai dan dalam waktu yang singkat serta diberikan umpan balik kepada pihak yang menyampaikan. Dengan kehadiran staf BPJS Kesehatan di Unit Pengaduan maka peserta yang bermasalah akan dengan mudah dibantu.
Pada masa pandemi Covid-19 ini pemerintah dan BPJS Kesehatan belum mampu mengatasi permasalahan terkait kekhawatiran pasien JKN ke rumah sakit (RS), dan adanya RS yang mewajibkan tes Covid-19 sehingga pasien JKN harus bayar tes tersebut. Kekhawatiran pasien JKN tertular Covid-19 harusnya bisa diatasi dengan telemedicine, khususnya bagi pasien-pasien lama yang ingin kontrol kondisi penyakitnya. Seharusnya BPJS Kesehatan menjamin pelayanan telemedicine bagi pasien JKN sehingga RS bisa mengetahui kondisi pasien.
Dengan kondisi pandemi ini memang tepat bila RS mewajibkan tes Covid-19, dan mengacu pada Pasal 68 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018 seharusnya pembiayaan tes Covid-19 ditanggung BPJS Kesehatan. Guna menjembatani kedua permasalahan di atas Menteri Kesehatan dapat menggunakan Pasal 49 Perpres Nomor 82/2018 untuk membuat regulasi yang menetapkan pelayanan kesehatan secara telemedicine dan tes Covid-19 menjadi penjaminan BPJS Kesehatan.
Namun, saat ini sepertinya Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan masih berpikir normal-normal saja sehingga kebutuhan pelayanan telemedicine dan tes Covid-19 bagi peserta JKN tidak menjadi penting dan membiarkan pasien JKN tetap khawatir ke RS dan pasien membayar sendiri biaya tes Covid-19.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta JKN sehingga tingkat kepuasan peserta terhadap JKN lebih baik lagi.
Kecenderungannya saat ini Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan mengurangi jenis obat yang dijamin JKN. Beberapa obat yang dikeluarkan dari fornas, antara lain obat bevacizumab dan cetuximab yang harganya relatif mahal hingga obat dexyclav (sirup kering) dan vipalbumin yang relatif murah. Kebijakan pemerintah ini mempersulit peserta mengakses obat yang berkualitas.
Akses peserta JKN kepada ruang rawat inap juga menjadi persoalan selama ini. Walaupun Pasal 90 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2018 mengamanatkan faskes dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap kepada masyarakat, namun masih ada peserta JKN yang mengalami kesulitan mendapat ruang rawat inap.
Masalah obat, akses ruang rawat inap, dan persoalan pelayanan lainnya seharusnya bisa diminimalkan bila BPJS Kesehatan benar-benar memaksimalkan peran Unit Pengaduan yang diamanatkan Pasal 89 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018. Pada ayat (5) disebutkan pengaduan ketidakpuasan peserta yang disampaikan harus memperoleh penanganan dan penyelesaian secara memadai dan dalam waktu yang singkat serta diberikan umpan balik kepada pihak yang menyampaikan. Dengan kehadiran staf BPJS Kesehatan di Unit Pengaduan maka peserta yang bermasalah akan dengan mudah dibantu.
Pada masa pandemi Covid-19 ini pemerintah dan BPJS Kesehatan belum mampu mengatasi permasalahan terkait kekhawatiran pasien JKN ke rumah sakit (RS), dan adanya RS yang mewajibkan tes Covid-19 sehingga pasien JKN harus bayar tes tersebut. Kekhawatiran pasien JKN tertular Covid-19 harusnya bisa diatasi dengan telemedicine, khususnya bagi pasien-pasien lama yang ingin kontrol kondisi penyakitnya. Seharusnya BPJS Kesehatan menjamin pelayanan telemedicine bagi pasien JKN sehingga RS bisa mengetahui kondisi pasien.
Dengan kondisi pandemi ini memang tepat bila RS mewajibkan tes Covid-19, dan mengacu pada Pasal 68 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018 seharusnya pembiayaan tes Covid-19 ditanggung BPJS Kesehatan. Guna menjembatani kedua permasalahan di atas Menteri Kesehatan dapat menggunakan Pasal 49 Perpres Nomor 82/2018 untuk membuat regulasi yang menetapkan pelayanan kesehatan secara telemedicine dan tes Covid-19 menjadi penjaminan BPJS Kesehatan.
Namun, saat ini sepertinya Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan masih berpikir normal-normal saja sehingga kebutuhan pelayanan telemedicine dan tes Covid-19 bagi peserta JKN tidak menjadi penting dan membiarkan pasien JKN tetap khawatir ke RS dan pasien membayar sendiri biaya tes Covid-19.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta JKN sehingga tingkat kepuasan peserta terhadap JKN lebih baik lagi.
(ras)
tulis komentar anda