Pelayanan JKN yang Kreatif dan Inovatif
loading...
A
A
A
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Sekjen OPSI-KRPI
LAPORAN Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Tahun 2019 BPJS Kesehatan telah dipublikasi di media massa pada 28 Juli 2020. Pelaporan ini merupakan amanat UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) jo Peraturan Presiden Nomor 87/2013 (perubahan terakhir Perpres Nomor 53/2018), yang setiap tahun harus dipublikasi paling lambat pada 31 Juli.
Seperti laporan tahun-tahun sebelumnya yang dirundung defisit, laporan keuangan ini pun mengetengahkan penurunan Aset neto DJS (Dana Jaminan Sosial) yang pada akhir 2019 mencatat nilai sebesar Rp17,03 triliun, sehingga aset neto akhir periode berjumlah Rp55,99 triliun. Laporan ini mengukuhkan kembali bahwa hingga tahun keenam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus mengalami defisit.
Walaupun terus defisit, faktanya Program JKN ini telah dan terus memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia. Pada 2019 jumlah pemanfaatan program ini meningkat mencapai 276,1 juta kunjungan sakit, dari tahun sebelumnya sebanyak 233,9 juta kunjungan. Sebenarnya total kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes) pada 2019 sebanyak 433,44 juta (atau rata-rata total pemanfaatan per hari kalender sebanyak 1.187.507 kunjungan), termasuk 157,34 juta kunjungan sehat. Seharusnya laporan ini menampilkan data kunjungan sehat juga untuk memberikan informasi bahwa program JKN termasuk untuk proses preventif, tidak selalu kuratif.
Pengakuan manfaat yang telah diterima masyarakat ini pun dapat dilihat dari hasil survei kepuasan peserta dan kepuasan faskes terhadap program JKN, yang setiap tahun meningkat. Tingkat kepuasan peserta pada 2019 meningkat menjadi 80,1% dari tahun sebelumnya 79,7%, sementara kepuasan faskes menjadi 79,1%, naik dari tahun lalu 75,8%.
Peningkatan Pelayanan
Program JKN yang sudah memasuki tahun ketujuh ini, tentunya dengan tingkat kepuasan peserta sebesar 80,1% masih memiliki permasalahan di beberapa sisi, khususnya di sisi pelayanan di faskes. Apalagi saat pandemi Covid-19 ini, pelayanan JKN memang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Merujuk Pasal 24 ayat (3) UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), BPJS Kesehatan seharusnya terus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan Kesehatan.
BPJS Watch mencatat beberapa persoalan pelayanan di lapangan, khususnya terkait jenis obat yang ditanggung JKN dan akses peserta terhadap ruang perawatan. Kedua persoalan ini kerap kali dialami peserta JKN.
Mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UU SJSN, obat adalah bagian yang dijamin Program JKN. Jenis obat yang dijamin termuat di formularium nasional (fornas) yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018. Hampir semua peserta JKN tidak mengetahui tentang fornas ini sehingga peserta tidak mengetahui obat yang diresepkan dokter itu dijamin atau tidak. Seharusnya BPJS Kesehatan memastikan dokter meresepkan obat yang memang dijamin fornas, dan BPJS Kesehatan juga menyosialisasi dan mengedukasi fornas ini kepada peserta (amanat Pasal 15 ayat (2) UU SJSN).
Kecenderungannya saat ini Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan mengurangi jenis obat yang dijamin JKN. Beberapa obat yang dikeluarkan dari fornas, antara lain obat bevacizumab dan cetuximab yang harganya relatif mahal hingga obat dexyclav (sirup kering) dan vipalbumin yang relatif murah. Kebijakan pemerintah ini mempersulit peserta mengakses obat yang berkualitas.
Akses peserta JKN kepada ruang rawat inap juga menjadi persoalan selama ini. Walaupun Pasal 90 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2018 mengamanatkan faskes dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap kepada masyarakat, namun masih ada peserta JKN yang mengalami kesulitan mendapat ruang rawat inap.
Masalah obat, akses ruang rawat inap, dan persoalan pelayanan lainnya seharusnya bisa diminimalkan bila BPJS Kesehatan benar-benar memaksimalkan peran Unit Pengaduan yang diamanatkan Pasal 89 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018. Pada ayat (5) disebutkan pengaduan ketidakpuasan peserta yang disampaikan harus memperoleh penanganan dan penyelesaian secara memadai dan dalam waktu yang singkat serta diberikan umpan balik kepada pihak yang menyampaikan. Dengan kehadiran staf BPJS Kesehatan di Unit Pengaduan maka peserta yang bermasalah akan dengan mudah dibantu.
Pada masa pandemi Covid-19 ini pemerintah dan BPJS Kesehatan belum mampu mengatasi permasalahan terkait kekhawatiran pasien JKN ke rumah sakit (RS), dan adanya RS yang mewajibkan tes Covid-19 sehingga pasien JKN harus bayar tes tersebut. Kekhawatiran pasien JKN tertular Covid-19 harusnya bisa diatasi dengan telemedicine, khususnya bagi pasien-pasien lama yang ingin kontrol kondisi penyakitnya. Seharusnya BPJS Kesehatan menjamin pelayanan telemedicine bagi pasien JKN sehingga RS bisa mengetahui kondisi pasien.
Dengan kondisi pandemi ini memang tepat bila RS mewajibkan tes Covid-19, dan mengacu pada Pasal 68 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018 seharusnya pembiayaan tes Covid-19 ditanggung BPJS Kesehatan. Guna menjembatani kedua permasalahan di atas Menteri Kesehatan dapat menggunakan Pasal 49 Perpres Nomor 82/2018 untuk membuat regulasi yang menetapkan pelayanan kesehatan secara telemedicine dan tes Covid-19 menjadi penjaminan BPJS Kesehatan.
Namun, saat ini sepertinya Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan masih berpikir normal-normal saja sehingga kebutuhan pelayanan telemedicine dan tes Covid-19 bagi peserta JKN tidak menjadi penting dan membiarkan pasien JKN tetap khawatir ke RS dan pasien membayar sendiri biaya tes Covid-19.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta JKN sehingga tingkat kepuasan peserta terhadap JKN lebih baik lagi.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Sekjen OPSI-KRPI
LAPORAN Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Tahun 2019 BPJS Kesehatan telah dipublikasi di media massa pada 28 Juli 2020. Pelaporan ini merupakan amanat UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) jo Peraturan Presiden Nomor 87/2013 (perubahan terakhir Perpres Nomor 53/2018), yang setiap tahun harus dipublikasi paling lambat pada 31 Juli.
Seperti laporan tahun-tahun sebelumnya yang dirundung defisit, laporan keuangan ini pun mengetengahkan penurunan Aset neto DJS (Dana Jaminan Sosial) yang pada akhir 2019 mencatat nilai sebesar Rp17,03 triliun, sehingga aset neto akhir periode berjumlah Rp55,99 triliun. Laporan ini mengukuhkan kembali bahwa hingga tahun keenam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus mengalami defisit.
Walaupun terus defisit, faktanya Program JKN ini telah dan terus memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia. Pada 2019 jumlah pemanfaatan program ini meningkat mencapai 276,1 juta kunjungan sakit, dari tahun sebelumnya sebanyak 233,9 juta kunjungan. Sebenarnya total kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes) pada 2019 sebanyak 433,44 juta (atau rata-rata total pemanfaatan per hari kalender sebanyak 1.187.507 kunjungan), termasuk 157,34 juta kunjungan sehat. Seharusnya laporan ini menampilkan data kunjungan sehat juga untuk memberikan informasi bahwa program JKN termasuk untuk proses preventif, tidak selalu kuratif.
Pengakuan manfaat yang telah diterima masyarakat ini pun dapat dilihat dari hasil survei kepuasan peserta dan kepuasan faskes terhadap program JKN, yang setiap tahun meningkat. Tingkat kepuasan peserta pada 2019 meningkat menjadi 80,1% dari tahun sebelumnya 79,7%, sementara kepuasan faskes menjadi 79,1%, naik dari tahun lalu 75,8%.
Peningkatan Pelayanan
Program JKN yang sudah memasuki tahun ketujuh ini, tentunya dengan tingkat kepuasan peserta sebesar 80,1% masih memiliki permasalahan di beberapa sisi, khususnya di sisi pelayanan di faskes. Apalagi saat pandemi Covid-19 ini, pelayanan JKN memang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Merujuk Pasal 24 ayat (3) UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), BPJS Kesehatan seharusnya terus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan Kesehatan.
BPJS Watch mencatat beberapa persoalan pelayanan di lapangan, khususnya terkait jenis obat yang ditanggung JKN dan akses peserta terhadap ruang perawatan. Kedua persoalan ini kerap kali dialami peserta JKN.
Mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UU SJSN, obat adalah bagian yang dijamin Program JKN. Jenis obat yang dijamin termuat di formularium nasional (fornas) yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018. Hampir semua peserta JKN tidak mengetahui tentang fornas ini sehingga peserta tidak mengetahui obat yang diresepkan dokter itu dijamin atau tidak. Seharusnya BPJS Kesehatan memastikan dokter meresepkan obat yang memang dijamin fornas, dan BPJS Kesehatan juga menyosialisasi dan mengedukasi fornas ini kepada peserta (amanat Pasal 15 ayat (2) UU SJSN).
Kecenderungannya saat ini Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan mengurangi jenis obat yang dijamin JKN. Beberapa obat yang dikeluarkan dari fornas, antara lain obat bevacizumab dan cetuximab yang harganya relatif mahal hingga obat dexyclav (sirup kering) dan vipalbumin yang relatif murah. Kebijakan pemerintah ini mempersulit peserta mengakses obat yang berkualitas.
Akses peserta JKN kepada ruang rawat inap juga menjadi persoalan selama ini. Walaupun Pasal 90 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2018 mengamanatkan faskes dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap kepada masyarakat, namun masih ada peserta JKN yang mengalami kesulitan mendapat ruang rawat inap.
Masalah obat, akses ruang rawat inap, dan persoalan pelayanan lainnya seharusnya bisa diminimalkan bila BPJS Kesehatan benar-benar memaksimalkan peran Unit Pengaduan yang diamanatkan Pasal 89 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018. Pada ayat (5) disebutkan pengaduan ketidakpuasan peserta yang disampaikan harus memperoleh penanganan dan penyelesaian secara memadai dan dalam waktu yang singkat serta diberikan umpan balik kepada pihak yang menyampaikan. Dengan kehadiran staf BPJS Kesehatan di Unit Pengaduan maka peserta yang bermasalah akan dengan mudah dibantu.
Pada masa pandemi Covid-19 ini pemerintah dan BPJS Kesehatan belum mampu mengatasi permasalahan terkait kekhawatiran pasien JKN ke rumah sakit (RS), dan adanya RS yang mewajibkan tes Covid-19 sehingga pasien JKN harus bayar tes tersebut. Kekhawatiran pasien JKN tertular Covid-19 harusnya bisa diatasi dengan telemedicine, khususnya bagi pasien-pasien lama yang ingin kontrol kondisi penyakitnya. Seharusnya BPJS Kesehatan menjamin pelayanan telemedicine bagi pasien JKN sehingga RS bisa mengetahui kondisi pasien.
Dengan kondisi pandemi ini memang tepat bila RS mewajibkan tes Covid-19, dan mengacu pada Pasal 68 ayat (3) Perpres Nomor 82/2018 seharusnya pembiayaan tes Covid-19 ditanggung BPJS Kesehatan. Guna menjembatani kedua permasalahan di atas Menteri Kesehatan dapat menggunakan Pasal 49 Perpres Nomor 82/2018 untuk membuat regulasi yang menetapkan pelayanan kesehatan secara telemedicine dan tes Covid-19 menjadi penjaminan BPJS Kesehatan.
Namun, saat ini sepertinya Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan masih berpikir normal-normal saja sehingga kebutuhan pelayanan telemedicine dan tes Covid-19 bagi peserta JKN tidak menjadi penting dan membiarkan pasien JKN tetap khawatir ke RS dan pasien membayar sendiri biaya tes Covid-19.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta JKN sehingga tingkat kepuasan peserta terhadap JKN lebih baik lagi.
(ras)