Dilema UKT Berbasis Pinjol
Sabtu, 03 Februari 2024 - 08:42 WIB
Pertimbangan Kebijakan
Jalinan kerja sama ITB dengan PT. Danacita diakui sebagai bentuk “ikhtiar lembaga” untuk membantu mahasiswa dalam membayar UKT mereka. Dalam arti, keberadaan program bantuan pinjaman online untuk mahasiswa di sini bertujuan untuk mendukung kelancaran proses studi mereka. Karena itu, kerja sama ITB dengan pihak lembaga Fintech sama sekali tidak bersifat profit oriented dalam perspektif kepentingan ITB. Namun demikian, pihak ITB melalui Rektor ITB Reini Djuhraeni Wirahadikusuman tetap menyampaikan permohonan maaf atas polemik terkait mekanisme pembayaran UKT berbasis pinjol. Terlebih lagi, penawaran opsi pembayaran UKT berbasis pinjol diakui belum tersosialisasikan secara luas kepada kalangan mahasiswa sehingga memicu munculnya kesalahpahaman dan bahkan polemik berkepanjangan khususnya di kalangan komunitas kampus.
Kebijakan Pemerintah
Menyikapi polemik mengenai skema pembayaran UKT berbasis pinjol, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dilaporkan telah memberikan perhatian serius. Menkeu meminta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk mengkaji skema student loan sebagai solusi kebikajan untuk pengaturan pembayaran UKT mahasiswa. Skema student loan sendiri bukanlah sesuatu yang baru di dunia perguruan tinggi Indonesia. Skema pemberian pinjaman untuk mahasiswa dimaksud sejauh ini lazim ditemui di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat.
Khusus Indonesia, skema pemberian pinjaman untuk mahasiswa ini masih dalam tahap pengkajian komprehensif. Kajian dilakukan untuk mengantisipasi sedini mungkin dampak potensial yang dapat muncul dari program dana pinjaman bagi mahasiswa sebagaimana yang kerap dijumpai dalam program student loan di Amerika Serikat. Salah satu hal penting yang menjadi perhatian Pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf, bahwa skema student loan tersebut tidak akan bekerja sama dengan Fintech, namun dengan lembaga perbankan yang pelaksanaannya diatur dan diawasi secara ketat oleh Pemerintah Pusat.
Lessons learned
Terkait skema student loan ala Amerika Serikat, di era Orde Baru tepatnya di era tahun 1980-an, Indonesia sendiri pernah memiliki program sejenis bernama "Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI)". Pemberian pinjaman untuk mahasiswa berbasis KMI ini mensyaratkan dokumen ijazah asli sebagai agunan untuk kepentingan proses peminjaman. Namun, program KMI tidak berlanjut antara lain akibat terkendala kemampuan mahasiswa selaku pihak peminjam dalam melunasi pinjamannya. Penggunaan ijazah sebagai agunan pinjaman juga dipandang menjadi kendala tersendiri bagi mahasiswa terutama dalam mendapatkan pekerjaan khususnya di lembaga yang mensyaratkan dokumen ijazah asli dalam proses aplikasi atas bidang pekerjaan yang diinginkan.
Berbasis pengalaman KMI di masa lalu, konsep student loan sejatinya sangat dimungkinkan untuk dihidupkan dan diberlakukan kembali di lingkungan dunia perguruan tinggi di Indonesia. Dokumen lama terkait KMI tinggal dibuka kembali, dan sekiranya dirasa perlu juga dapat disesuaikan dengan kondisi kekinian seperti pemberlakuan kredit tanpa agunan (KTA). Berdasarkan postur anggaran pendidikan yang sebesar 20% dari APBN, peluang pengadaan program student loan sangat terbuka untuk direalisasikan meskipun tanpa melibatkan pihak ketiga seperti lembaga perbankan atau Fintech.
Namun jika kehadiran pihak ketiga sebagai mitra kerja sama tetap dipandang perlu, termasuk pelibatan mitra kerja sama dari kalangan lembaga jasa pinjaman online (pinjol), maka program student loan tetap dapat diselenggarakan namun "dengan catatan". Pengertian "dengan catatan" di sini lebih terkait pada mekanisme pemberian dan pengembalian pinjaman yang harus memperhatikan kepentingan serta harkat dan martabat mahasiswa selaku pihak peminjam. Terlepas proses layanan yang relatif cepat, mudah dan praktis, pinjaman online ala Fintech kerap diwarnai aksi teror mental berupa teror telepon dan penyebaran data pribadi peminjam ke ranah publik secara daring sebagaimana yang banyak dikeluhkan oleh kalangan pengguna jasa pinjol, termasuk di antaranya mahasiswa, yang gagal bayar pelunasan pinjamannya saat jatuh tempo.
Situasi demikian mesti dijamin tidak bakal terjadi dalam program student loan berbasis pinjol. Jika hal demikian tidak diperhatikan dan diantisipasi secara dini, dikhawatirkan program student loan berbasis pinjol akan menjadi kontraproduktif dengan misi mulia program student loan untuk membantu kelancaran dan keberhasilan studi mahasiswa. Bahkan, fenomena gangguan mental health yang dewasa ini diklaim cukup banyak dijumpai di kalangan generasi muda, termasuk mahasiswa, dikhawatirkan akan semakin menjadikan situasinya bertambah serius dan meluas. Situasi mengkhawatirkan tersebut dapat muncul ke permukaan jika aksi teror mental ala jasa peminjaman online gagal diantisipasi dan dihindari dalam program student loan.
Jalinan kerja sama ITB dengan PT. Danacita diakui sebagai bentuk “ikhtiar lembaga” untuk membantu mahasiswa dalam membayar UKT mereka. Dalam arti, keberadaan program bantuan pinjaman online untuk mahasiswa di sini bertujuan untuk mendukung kelancaran proses studi mereka. Karena itu, kerja sama ITB dengan pihak lembaga Fintech sama sekali tidak bersifat profit oriented dalam perspektif kepentingan ITB. Namun demikian, pihak ITB melalui Rektor ITB Reini Djuhraeni Wirahadikusuman tetap menyampaikan permohonan maaf atas polemik terkait mekanisme pembayaran UKT berbasis pinjol. Terlebih lagi, penawaran opsi pembayaran UKT berbasis pinjol diakui belum tersosialisasikan secara luas kepada kalangan mahasiswa sehingga memicu munculnya kesalahpahaman dan bahkan polemik berkepanjangan khususnya di kalangan komunitas kampus.
Kebijakan Pemerintah
Menyikapi polemik mengenai skema pembayaran UKT berbasis pinjol, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dilaporkan telah memberikan perhatian serius. Menkeu meminta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk mengkaji skema student loan sebagai solusi kebikajan untuk pengaturan pembayaran UKT mahasiswa. Skema student loan sendiri bukanlah sesuatu yang baru di dunia perguruan tinggi Indonesia. Skema pemberian pinjaman untuk mahasiswa dimaksud sejauh ini lazim ditemui di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat.
Khusus Indonesia, skema pemberian pinjaman untuk mahasiswa ini masih dalam tahap pengkajian komprehensif. Kajian dilakukan untuk mengantisipasi sedini mungkin dampak potensial yang dapat muncul dari program dana pinjaman bagi mahasiswa sebagaimana yang kerap dijumpai dalam program student loan di Amerika Serikat. Salah satu hal penting yang menjadi perhatian Pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf, bahwa skema student loan tersebut tidak akan bekerja sama dengan Fintech, namun dengan lembaga perbankan yang pelaksanaannya diatur dan diawasi secara ketat oleh Pemerintah Pusat.
Lessons learned
Terkait skema student loan ala Amerika Serikat, di era Orde Baru tepatnya di era tahun 1980-an, Indonesia sendiri pernah memiliki program sejenis bernama "Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI)". Pemberian pinjaman untuk mahasiswa berbasis KMI ini mensyaratkan dokumen ijazah asli sebagai agunan untuk kepentingan proses peminjaman. Namun, program KMI tidak berlanjut antara lain akibat terkendala kemampuan mahasiswa selaku pihak peminjam dalam melunasi pinjamannya. Penggunaan ijazah sebagai agunan pinjaman juga dipandang menjadi kendala tersendiri bagi mahasiswa terutama dalam mendapatkan pekerjaan khususnya di lembaga yang mensyaratkan dokumen ijazah asli dalam proses aplikasi atas bidang pekerjaan yang diinginkan.
Berbasis pengalaman KMI di masa lalu, konsep student loan sejatinya sangat dimungkinkan untuk dihidupkan dan diberlakukan kembali di lingkungan dunia perguruan tinggi di Indonesia. Dokumen lama terkait KMI tinggal dibuka kembali, dan sekiranya dirasa perlu juga dapat disesuaikan dengan kondisi kekinian seperti pemberlakuan kredit tanpa agunan (KTA). Berdasarkan postur anggaran pendidikan yang sebesar 20% dari APBN, peluang pengadaan program student loan sangat terbuka untuk direalisasikan meskipun tanpa melibatkan pihak ketiga seperti lembaga perbankan atau Fintech.
Namun jika kehadiran pihak ketiga sebagai mitra kerja sama tetap dipandang perlu, termasuk pelibatan mitra kerja sama dari kalangan lembaga jasa pinjaman online (pinjol), maka program student loan tetap dapat diselenggarakan namun "dengan catatan". Pengertian "dengan catatan" di sini lebih terkait pada mekanisme pemberian dan pengembalian pinjaman yang harus memperhatikan kepentingan serta harkat dan martabat mahasiswa selaku pihak peminjam. Terlepas proses layanan yang relatif cepat, mudah dan praktis, pinjaman online ala Fintech kerap diwarnai aksi teror mental berupa teror telepon dan penyebaran data pribadi peminjam ke ranah publik secara daring sebagaimana yang banyak dikeluhkan oleh kalangan pengguna jasa pinjol, termasuk di antaranya mahasiswa, yang gagal bayar pelunasan pinjamannya saat jatuh tempo.
Situasi demikian mesti dijamin tidak bakal terjadi dalam program student loan berbasis pinjol. Jika hal demikian tidak diperhatikan dan diantisipasi secara dini, dikhawatirkan program student loan berbasis pinjol akan menjadi kontraproduktif dengan misi mulia program student loan untuk membantu kelancaran dan keberhasilan studi mahasiswa. Bahkan, fenomena gangguan mental health yang dewasa ini diklaim cukup banyak dijumpai di kalangan generasi muda, termasuk mahasiswa, dikhawatirkan akan semakin menjadikan situasinya bertambah serius dan meluas. Situasi mengkhawatirkan tersebut dapat muncul ke permukaan jika aksi teror mental ala jasa peminjaman online gagal diantisipasi dan dihindari dalam program student loan.
tulis komentar anda