Dilema UKT Berbasis Pinjol
Sabtu, 03 Februari 2024 - 08:42 WIB
Maria Regitta Nourmalitasari
Mahasiswa FISIP Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan saat ini sedang mengikuti program magang di Pusat SKK Amerop, BSKLN, Kementerian Luar Negeri RI.
BARU-baru ini dunia perguruan tinggi Indonesia dihebohkan dengan isu pembayaran biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) berbasis skema pinjol . Kejadian bermula saat 137 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ditawari pihak kampus untuk membayar tunggakan UKT mereka melalui fasilitas pembayaran Peer to Peer Lending dari lembaga Fintech yang mengantongi lisensi dari lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu PT Danacita.
Tawaran ini menuai reaksi spontan yang cukup keras dari kalangan mahasiswa. Reaksi tersebut disampaikan melalui aksi unjuk rasa di Gedung Rektorat pada hari Senin pada tanggal 29 Januari 2024. Kebijakan pelibatan jasa pinjol dalam konteks ini dinilai pengunjuk rasa bertentangan dengan UU Dikti Pasal 76 Ayat 1: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademi”.
Peristiwa unjuk rasa yang dimotori kalangan mahasiswa tersebut secara tersirat menunjukkan kinerja lembaga perguruan tinggi yang terkesan lebih mengutamakan pengambilan jalan praktis tanpa mempertimbangkan resiko atau implikasinya bagi mahasiswa penerima pinjaman online dimaksud. Dalam menyikapi permasalahan tunggakan pembayaran UKT di kalangan mahasiswanya, pihak perguruan tinggi sejatinya dapat menerbitkan kebijakan terkait permasalahan dimaksud.
Kebijakan pihak perguruan tinggi dalam konteks ini dapat berupa antara lain kebijakan menyangkut skema penyelenggaraan dana pendidikan yang lebih transparan dan adil sehingga para mahasiswa dapat mengisi Formulir Rencana Studi (FRS) tanpa harus menggunakan opsi pinjol. Di ITB sendiri Saat ini tercatat sekitar 10 mahasiswa ITB sudah memanfaatkan dana pinjaman online dari PT. Danacita untuk pembayaran tunggakan UKT mereka.
Selain ITB, perusahaan Fintech Danacita dikabarkan juga telah menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Bina Sarana Informatika (BSI), Universitas Presiden (UP), dan Universitas Tarumanegara (UNTAR).
Pelibatan lembaga Fintech berbasis pinjol menghadirkan dilema tersendiri di pihak Pemerintah, khususnya dunia perguruan tinggi dan mahasiswa. Situasi dilematis demikian menempatkan Pemerintah, dalam hal ini dunia perguruan tinggi, pada “posisi harus memilih satu dari dua pilihan yang masing-masing memiliki derajat pengorbanannya sendiri”. Tentunya pilihan yang harus diambil oleh Pemerintah, dalam hal ini perguruan tinggi, adalah pilihan dengan derajat pengorbanan yang paling kecil.
Mahasiswa FISIP Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan saat ini sedang mengikuti program magang di Pusat SKK Amerop, BSKLN, Kementerian Luar Negeri RI.
BARU-baru ini dunia perguruan tinggi Indonesia dihebohkan dengan isu pembayaran biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) berbasis skema pinjol . Kejadian bermula saat 137 mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ditawari pihak kampus untuk membayar tunggakan UKT mereka melalui fasilitas pembayaran Peer to Peer Lending dari lembaga Fintech yang mengantongi lisensi dari lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu PT Danacita.
Tawaran ini menuai reaksi spontan yang cukup keras dari kalangan mahasiswa. Reaksi tersebut disampaikan melalui aksi unjuk rasa di Gedung Rektorat pada hari Senin pada tanggal 29 Januari 2024. Kebijakan pelibatan jasa pinjol dalam konteks ini dinilai pengunjuk rasa bertentangan dengan UU Dikti Pasal 76 Ayat 1: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademi”.
Peristiwa unjuk rasa yang dimotori kalangan mahasiswa tersebut secara tersirat menunjukkan kinerja lembaga perguruan tinggi yang terkesan lebih mengutamakan pengambilan jalan praktis tanpa mempertimbangkan resiko atau implikasinya bagi mahasiswa penerima pinjaman online dimaksud. Dalam menyikapi permasalahan tunggakan pembayaran UKT di kalangan mahasiswanya, pihak perguruan tinggi sejatinya dapat menerbitkan kebijakan terkait permasalahan dimaksud.
Kebijakan pihak perguruan tinggi dalam konteks ini dapat berupa antara lain kebijakan menyangkut skema penyelenggaraan dana pendidikan yang lebih transparan dan adil sehingga para mahasiswa dapat mengisi Formulir Rencana Studi (FRS) tanpa harus menggunakan opsi pinjol. Di ITB sendiri Saat ini tercatat sekitar 10 mahasiswa ITB sudah memanfaatkan dana pinjaman online dari PT. Danacita untuk pembayaran tunggakan UKT mereka.
Selain ITB, perusahaan Fintech Danacita dikabarkan juga telah menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Bina Sarana Informatika (BSI), Universitas Presiden (UP), dan Universitas Tarumanegara (UNTAR).
Pelibatan lembaga Fintech berbasis pinjol menghadirkan dilema tersendiri di pihak Pemerintah, khususnya dunia perguruan tinggi dan mahasiswa. Situasi dilematis demikian menempatkan Pemerintah, dalam hal ini dunia perguruan tinggi, pada “posisi harus memilih satu dari dua pilihan yang masing-masing memiliki derajat pengorbanannya sendiri”. Tentunya pilihan yang harus diambil oleh Pemerintah, dalam hal ini perguruan tinggi, adalah pilihan dengan derajat pengorbanan yang paling kecil.
tulis komentar anda