Gizi Terpenuhi, Stunting Hilang, Generasi Emas Tercapai

Jum'at, 26 Januari 2024 - 23:13 WIB
Sebagai salah satu bentuk kegiatan yang akan dilakukan BKKBN dalam upaya penurunan kasus stunting adalah melakukan kombinasi intervensi spesifik dan sensitif berupa pemberian makanan yang berasal dari bahan pangan lokal dengan mekanisme pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) di Kampung Keluarga Berkualitas. Salah satu upaya perbaikan gizi melalui edukasi dan perbaikan konsumsi pangan ibu hamil, menyusui dan balita dari berbagai pangan yang tersedia, bergizi dan terjangkau dengan citarasa yang sesuai dengan selera mereka. Indonesia kaya akan sumberdaya pangan yang diproduksi, diperjual-belikan dan tersedia di Indonesia, yang sering disebut sebagai pangan lokal Indonesia atau pangan nusantara. Sebagian pangan ini unik di beberapa daerah tertentu karena banyak diproduksi dan tersedia.

Pemenuhan Gizi Untuk Cegah Stunting



Pada 25 Januari setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Gizi Nasional, tahun ini menjadi perayaan yang ke 64 tahun. Hari Gizi Nasional diperingati sebagai pengingat betapa pentingnya gizi bagi kehidupan. Selain itu juga menjadi momentum penting untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar bersama-sama mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia. Tema tahun ini adalah MP ASI Kaya Protein Hewani Cegah Stunting, selaras dengan permasalahan stunting yang masih menjadi ancaman besar bagi masyarakat Indonesia. Pengusungan tema itu juga berakar dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap asupan gizi untuk anak terutama pemberian MP-ASI pada bayi. Gizi yang baik seperti kaya akan protein hewani diyakini mampu mencegah stunting.

Stunting dapat terjadi sejak bayi masih dalam kandungan ibu. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi stunting berdasarkan kelompok usia hasil SSGI 2022, terdapat 18,5% bayi dilahirkan dengan panjang badan kurang dari 48 cm. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pentingnya pemenuhan gizi ibu sejak hamil. Hasilnya cukup memprihatinkan bahwa ada risiko terjadinya stunting meningkat sebesar 1,6 kali dari kelompok umur 6-11 bulan ke kelompok umur 12-23 bulan (13,7% ke 22,4%). Kondisi ini menunjukkan ‘kegagalan’ dalam pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 6 bulan, baik dari segi kesesuaian umur, frekuensi, jumlah, tekstur dan variasi makanan. Pada usia inilah sangat penting untuk memperhatikan dan menjamin kecukupan energi dan protein pada anak untuk mencegah terjadinya stunting.

Berdasarkan Penelitian Health Collaborative Center (HCC) yang dirilis pada Desember 2022 mengidentifikasi masyarakat mempercayai bahwa stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga (1.032 dari 1.599 atau 65 persen). Namun, masyarakat tidak mempercayai bahwa stunting dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua kepada anak (1.014 dari 1.646 atau 62 persen). Masyarakat lebih mempercayai bahwa stunting disebabkan karena asupan makanan dan minuman yang diberikan kepada anak (900 dari 1.650 atau 54,5 persen).

Di lain sisi, masyarakat juga berpendapat bahwa anak rentan terkena stunting karena keluarga tidak mampu membelikan pangan yang bergizi (858 dari 1.648 atau 52 persen). Kondisi tersebut sejalan dengan perilaku pengaturan makan di keluarga yang lebih memilih memasak daripada membeli makanan untuk keluarga (1.589 dari 1.663 atau 95 persen). Persepsi masyarakat tersebut juga dari pemahaman masyarakat bahwa penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan, dan pengetahuan terkait stunting. Ini sejalan dengan pemahaman responden tentang perilaku yang dianggap dapat mencegah stunting yakni mengatur pola makan yang seimbang untuk anak dan mencari tahu tentang stunting.

Selain itu, 98,3% subjek penelitian mengetahui bahwa stunting berbahaya untuk kesehatan anak dan 71% masyarakat percaya stunting terjadi juga di kota, tak hanya pedesaan. Dari seluruh subjek penelitian, masih ada yang tidak memiliki pemahaman terkait gizi yang akurat, yaitu: 4 dari 10 (39%) subjek penelitian tidak setuju bila stunting disebabkan oleh faktor kurang nutrisi dari makanan dan 5 dari 10 (47%) subjek penelitian menganggap risiko stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan bergizi.

Pemenuhan gizi dalam penurunan stunting dalam suatu studi lain yang dilakukan oleh Headey et.al (2018) menyatakan adanya bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti daging, ikan, telur dan susu atau produk turunannya (keju, yoghurt, dan lain-lain). Penelitian juga menunjukan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.

Berdasarkan Susenas Tahun 2022, konsumsi protein per kapita Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional yaitu 62,21 gram namun masih cukup rendah untuk sumber protein hewani, yakni kelompok ikan/udang/cumi/kerang sebesar 9,58 gram, daging 4,79 gram, sementara telur dan susu sebanyak 3,37 gram. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, konsumsi daging di Indonesia masih tergolong sangat sedikit, selain harganya mahal, sedikitnya konsumsi daging penduduk Indonesia juga disebabkan karena daya beli penduduk yang masih rendah.

Penduduk yang mengonsumsi kalori berasal dari daging paling tinggi terdapat di Kepulauan Riau sebesar 124,20 kkal sedangkan yang terendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 23,08 kkal. Telur merupakan sumber protein, asam amino dan lemak sehat, sementara susu mengandung tinggi protein dan kalsium. Penduduk di Kepulauan Riau paling tinggi mendapatkan kalori yang berasal dari telur dan susu sebesar 94,45 kkal per kapita, sedangkan penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengonsumsi kalori yang berasal dari telur dan susu hanya sebesar 24,93 kkal.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More