Gizi Terpenuhi, Stunting Hilang, Generasi Emas Tercapai
loading...
A
A
A
Muktiani Asrie Suryaningrum, S.Sos, MPH
Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya BKKBN
Pengurus Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)
MENUJU 100 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah menyusun Visi Indonesia 2045. Secara keseluruhan Visi Indonesia 2045 adalah untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi, ekonomi Indonesia yang meningkat menjadi negara maju dan salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia, pemerataan yang berkeadilan di semua bidang pembangunan, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan demokratis.
Harapannya Indonesia di usia 100 tahun dapat mewujudkan generasi emas dan dapat memanfaatkan peluang bonus demografi dengan tersedianya sumber daya manusia berkualitas. Sumber daya manusia berkualitas adalah sumber daya manusia yang sehat, cerdas, kreatif dan berdaya saing. Kunci utama dalam mewujudkan harapan tersebut tertumpu pada generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, saat ini salah satu tantangan Indonesia dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas adalah stunting .
Menurut statistik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 2020 tercatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, 6,3 juta merupakan anak usia dini atau balita stunting adalah balita Indonesia. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan, bahwa prevalensi stunting di Indonesia tahun 2022 berhasil ditekan menjadi 21,6 persen dari 24,4 persen pada tahun 2021. Namun, angka ini masih lebih tinggi dari tolerasi maksimal stunting yang ditetapkan oleh WHO. Untuk melakukan percepatan penurunan prevalensi stunting, Presiden Repubik Indonesia telah mencanangkan target optimistis menjadi 14 persen pada tahun 2024. Untuk itu, percepatan penurunan stunting memerlukan strategi dan metode baru yang lebih kolaboratif dan berkesinambungan mulai dari hulu hingga hilir.
Stunting memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendeknya antara lain terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik serta gangguan metabolisme. Sedangkan gangguan jangka panjangnya adalah menurunnya kemampuan perkembangan kognitif otak anak, kesulitan belajar, kekebalan tubuh lemah sehingga mudah sakit serta berisiko tinggi munculnya penyakit metabolik. Bahkan ketika dewasa nanti akan memiliki tubuh pendek, tingkat produktivitas yang rendah serta tidak memiliki daya saing di dalam dunia kerja (BKKBN, 2021). Stunting menjadi ancaman besar Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Persoalan stunting menjadi isu hangat di berbagai belahan dunia. Sebagai tanda komitmen Bapak Presiden dalam percepatan penurunan stunting di Indonesai, baru-baru ini tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2021, telah menandatangani Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Stunting menurut Perpres Nomor 72 adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yag ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Berdasarkan Perpres tersebut, pemerintah menetapkan percepatan penurunan angka stunting balita sebagai prioritas yang harus dikerjakan dengan berbagai langkah strategis, efektif, dan efisien. Percepatan penurunan stunting dilakukan melalui perluasan cakupan seluruh kabupaten/kota di Indonesia, dengan penguatan sinergi institusi.
Percepatan penurunan stunting merupakan salah satu agenda prioritas nasional, untuk mewujudkan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 terdapat 5 pilar dalam Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting. Salah satu pilar dalam Stranas Percepatan Penurunan Stunting tersebut adalah ketahanan pangan dan gizi. Ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat ini menjadi target yang harus kita kawal terus, jadi pilar ke-4 ini menjadi hal yang harus diperkuat.
Sebagai salah satu bentuk kegiatan yang akan dilakukan BKKBN dalam upaya penurunan kasus stunting adalah melakukan kombinasi intervensi spesifik dan sensitif berupa pemberian makanan yang berasal dari bahan pangan lokal dengan mekanisme pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) di Kampung Keluarga Berkualitas. Salah satu upaya perbaikan gizi melalui edukasi dan perbaikan konsumsi pangan ibu hamil, menyusui dan balita dari berbagai pangan yang tersedia, bergizi dan terjangkau dengan citarasa yang sesuai dengan selera mereka. Indonesia kaya akan sumberdaya pangan yang diproduksi, diperjual-belikan dan tersedia di Indonesia, yang sering disebut sebagai pangan lokal Indonesia atau pangan nusantara. Sebagian pangan ini unik di beberapa daerah tertentu karena banyak diproduksi dan tersedia.
Pada 25 Januari setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Gizi Nasional, tahun ini menjadi perayaan yang ke 64 tahun. Hari Gizi Nasional diperingati sebagai pengingat betapa pentingnya gizi bagi kehidupan. Selain itu juga menjadi momentum penting untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar bersama-sama mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia. Tema tahun ini adalah MP ASI Kaya Protein Hewani Cegah Stunting, selaras dengan permasalahan stunting yang masih menjadi ancaman besar bagi masyarakat Indonesia. Pengusungan tema itu juga berakar dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap asupan gizi untuk anak terutama pemberian MP-ASI pada bayi. Gizi yang baik seperti kaya akan protein hewani diyakini mampu mencegah stunting.
Stunting dapat terjadi sejak bayi masih dalam kandungan ibu. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi stunting berdasarkan kelompok usia hasil SSGI 2022, terdapat 18,5% bayi dilahirkan dengan panjang badan kurang dari 48 cm. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pentingnya pemenuhan gizi ibu sejak hamil. Hasilnya cukup memprihatinkan bahwa ada risiko terjadinya stunting meningkat sebesar 1,6 kali dari kelompok umur 6-11 bulan ke kelompok umur 12-23 bulan (13,7% ke 22,4%). Kondisi ini menunjukkan ‘kegagalan’ dalam pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 6 bulan, baik dari segi kesesuaian umur, frekuensi, jumlah, tekstur dan variasi makanan. Pada usia inilah sangat penting untuk memperhatikan dan menjamin kecukupan energi dan protein pada anak untuk mencegah terjadinya stunting.
Berdasarkan Penelitian Health Collaborative Center (HCC) yang dirilis pada Desember 2022 mengidentifikasi masyarakat mempercayai bahwa stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga (1.032 dari 1.599 atau 65 persen). Namun, masyarakat tidak mempercayai bahwa stunting dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua kepada anak (1.014 dari 1.646 atau 62 persen). Masyarakat lebih mempercayai bahwa stunting disebabkan karena asupan makanan dan minuman yang diberikan kepada anak (900 dari 1.650 atau 54,5 persen).
Di lain sisi, masyarakat juga berpendapat bahwa anak rentan terkena stunting karena keluarga tidak mampu membelikan pangan yang bergizi (858 dari 1.648 atau 52 persen). Kondisi tersebut sejalan dengan perilaku pengaturan makan di keluarga yang lebih memilih memasak daripada membeli makanan untuk keluarga (1.589 dari 1.663 atau 95 persen). Persepsi masyarakat tersebut juga dari pemahaman masyarakat bahwa penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan, dan pengetahuan terkait stunting. Ini sejalan dengan pemahaman responden tentang perilaku yang dianggap dapat mencegah stunting yakni mengatur pola makan yang seimbang untuk anak dan mencari tahu tentang stunting.
Selain itu, 98,3% subjek penelitian mengetahui bahwa stunting berbahaya untuk kesehatan anak dan 71% masyarakat percaya stunting terjadi juga di kota, tak hanya pedesaan. Dari seluruh subjek penelitian, masih ada yang tidak memiliki pemahaman terkait gizi yang akurat, yaitu: 4 dari 10 (39%) subjek penelitian tidak setuju bila stunting disebabkan oleh faktor kurang nutrisi dari makanan dan 5 dari 10 (47%) subjek penelitian menganggap risiko stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan bergizi.
Pemenuhan gizi dalam penurunan stunting dalam suatu studi lain yang dilakukan oleh Headey et.al (2018) menyatakan adanya bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti daging, ikan, telur dan susu atau produk turunannya (keju, yoghurt, dan lain-lain). Penelitian juga menunjukan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.
Berdasarkan Susenas Tahun 2022, konsumsi protein per kapita Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional yaitu 62,21 gram namun masih cukup rendah untuk sumber protein hewani, yakni kelompok ikan/udang/cumi/kerang sebesar 9,58 gram, daging 4,79 gram, sementara telur dan susu sebanyak 3,37 gram. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, konsumsi daging di Indonesia masih tergolong sangat sedikit, selain harganya mahal, sedikitnya konsumsi daging penduduk Indonesia juga disebabkan karena daya beli penduduk yang masih rendah.
Penduduk yang mengonsumsi kalori berasal dari daging paling tinggi terdapat di Kepulauan Riau sebesar 124,20 kkal sedangkan yang terendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 23,08 kkal. Telur merupakan sumber protein, asam amino dan lemak sehat, sementara susu mengandung tinggi protein dan kalsium. Penduduk di Kepulauan Riau paling tinggi mendapatkan kalori yang berasal dari telur dan susu sebesar 94,45 kkal per kapita, sedangkan penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengonsumsi kalori yang berasal dari telur dan susu hanya sebesar 24,93 kkal.
Perbaikan gizi masyarakat pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan konsumsi beragam makanan bergizi dan mengandung protein hewani setiap kali makan akan berdampak pada penurunan stunting. Untuk bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya harus mendapatkan ASI eksklusif dan dapat diberikan kepada bayi kapan pun bayi membutuhkan. Setelah bayi berusia 6 bulan, pemberian ASI tetap dilanjutkan disertai dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang memenuhi syarat tepat waktu, adekuat dan kaya protein hewani, aman dan diberikan dengan cara yang benar. Pastikan setiap kali makan MP ASI mengandung protein hewani dan pastikan pula anak dipantau pertumbuhannya setiap bulan.
Salah satu cara pemenuhan gizi di masyarakat dapat melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Salah satu yang di inisiasi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional adalah Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT). Keberadaan DASHAT ini di Kampung Keluarga Berkualitas. Mengutip dalam panduannya bahwa DASHAT merupakan sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemenuhan gizi seimbang bagi keluarga berisiko stunting (catin, bumil, busui, baduta/balita stunting terutama dari keluarga kurang mampu), melalui pemanfaatan sumber daya lokal (termasuk bahan pangan lokal) yang dapat dipadukan dengan sumber daya/kontribusi kemitraan lainnya.
DASHAT ini harus diwujudkan sebagai bentuk kepedulian antar sesama, kepedulian terhadap persiapan generasi berkualitas di masa datang, dan tentunya juga sebagai upaya peningkatan ekonomi keluarga. Dilaksanakan di Kampung Keluarga Berkualitas sebagai aktivitas nyata dalam upaya pembentukan keluarga berkualitas sebagaimana namanya yaitu Kampung Keluarga Berkualitas.
Kampung Keluarga Berkualitas yang memiliki kegiatan DASHAT, berharap ibu hamil, ibu mau hamil, ibu baru menyusui, semua mendapatkan nutrisi produk olahan dari DASHAT yang sehat. Sehingga di Kampung Keluarga Berkualitas tidak ada ibu yang mau hamil, ibu mau menikah dan ibu mau bulan madu tidak teratasi kondisi kesehatannya atau gizinya sebelum hamil. Begitu juga pada saat bayi sudah lahir lebih dari 6 (enam) bulan harus mendapat suplementasi, komplemen suplemen makanan tambahan selain ASI. Di Kampung Keluarga Berkualitas yang DASHAT ini juga tidak ada lagi bayi-bayi 1.000 HPK yang telantar yang tidak mendapatkan asupan makanan gizi seimbang untuk makanan tambahannya.
Indonesia kaya akan sumber daya pangan yang diproduksi, diperjualbelikan dan tersedia di Indonesia, yang sering disebut sebagai pangan lokal Indonesia. Bahkan ada juga beberapa jenis pangan tersedia di semua wilayah Indonesia tetapi memiliki cara pengolahan atau kuliner dan cita rasa yang unik di daerah tertentu. Ubi dan ikan tersedia di hampir semua wilayah Indonesia tetapi memiliki berbagai kuliner di berbagai daerah.
Sering kali kita beranggapan atau opini, jika kita mengkonsumsi makanan sehat itu mahal dan ini sangat salah. DASHAT ini secara ideologis ingin menghadirkan kedaulatan pangan, dengan mampu memproduksi sendiri, sehingga dapat berdikari dengan meningkatkan ketahanan pangan lokal. Kita mampu menghasilkan sendiri dan memproduksi sendiri pangan lokal yang sehat dan mengandung gizi seimbang dan tidak mahal. Banyak makanan alternatif yang tersedia di sekitar kita yang mengandung gizi setara dengan makanan yang dianggap mahal selama ini. Makanan untuk mencegah stunting seperti ikan atau telur sudah cukup, proteinnya besar tidak kalah dengan daging sapi.
Pelaksanaan DASHAT sangat beragam. tergantung dengan kondisi dan budaya masing-masing wilayah. Misalnya, salah satu desa di Kabupaten Kulonprogo, untuk kegiatan DASHAT, bahan makanan diperoleh dari Sektor Pertanian, Dana Desa/Kelurahan dan gotong royong masyarakat. Salah satu Desa di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan ada yang mendapatkan bantuan CSR dari perusahaan tambang dan pengolahan dana Bumdes. DASHAT di salah wilayah di Kota Pekanbaru mendapatkan bantuan dari masyarakatnya dengan menyumbang telur dan uang secara sukarela. Masih banyak lagi keterlibatan pentahelix dalam pemenuhan gizi masyarakat melalui DASHAT.
Ke depan berharap DASHAT menghadirkan produk-produk lokal yang kemudian bisa menjawab kebutuhan gizi seimbang dan tantangan menurunkan stunting dan mencerdaskan kehidupan keluarga, menjadi keluarga yang berkualitas dan kampung keluarga yang berkualitas dan akhirnya menjadi bangsa yang besar, unggul dan maju sesuai yang dicita-citakan oleh pemerintah dan kita semuanya.
Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya BKKBN
Pengurus Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)
MENUJU 100 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah menyusun Visi Indonesia 2045. Secara keseluruhan Visi Indonesia 2045 adalah untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi, ekonomi Indonesia yang meningkat menjadi negara maju dan salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia, pemerataan yang berkeadilan di semua bidang pembangunan, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan demokratis.
Harapannya Indonesia di usia 100 tahun dapat mewujudkan generasi emas dan dapat memanfaatkan peluang bonus demografi dengan tersedianya sumber daya manusia berkualitas. Sumber daya manusia berkualitas adalah sumber daya manusia yang sehat, cerdas, kreatif dan berdaya saing. Kunci utama dalam mewujudkan harapan tersebut tertumpu pada generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, saat ini salah satu tantangan Indonesia dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkualitas adalah stunting .
Menurut statistik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 2020 tercatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, 6,3 juta merupakan anak usia dini atau balita stunting adalah balita Indonesia. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan, bahwa prevalensi stunting di Indonesia tahun 2022 berhasil ditekan menjadi 21,6 persen dari 24,4 persen pada tahun 2021. Namun, angka ini masih lebih tinggi dari tolerasi maksimal stunting yang ditetapkan oleh WHO. Untuk melakukan percepatan penurunan prevalensi stunting, Presiden Repubik Indonesia telah mencanangkan target optimistis menjadi 14 persen pada tahun 2024. Untuk itu, percepatan penurunan stunting memerlukan strategi dan metode baru yang lebih kolaboratif dan berkesinambungan mulai dari hulu hingga hilir.
Stunting memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendeknya antara lain terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik serta gangguan metabolisme. Sedangkan gangguan jangka panjangnya adalah menurunnya kemampuan perkembangan kognitif otak anak, kesulitan belajar, kekebalan tubuh lemah sehingga mudah sakit serta berisiko tinggi munculnya penyakit metabolik. Bahkan ketika dewasa nanti akan memiliki tubuh pendek, tingkat produktivitas yang rendah serta tidak memiliki daya saing di dalam dunia kerja (BKKBN, 2021). Stunting menjadi ancaman besar Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Persoalan stunting menjadi isu hangat di berbagai belahan dunia. Sebagai tanda komitmen Bapak Presiden dalam percepatan penurunan stunting di Indonesai, baru-baru ini tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2021, telah menandatangani Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Stunting menurut Perpres Nomor 72 adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yag ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Berdasarkan Perpres tersebut, pemerintah menetapkan percepatan penurunan angka stunting balita sebagai prioritas yang harus dikerjakan dengan berbagai langkah strategis, efektif, dan efisien. Percepatan penurunan stunting dilakukan melalui perluasan cakupan seluruh kabupaten/kota di Indonesia, dengan penguatan sinergi institusi.
Percepatan penurunan stunting merupakan salah satu agenda prioritas nasional, untuk mewujudkan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 terdapat 5 pilar dalam Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting. Salah satu pilar dalam Stranas Percepatan Penurunan Stunting tersebut adalah ketahanan pangan dan gizi. Ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat ini menjadi target yang harus kita kawal terus, jadi pilar ke-4 ini menjadi hal yang harus diperkuat.
Sebagai salah satu bentuk kegiatan yang akan dilakukan BKKBN dalam upaya penurunan kasus stunting adalah melakukan kombinasi intervensi spesifik dan sensitif berupa pemberian makanan yang berasal dari bahan pangan lokal dengan mekanisme pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) di Kampung Keluarga Berkualitas. Salah satu upaya perbaikan gizi melalui edukasi dan perbaikan konsumsi pangan ibu hamil, menyusui dan balita dari berbagai pangan yang tersedia, bergizi dan terjangkau dengan citarasa yang sesuai dengan selera mereka. Indonesia kaya akan sumberdaya pangan yang diproduksi, diperjual-belikan dan tersedia di Indonesia, yang sering disebut sebagai pangan lokal Indonesia atau pangan nusantara. Sebagian pangan ini unik di beberapa daerah tertentu karena banyak diproduksi dan tersedia.
Pemenuhan Gizi Untuk Cegah Stunting
Pada 25 Januari setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Gizi Nasional, tahun ini menjadi perayaan yang ke 64 tahun. Hari Gizi Nasional diperingati sebagai pengingat betapa pentingnya gizi bagi kehidupan. Selain itu juga menjadi momentum penting untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar bersama-sama mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia. Tema tahun ini adalah MP ASI Kaya Protein Hewani Cegah Stunting, selaras dengan permasalahan stunting yang masih menjadi ancaman besar bagi masyarakat Indonesia. Pengusungan tema itu juga berakar dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap asupan gizi untuk anak terutama pemberian MP-ASI pada bayi. Gizi yang baik seperti kaya akan protein hewani diyakini mampu mencegah stunting.
Stunting dapat terjadi sejak bayi masih dalam kandungan ibu. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi stunting berdasarkan kelompok usia hasil SSGI 2022, terdapat 18,5% bayi dilahirkan dengan panjang badan kurang dari 48 cm. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pentingnya pemenuhan gizi ibu sejak hamil. Hasilnya cukup memprihatinkan bahwa ada risiko terjadinya stunting meningkat sebesar 1,6 kali dari kelompok umur 6-11 bulan ke kelompok umur 12-23 bulan (13,7% ke 22,4%). Kondisi ini menunjukkan ‘kegagalan’ dalam pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 6 bulan, baik dari segi kesesuaian umur, frekuensi, jumlah, tekstur dan variasi makanan. Pada usia inilah sangat penting untuk memperhatikan dan menjamin kecukupan energi dan protein pada anak untuk mencegah terjadinya stunting.
Berdasarkan Penelitian Health Collaborative Center (HCC) yang dirilis pada Desember 2022 mengidentifikasi masyarakat mempercayai bahwa stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga (1.032 dari 1.599 atau 65 persen). Namun, masyarakat tidak mempercayai bahwa stunting dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua kepada anak (1.014 dari 1.646 atau 62 persen). Masyarakat lebih mempercayai bahwa stunting disebabkan karena asupan makanan dan minuman yang diberikan kepada anak (900 dari 1.650 atau 54,5 persen).
Di lain sisi, masyarakat juga berpendapat bahwa anak rentan terkena stunting karena keluarga tidak mampu membelikan pangan yang bergizi (858 dari 1.648 atau 52 persen). Kondisi tersebut sejalan dengan perilaku pengaturan makan di keluarga yang lebih memilih memasak daripada membeli makanan untuk keluarga (1.589 dari 1.663 atau 95 persen). Persepsi masyarakat tersebut juga dari pemahaman masyarakat bahwa penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan, dan pengetahuan terkait stunting. Ini sejalan dengan pemahaman responden tentang perilaku yang dianggap dapat mencegah stunting yakni mengatur pola makan yang seimbang untuk anak dan mencari tahu tentang stunting.
Selain itu, 98,3% subjek penelitian mengetahui bahwa stunting berbahaya untuk kesehatan anak dan 71% masyarakat percaya stunting terjadi juga di kota, tak hanya pedesaan. Dari seluruh subjek penelitian, masih ada yang tidak memiliki pemahaman terkait gizi yang akurat, yaitu: 4 dari 10 (39%) subjek penelitian tidak setuju bila stunting disebabkan oleh faktor kurang nutrisi dari makanan dan 5 dari 10 (47%) subjek penelitian menganggap risiko stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan bergizi.
Pemenuhan gizi dalam penurunan stunting dalam suatu studi lain yang dilakukan oleh Headey et.al (2018) menyatakan adanya bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti daging, ikan, telur dan susu atau produk turunannya (keju, yoghurt, dan lain-lain). Penelitian juga menunjukan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.
Berdasarkan Susenas Tahun 2022, konsumsi protein per kapita Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional yaitu 62,21 gram namun masih cukup rendah untuk sumber protein hewani, yakni kelompok ikan/udang/cumi/kerang sebesar 9,58 gram, daging 4,79 gram, sementara telur dan susu sebanyak 3,37 gram. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, konsumsi daging di Indonesia masih tergolong sangat sedikit, selain harganya mahal, sedikitnya konsumsi daging penduduk Indonesia juga disebabkan karena daya beli penduduk yang masih rendah.
Penduduk yang mengonsumsi kalori berasal dari daging paling tinggi terdapat di Kepulauan Riau sebesar 124,20 kkal sedangkan yang terendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 23,08 kkal. Telur merupakan sumber protein, asam amino dan lemak sehat, sementara susu mengandung tinggi protein dan kalsium. Penduduk di Kepulauan Riau paling tinggi mendapatkan kalori yang berasal dari telur dan susu sebesar 94,45 kkal per kapita, sedangkan penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengonsumsi kalori yang berasal dari telur dan susu hanya sebesar 24,93 kkal.
Perbaikan gizi masyarakat pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan konsumsi beragam makanan bergizi dan mengandung protein hewani setiap kali makan akan berdampak pada penurunan stunting. Untuk bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya harus mendapatkan ASI eksklusif dan dapat diberikan kepada bayi kapan pun bayi membutuhkan. Setelah bayi berusia 6 bulan, pemberian ASI tetap dilanjutkan disertai dengan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang memenuhi syarat tepat waktu, adekuat dan kaya protein hewani, aman dan diberikan dengan cara yang benar. Pastikan setiap kali makan MP ASI mengandung protein hewani dan pastikan pula anak dipantau pertumbuhannya setiap bulan.
Pemenuhan Gizi melalui Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu cara pemenuhan gizi di masyarakat dapat melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Salah satu yang di inisiasi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional adalah Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT). Keberadaan DASHAT ini di Kampung Keluarga Berkualitas. Mengutip dalam panduannya bahwa DASHAT merupakan sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemenuhan gizi seimbang bagi keluarga berisiko stunting (catin, bumil, busui, baduta/balita stunting terutama dari keluarga kurang mampu), melalui pemanfaatan sumber daya lokal (termasuk bahan pangan lokal) yang dapat dipadukan dengan sumber daya/kontribusi kemitraan lainnya.
Baca Juga
DASHAT ini harus diwujudkan sebagai bentuk kepedulian antar sesama, kepedulian terhadap persiapan generasi berkualitas di masa datang, dan tentunya juga sebagai upaya peningkatan ekonomi keluarga. Dilaksanakan di Kampung Keluarga Berkualitas sebagai aktivitas nyata dalam upaya pembentukan keluarga berkualitas sebagaimana namanya yaitu Kampung Keluarga Berkualitas.
Kampung Keluarga Berkualitas yang memiliki kegiatan DASHAT, berharap ibu hamil, ibu mau hamil, ibu baru menyusui, semua mendapatkan nutrisi produk olahan dari DASHAT yang sehat. Sehingga di Kampung Keluarga Berkualitas tidak ada ibu yang mau hamil, ibu mau menikah dan ibu mau bulan madu tidak teratasi kondisi kesehatannya atau gizinya sebelum hamil. Begitu juga pada saat bayi sudah lahir lebih dari 6 (enam) bulan harus mendapat suplementasi, komplemen suplemen makanan tambahan selain ASI. Di Kampung Keluarga Berkualitas yang DASHAT ini juga tidak ada lagi bayi-bayi 1.000 HPK yang telantar yang tidak mendapatkan asupan makanan gizi seimbang untuk makanan tambahannya.
Indonesia kaya akan sumber daya pangan yang diproduksi, diperjualbelikan dan tersedia di Indonesia, yang sering disebut sebagai pangan lokal Indonesia. Bahkan ada juga beberapa jenis pangan tersedia di semua wilayah Indonesia tetapi memiliki cara pengolahan atau kuliner dan cita rasa yang unik di daerah tertentu. Ubi dan ikan tersedia di hampir semua wilayah Indonesia tetapi memiliki berbagai kuliner di berbagai daerah.
Sering kali kita beranggapan atau opini, jika kita mengkonsumsi makanan sehat itu mahal dan ini sangat salah. DASHAT ini secara ideologis ingin menghadirkan kedaulatan pangan, dengan mampu memproduksi sendiri, sehingga dapat berdikari dengan meningkatkan ketahanan pangan lokal. Kita mampu menghasilkan sendiri dan memproduksi sendiri pangan lokal yang sehat dan mengandung gizi seimbang dan tidak mahal. Banyak makanan alternatif yang tersedia di sekitar kita yang mengandung gizi setara dengan makanan yang dianggap mahal selama ini. Makanan untuk mencegah stunting seperti ikan atau telur sudah cukup, proteinnya besar tidak kalah dengan daging sapi.
Pelaksanaan DASHAT sangat beragam. tergantung dengan kondisi dan budaya masing-masing wilayah. Misalnya, salah satu desa di Kabupaten Kulonprogo, untuk kegiatan DASHAT, bahan makanan diperoleh dari Sektor Pertanian, Dana Desa/Kelurahan dan gotong royong masyarakat. Salah satu Desa di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan ada yang mendapatkan bantuan CSR dari perusahaan tambang dan pengolahan dana Bumdes. DASHAT di salah wilayah di Kota Pekanbaru mendapatkan bantuan dari masyarakatnya dengan menyumbang telur dan uang secara sukarela. Masih banyak lagi keterlibatan pentahelix dalam pemenuhan gizi masyarakat melalui DASHAT.
Ke depan berharap DASHAT menghadirkan produk-produk lokal yang kemudian bisa menjawab kebutuhan gizi seimbang dan tantangan menurunkan stunting dan mencerdaskan kehidupan keluarga, menjadi keluarga yang berkualitas dan kampung keluarga yang berkualitas dan akhirnya menjadi bangsa yang besar, unggul dan maju sesuai yang dicita-citakan oleh pemerintah dan kita semuanya.
(zik)