Konflik Laut Merah, Pengamat Maritim Soroti Ancaman Krisis Pangan dan Energi Global

Jum'at, 12 Januari 2024 - 15:50 WIB
Akibat rute perjalanan yang semakin jauh maka mempengaruhi pula waktu perjalanan pelayaran serta konsumsi bahan bakar kapal-kapal angkutan kargo dan angkutan lain.

Selain itu, rute pelayaran yang semakin jauh akan mempengaruhi biaya angkutan logistik di mana Eropa dan negara-negara di Mediterania akan menanggung dampak paling parah. Begitu juga dengan perdagangan ke Asia akan merasakan imbasnya.

Mengutip The Global Trade Research Initiative memperkirakan dampak ekonomi perubahan rute pelayaran tersebut akan meningkatkan biaya pelayaran sekitar 40-60 persen, kemudian kenaikan biaya asuransi 15-20 persen, dan ada potensi rusak sebagian atau seluruh kargo yang dibawanya akibat rute pelayaran berubah.

Perusahaan ekspedisi raksasa Maersk dan CMA CGM misalnya, mereka akan mengenakan biaya tambahan terkait pengalihan rute kapal.

“Situasi itu tentu juga ikut mempengaruhi harga minyak dan gas di pasaran internasional. Misal harga minyak mentah berjangka Brent pada akhir Desember lalu naik 92 sen atau 1,2 persen menjadi 80,31 dolar AS per barel pada 1445 GMT. Pasokan barang pangan juga ikut terpengaruh akibat konflik di Laut Merah,” ujar Hakeng.

Terhambat atau berkurangnya pasokan minyak dan gas dunia juga akan berpengaruh terhadap harga minyak dan gas di Indonesia. Akibatnya efek domino terhadap kenaikan harga pangan atau bahan pangan pokok akan terjadi di Indonesia pula.

Berkaitan dengan awak kapal dalam situasi berperang di wilayah itu, kapal yang melalui alur pelayaran Laut Merah ada potensi disandera oleh pemberontak Houthi. Posisi kapal dan awak kapal dapat sebagai tawanan kapal yang dibajak atau tahanan perang (prison of war).

Hakeng menyebutkan ada langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh perusahaan pelayaran nasional dalam menyikapi hal ini. Setiap pelaut WNI yang bekerja di kapal-kapal negara-negara yang melintas di wilayah Laut Merah atau daerah konflik tentunya memahami risiko yang akan dihadapi.

“Perlu edukasi khusus bagi pelaut Indonesia supaya mereka paham risiko yang mereka hadapi. Selain itu juga pelaut yang bertugas di daerah rawan konflik yang dilalui harusnya mendapatkan tambahan kompensasi dari luar penghasilan pokok yang diterima. Premi asuransi juga bertambah bila melewati wilayah konflik (war risk zone). Karena faktor risiko bertambah, tapi kebanyakan asuransi kapalnya yang bertambah, sedangkan tambahan penghasilan bagi pelautnya seringkali dilupakan,” ujarnya.

Situasi konflik di Laut Merah secara tidak langsung membawa efek positif bagi dunia maritim dan pelaut Indonesia. Termasuk juga tentunya bagi pelaut Indonesia, karena pastinya dengan naiknya kebutuhan distribusi BBM, gas dan batubara ke Eropa serta China yang nantinya akan menggunakan kapal, maka akan berimbas peningkatan kebutuhan pelaut yang akan bekerja di atas kapal di mana tentunya pelaut Indonesia bisa bekerja di atasnya.

“Di sini kita bisa berperan dalam distribusi crude oil, batu bara ataupun LNG. Jadi, harusnya kita bersiap, baik dari sisi komoditasnya maupun kapal-kapal pengangkutannya. Perusahaan pelayaran nasional harus dapat melihat peluang ini,” kata Hakeng.

Indonesia sebagai anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) dalam kategori C untuk periode 2024-2025 harus dapat ikut berperan aktif dalam menyikapi kondisi di Laut Merah.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More