Konflik Laut Merah, Pengamat Maritim Soroti Ancaman Krisis Pangan dan Energi Global

Jum'at, 12 Januari 2024 - 15:50 WIB
loading...
Konflik Laut Merah, Pengamat Maritim Soroti Ancaman Krisis Pangan dan Energi Global
Pengamat Maritim Dr Marcellus Hakeng Jayawibawa menyoroti ancaman krisis pangan dan energi global imbas konflik di Laut Merah. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Agresi pasukan Israel ke Palestina yang telah berlangsung sejak 7 Oktober 2023 berefek luas. Kelompok Houthi Yaman sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan Palestina menyerang kapal-kapal milik Israel atau yang mendukung tindakan Israel dan sedang bernavigasi di seputaran Laut Merah .

Kondisi tersebut disikapi Amerika Serikat (sekutu terdekat Israel) dengan membentuk satgas untuk mengamankan Laut Merah dari serangan Houthi

Kelompok Houthi telah melancarkan serangan drone, rudal, dan kapal sejak Oktober lalu. Serangan menargetkan apa yang mereka katakan sebagai kapal-kapal terkait dengan atau berlayar menuju Israel.

Dalam tindakan terakhirnya, lebih dari 20 drone dan rudal yang diluncurkan oleh Kelompok Houthi di Laut Merah. Dalam laporan AFP, kapal perusak Inggris, HMS Diamond, dan kapal perang AS telah menembak jatuh lebih dari 20 drone dan rudal yang diluncurkan Houthi di Laut Merah.



Menanggapi situasi tersebut, Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Dr Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, apa pun bentuk tindak serangan kelompok Houthi tidak dapat dibenarkan. Apalagi hal tersebut dilakukan di jalur pelayaran internasional.

Serangan Houthi menjadi ancaman serius bagi perdagangan bebas internasional dan keamanan maritim. “Bisa dibayangkan kalau tindakan tersebut kemudian ditiru oleh kelompok-kelompok lainnya di seluruh dunia,” kata Capt Hakeng di Jakarta, Jumat (12/1/2024).

Tindakan ilegal dari kelompok Houthi ini membahayakan kapal-kapal yang sedang berlayar dan tentu saja mengancam ribuan nyawa pelaut di kapal yang tidak terkait dengan konflik kedua negara tersebut. Bahkan, pemilik kapal akan mengalami kerugian besar bila kapal tersebut hancur.

“Pihak asuransi dalam pengamatan saya telah menaikkan premi asuransi bagi kapal-kapal yang hendak melewati wilayah tersebut sebagai imbas ketegangan yang meningkat. Di lain pihak, patut diduga pihak perusahaan pelayaran akan mengalami kesulitan dalam melakukan klaim asuransi karena situasi force majeure (overmacht) yang terjadi,” katanya.

Apabila Laut Merah terblokade dalam waktu lama, pelayaran yang melalui Terusan Suez akan ikut terganggu. Saat ini saja sudah sekitar 35% dari pelayaran berbendera Amerika Serikat yang mengalihkan pelayarannya.

Banyak perusahaan pelayaran komersial telah mengalihkan operasi mereka dengan membuat kapal-kapal mereka menjauhi Laut Merah dan aksesnya ke Laut Tengah melalui Terusan Suez. Bahkan sudah banyak perusahaan pelayaran yang memutuskan kapal-kapalnya memutar dan menggunakan jalur yang semakin jauh yaitu melalui Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika.

Akibat rute perjalanan yang semakin jauh maka mempengaruhi pula waktu perjalanan pelayaran serta konsumsi bahan bakar kapal-kapal angkutan kargo dan angkutan lain.

Selain itu, rute pelayaran yang semakin jauh akan mempengaruhi biaya angkutan logistik di mana Eropa dan negara-negara di Mediterania akan menanggung dampak paling parah. Begitu juga dengan perdagangan ke Asia akan merasakan imbasnya.

Mengutip The Global Trade Research Initiative memperkirakan dampak ekonomi perubahan rute pelayaran tersebut akan meningkatkan biaya pelayaran sekitar 40-60 persen, kemudian kenaikan biaya asuransi 15-20 persen, dan ada potensi rusak sebagian atau seluruh kargo yang dibawanya akibat rute pelayaran berubah.

Perusahaan ekspedisi raksasa Maersk dan CMA CGM misalnya, mereka akan mengenakan biaya tambahan terkait pengalihan rute kapal.

“Situasi itu tentu juga ikut mempengaruhi harga minyak dan gas di pasaran internasional. Misal harga minyak mentah berjangka Brent pada akhir Desember lalu naik 92 sen atau 1,2 persen menjadi 80,31 dolar AS per barel pada 1445 GMT. Pasokan barang pangan juga ikut terpengaruh akibat konflik di Laut Merah,” ujar Hakeng.

Terhambat atau berkurangnya pasokan minyak dan gas dunia juga akan berpengaruh terhadap harga minyak dan gas di Indonesia. Akibatnya efek domino terhadap kenaikan harga pangan atau bahan pangan pokok akan terjadi di Indonesia pula.

Berkaitan dengan awak kapal dalam situasi berperang di wilayah itu, kapal yang melalui alur pelayaran Laut Merah ada potensi disandera oleh pemberontak Houthi. Posisi kapal dan awak kapal dapat sebagai tawanan kapal yang dibajak atau tahanan perang (prison of war).

Hakeng menyebutkan ada langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh perusahaan pelayaran nasional dalam menyikapi hal ini. Setiap pelaut WNI yang bekerja di kapal-kapal negara-negara yang melintas di wilayah Laut Merah atau daerah konflik tentunya memahami risiko yang akan dihadapi.

“Perlu edukasi khusus bagi pelaut Indonesia supaya mereka paham risiko yang mereka hadapi. Selain itu juga pelaut yang bertugas di daerah rawan konflik yang dilalui harusnya mendapatkan tambahan kompensasi dari luar penghasilan pokok yang diterima. Premi asuransi juga bertambah bila melewati wilayah konflik (war risk zone). Karena faktor risiko bertambah, tapi kebanyakan asuransi kapalnya yang bertambah, sedangkan tambahan penghasilan bagi pelautnya seringkali dilupakan,” ujarnya.

Situasi konflik di Laut Merah secara tidak langsung membawa efek positif bagi dunia maritim dan pelaut Indonesia. Termasuk juga tentunya bagi pelaut Indonesia, karena pastinya dengan naiknya kebutuhan distribusi BBM, gas dan batubara ke Eropa serta China yang nantinya akan menggunakan kapal, maka akan berimbas peningkatan kebutuhan pelaut yang akan bekerja di atas kapal di mana tentunya pelaut Indonesia bisa bekerja di atasnya.

“Di sini kita bisa berperan dalam distribusi crude oil, batu bara ataupun LNG. Jadi, harusnya kita bersiap, baik dari sisi komoditasnya maupun kapal-kapal pengangkutannya. Perusahaan pelayaran nasional harus dapat melihat peluang ini,” kata Hakeng.

Indonesia sebagai anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) dalam kategori C untuk periode 2024-2025 harus dapat ikut berperan aktif dalam menyikapi kondisi di Laut Merah.

“Indonesia harus memanfaatkan posisinya di Dewan IMO untuk mendukung jalur pelayaran internasional yang bebas dari segala macam gangguan. Sehingga tidak mengganggu pula rantai pasok pangan dan energi dunia. Indonesia harus menjadi pendorong untuk meningkatkan standar keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan maritim, dan berjalannya perekonomian di sektor maritim. Indonesia dapat meningkatkan kerja sama regional dan internasional yang erat, Indonesia dapat memainkan peran lebih besar dalam memecahkan tantangan global seperti keselamatan dan keamanan maritim,” ujarnya.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2730 seconds (0.1#10.140)