Marak Kriminalisasi, Presiden dan Kapolri Didesak Hentikan Proses Hukum Bernuansa Politik
Rabu, 10 Januari 2024 - 08:59 WIB
Pertama, kata Koalisi, pasal-pasal karet yang diambil dari UU ITE dan KUHP merupakan pasal-pasal yang kerap dipakai membungkam suara yang kritis dari aktivis, jurnalis, dan lawan politik penguasa. Sebut saja kasus Fatia Maulidyanti dan Haris Azhar, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, serta banyak aktivis lain yang telah menjadi korban.
Kedua, para pelapor tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang tepat sebagai korban atau mengalami kerugian, tapi tetap diproses oleh Kepolisian hingga naik status penyidikan seperti Kasus Aulia dan Aiman. Secara substantif, apa yang disampaikan Aulia merupakan materi hiburan lawakan yang bukan penghinaan/penodaan agama, dan kritik oleh Aiman terhadap netralitas polisi telah dibahas oleh Komisi III DPR secara terbuka.
Ketiga, baik dari indikator pelapor, terlapor maupun materi yang dilaporkan ke kepolisian jelas menimbulkan masalah objektivitas dan independensi Kepolisian yang menerima dan memeriksa laporan. Para pelapor rata-rata merupakan pendukung paslon nomor urut 2 yang terafiliasi dengan kekuasaan presiden yang membawahi Kepolisian. Cawapres nomor urut 2 adalah anak kandung presiden. Sedangkan materi laporan terkait kegiatan sosialisasi dan kampanye oleh terlapor yang merupakan paslon nomor urut 1 dan 3.
"Kuat sekali nuansa politiknya dan berpotensi dipolitisasi proses hukumnya. Terlebih lagi, pihak Kepolisian sedang dalam sorotan publik akibat dugaan kuat ketidaknetralan Polri yang dibahas oleh Komisi III DPR sebagaimana yang diangkat oleh Aiman," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri.
Berdasarkan hal itu, maka Koalisi mendesak Presiden dan Kapolri memerintahkan penghentian terhadap seluruh proses hukum yang bernuansa politik atas oposisi maupun terhadap kegiatan sosialisasi dan kampanye Pemilu.
"Pernyataan ini kami sampaikan demi untuk memastikan obyektivitas penegakan hukum Kepolisian, termasuk menjaga netralitas Polri dan juga demi terselenggaranya Pemilu yang bebas, jujur, dan adil," katanya.
Kedua, para pelapor tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang tepat sebagai korban atau mengalami kerugian, tapi tetap diproses oleh Kepolisian hingga naik status penyidikan seperti Kasus Aulia dan Aiman. Secara substantif, apa yang disampaikan Aulia merupakan materi hiburan lawakan yang bukan penghinaan/penodaan agama, dan kritik oleh Aiman terhadap netralitas polisi telah dibahas oleh Komisi III DPR secara terbuka.
Ketiga, baik dari indikator pelapor, terlapor maupun materi yang dilaporkan ke kepolisian jelas menimbulkan masalah objektivitas dan independensi Kepolisian yang menerima dan memeriksa laporan. Para pelapor rata-rata merupakan pendukung paslon nomor urut 2 yang terafiliasi dengan kekuasaan presiden yang membawahi Kepolisian. Cawapres nomor urut 2 adalah anak kandung presiden. Sedangkan materi laporan terkait kegiatan sosialisasi dan kampanye oleh terlapor yang merupakan paslon nomor urut 1 dan 3.
"Kuat sekali nuansa politiknya dan berpotensi dipolitisasi proses hukumnya. Terlebih lagi, pihak Kepolisian sedang dalam sorotan publik akibat dugaan kuat ketidaknetralan Polri yang dibahas oleh Komisi III DPR sebagaimana yang diangkat oleh Aiman," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri.
Berdasarkan hal itu, maka Koalisi mendesak Presiden dan Kapolri memerintahkan penghentian terhadap seluruh proses hukum yang bernuansa politik atas oposisi maupun terhadap kegiatan sosialisasi dan kampanye Pemilu.
"Pernyataan ini kami sampaikan demi untuk memastikan obyektivitas penegakan hukum Kepolisian, termasuk menjaga netralitas Polri dan juga demi terselenggaranya Pemilu yang bebas, jujur, dan adil," katanya.
(abd)
tulis komentar anda