Mirip di Pengadilan, Cara DKPP Bersidang Dikritik
Senin, 10 Agustus 2020 - 10:03 WIB
JAKARTA - Tata kelola pemilihan umum (Pemilu) yang diatur dalam hukum positif harus dibedakan dengan kode etik penyelenggara pemilu. Namun, dalam praktiknya malah campur aduk.
Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti mengatakan sumber keduanya sama, yakni prinsip dan nilai pemilu yang demokratis. Saat menyusun kode etik untuk penyelenggara pemilu, dia mengklaim mengambil rumusannya dari berbagai negara. Dalam beberapa hal ada yang beririsan, seperti prinsip kepastian hukum itu ada juga dalam hukum positif. Lalu, sumpah jabatan itu masuk dalam kode etik dan hukum positif juga. (Baca juga: Pakar Hukum: DKPP Lembaga Kehakiman yang Merdeka di Luar MA dan MK)
Ramlan juga mengritik cara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam bersidang yang mirip pengadilan. Ketua dan anggota DKPP menempatkan diri seperti hakim. “Kalau ada orang mengadukan pegawai KPU dan Bawaslu melanggar kode etik, kemudian disidangkan tidak bisa hitam putih. Harus lihat konteksnya,” ujarnya, Minggu, 9 Agustus 2020. (Baca juga: Pakar Hukum: DKPP Lembaga Kehakiman yang Merdeka di Luar MA dan MK)
Ramlan memaparkan persidangan di DKPP itu seharusnya seperti diskusi di antara orang-orang yang paham mengenai tata kelola pemilu. Orang diduga melanggar kode etik, menurutnya, bisa bercerita mengenai pengalamannya mengambil tindakan dan putusan.
“Jadi diskusi antara orang yang menegakkan kode etik dan diduga melanggar sama-sama paham dan memiliki basic knowledge yang sama. Itu yang belum muncul,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Quo Vadis Lembaga Penegakkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu”.
Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti mengatakan sumber keduanya sama, yakni prinsip dan nilai pemilu yang demokratis. Saat menyusun kode etik untuk penyelenggara pemilu, dia mengklaim mengambil rumusannya dari berbagai negara. Dalam beberapa hal ada yang beririsan, seperti prinsip kepastian hukum itu ada juga dalam hukum positif. Lalu, sumpah jabatan itu masuk dalam kode etik dan hukum positif juga. (Baca juga: Pakar Hukum: DKPP Lembaga Kehakiman yang Merdeka di Luar MA dan MK)
Ramlan juga mengritik cara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam bersidang yang mirip pengadilan. Ketua dan anggota DKPP menempatkan diri seperti hakim. “Kalau ada orang mengadukan pegawai KPU dan Bawaslu melanggar kode etik, kemudian disidangkan tidak bisa hitam putih. Harus lihat konteksnya,” ujarnya, Minggu, 9 Agustus 2020. (Baca juga: Pakar Hukum: DKPP Lembaga Kehakiman yang Merdeka di Luar MA dan MK)
Ramlan memaparkan persidangan di DKPP itu seharusnya seperti diskusi di antara orang-orang yang paham mengenai tata kelola pemilu. Orang diduga melanggar kode etik, menurutnya, bisa bercerita mengenai pengalamannya mengambil tindakan dan putusan.
“Jadi diskusi antara orang yang menegakkan kode etik dan diduga melanggar sama-sama paham dan memiliki basic knowledge yang sama. Itu yang belum muncul,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Quo Vadis Lembaga Penegakkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu”.
(cip)
tulis komentar anda