Progresivitas Pancasila: Suatu Paradigma Dinamis

Senin, 10 Agustus 2020 - 06:15 WIB
Janu Wijayanto
Janu Wijayanto

Senior Analyst Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia (POLKASI)

SEBAGAI dasar negara, Pancasila menjadi bukti keteladanan dan eksistensi mufakat perjanjian luhur di kalangan pendiri negara (founding fathers) Indonesia. Pancasila dimufakati dan akhirnya dijaga banyak pihak sejak dari permulaannya. Dengan kenyataan itu, bisa dipahami jika founding fathersSoekarno lebih menyebut dirinya sebagai penggali bukan pencipta. Selain tidak ingin mengklaim sendiri Pancasila sebagai anggitannya atau buatannya, Soekarno juga sedang menyampaikan bahwa nilai yang digali itu benar telah ada dan tumbuh subur di Indonesia. Untuk mengunci agar tidak ada pihak yang mau mengubah Pancasila sebagai dasar negara, Soekarno menyebutnya sebagai meja statis yang final tidak boleh diganti dan diutak-atik termasuk oleh partai politik.

Soekarno menyebut Pancasila tidak boleh diaku hanya oleh suatu partai (Soekarno: 1954) dalam pidato berjudul: Anjuran Kepada Segenap Bangsa: “Jangan Pancasila diakui oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Pancasila adalah asasku. "PNI tetaplah kepada asas marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berasas marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah satu ideologi partai, lalu partai-partai lain tidak mau. "Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara, dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini.”



Dalam perkembangannya, pemahaman berbeda memang pernah muncul pada masa orde baru yang pernah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi dan partai politik melalui UU Nomor 3/1985 tentang Partai Politik dan UU Nomor 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kita tidak sedang mempertentangkan perbedaan itu. Baik era Soekarno maupun era orde baru ada kesamaan situasi di mana negara hadir untuk melakukan pembinaan Pancasila bagi aparat dan warga negaranya. Hal semacam itu nyaris absen dilakukan setelah reformasi. Hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo melahirkan lembaga untuk pembinaan ideologi Pancasila berupa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres Nomor 7/2018 tentang BPIP. Bahkan, saat ini berencana dikuatkan melalui RUU BPIP yang masih diproses di DPR.

Poin penting pembinaan Pancasila terdapat pada upaya pembangunan karakter aparat negara dan warga negara agar nilai Pancasila menjadi hidup dalam realitas bermasyarakat dan bernegara, sekaligus menguatkan visi pencapaian kepentingan nasional dalam tujuan negara. Dalam konteks ini, jelas diperlukan kemampuan membaca progresivitas Pancasila sebagai kemampuan bergerak maju secara psikologis mulai dari nilai dan makna Pancasila itu sendiri, terutama untuk menghadapi zaman baru dengan tantangan baru termasuk ketidakpastiannya. Progresivitas Pancasila di sini bisa dilihat sebagai suatu paradigma dinamis.

Kritis dan Kreatif

Dari zaman ke zaman Pancasila mengalami dinamika pergulatan penafsiran plus bagaimana semestinya Pancasila direalisasikan. Demokrasi dalam Pancasila memberi ruang itu. Melalui cara demokrasilah perbedaan terkait bagaimana melihat Pancasila pasti bisa menemui ujung yang damai (koeksistensi).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More