DPR Sebut Aturan Tumpang Tindih Bikin Rakyat Bingung
Selasa, 14 April 2020 - 17:25 WIB
JAKARTA - Perbedaan peraturan yang diterbitkan oleh dua kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait ojek online (ojol) di tengah aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sangat disayangkan.
Di satu sisi, Permenhub 18/2020 mengizinkan pengemudi ojol untuk mengangkut penumpang dalam kondisi tertentu, sebaliknya, Permenkes 9/2020 justru melarang ojol mengangkut selain barang.
Untuk itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni meminta agar para stakeholder atau pemangku kepentingan dapat menahan atau menghilangkan ego sektoral masing-masing di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) ini.
Selain membingungkan aparat penegak hukum, kebijakan ini juga membungungkan pengendara ojol dan juga masyarakat.
"Sangat disayangkan adanya perbedaan peraturan ini, karena saya juga banyak mendapat masukan dari teman-teman di kepolisian bahwa mereka juga bingung, kok aturannya bisa ada dua dan berbeda gini," kata Sahroni kepada wartawan, Selasa (14/4/2020).
Sahroni mengingatkan, dalam kondisi wabah Covid-19 seperti saat ini, para pemangku kebijakan baik itu menteri, pimpinan lembaga maupun kepala daerah sebaiknya bisa menahan diri dan fokus pada aksi kemanusiaan dan tidak mengutamakan ego masing-masing.
"Rakyat sangat menunggu kebijakan dari para pemangku kebijakan untuk membantu kesulitan mereka, bukan pada aturan yang tumpang tindih sehingga, bikin rakyat makin bingung," pinta Bendahara Fraksi Partai Nasdem ini.
Selain itu, Sahroni menambahkan, sebagai aparat penegak hukum, kepolisian khususnya direktorat lalu lintas bertugas untuk memastikan aturan dari pemerintah dapat diimplementasikan di masyarakat. Namun, jika aturannya masih belum seragam, maka hal ini hanya akan menyebabkan kesimpangsiuran di lapangan.
"Dengan begini, jadinya polisi bingung mau pakai aturan yang mana, rakyat juga makin bingung," ucap Sahroni.
Legislator asal Tanjung Priok ini yakin, bahwa para pemegang kebijakan ini punya pertimbangan positifnya masing-masing, tetapi apapun kebijakannya hendaknya dikoordinasikan di internal pemerintah.
"Namun hendaknya dalam membuat peraturan itu sudah dikordinasikan secara internal, jadi infonya di masyarakat tidak simpang siur," pungkasnya.
Di satu sisi, Permenhub 18/2020 mengizinkan pengemudi ojol untuk mengangkut penumpang dalam kondisi tertentu, sebaliknya, Permenkes 9/2020 justru melarang ojol mengangkut selain barang.
Untuk itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni meminta agar para stakeholder atau pemangku kepentingan dapat menahan atau menghilangkan ego sektoral masing-masing di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) ini.
Selain membingungkan aparat penegak hukum, kebijakan ini juga membungungkan pengendara ojol dan juga masyarakat.
"Sangat disayangkan adanya perbedaan peraturan ini, karena saya juga banyak mendapat masukan dari teman-teman di kepolisian bahwa mereka juga bingung, kok aturannya bisa ada dua dan berbeda gini," kata Sahroni kepada wartawan, Selasa (14/4/2020).
Sahroni mengingatkan, dalam kondisi wabah Covid-19 seperti saat ini, para pemangku kebijakan baik itu menteri, pimpinan lembaga maupun kepala daerah sebaiknya bisa menahan diri dan fokus pada aksi kemanusiaan dan tidak mengutamakan ego masing-masing.
"Rakyat sangat menunggu kebijakan dari para pemangku kebijakan untuk membantu kesulitan mereka, bukan pada aturan yang tumpang tindih sehingga, bikin rakyat makin bingung," pinta Bendahara Fraksi Partai Nasdem ini.
Selain itu, Sahroni menambahkan, sebagai aparat penegak hukum, kepolisian khususnya direktorat lalu lintas bertugas untuk memastikan aturan dari pemerintah dapat diimplementasikan di masyarakat. Namun, jika aturannya masih belum seragam, maka hal ini hanya akan menyebabkan kesimpangsiuran di lapangan.
"Dengan begini, jadinya polisi bingung mau pakai aturan yang mana, rakyat juga makin bingung," ucap Sahroni.
Legislator asal Tanjung Priok ini yakin, bahwa para pemegang kebijakan ini punya pertimbangan positifnya masing-masing, tetapi apapun kebijakannya hendaknya dikoordinasikan di internal pemerintah.
"Namun hendaknya dalam membuat peraturan itu sudah dikordinasikan secara internal, jadi infonya di masyarakat tidak simpang siur," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda