Pencarian Jati Diri Tiada Henti Orang-orang Tionghoa di Indonesia

Selasa, 24 Oktober 2023 - 17:03 WIB
Foto: Istimewa
Handoko Widagdo

Penulis dan pecinta buku



SAYA
harus mengacungkan dua jempol atas kepiawaian Grace Tioso merangkum semua persoalan Tionghoa atau Cina di Indonesia menjadi sebuah kisah yang sangat menarik. Di tangan Grace Tioso, berbagai persoalan pelik etnis Tionghoa muncul menjadi bagian dari pergumulan tokoh-tokoh di novelnya.

baca juga: Memupus Bias Tionghoa



Masalah Cina memang sudah banyak ditulis secara akademik. Charles Coppel, Leo Suryadinata, I Wibowo, Wang Gungwu adalah sedikit dari ratusan akademisi yang menggeluti isu masalah Cina. Mereka telah menghasilkan ratusan buku yang membahas masalah ini. Ada akademisi yang membahas dengan optimistis, ada yang pesimistis, ada pula yang melontar gagasan untuk memecahkan masalah pelik ini.

Orang Tionghoa adalah orang-orang yang melakukan pencarian jati diri yang tiada henti. Mereka memiliki berbagai trauma. Etnis Tionghoa harus mendefinisikan siapa dirinya. Karena, meski sudah berabad-abad tinggal di wilayah Indonesia – bahkan mereka sudah tinggal di wilayah ini sebelum negara Indonesia lahir, namun masih dianggap bukan bagian dari bangsa Indonesia.

Orang Tionghoa dianggap tidak nasionalis, binatang ekonomi yang hanya peduli pada kelompoknya sendiri. Akibatnya mereka harus hidup dalam stigma dan sering menjadi korban huru-hara politik, bahkan sampai dengan saat ini. Benarkah etnis Tionghoa tidak nasionalis, tidak peduli pada persoalan bangsa dan hanya berdagang demi kesejahteraan mereka sendiri? Benarkah semua orang Tionghoa makmur secara ekonomi?

Melalui novel ini, Grace Tioso mau menunjukkan bahwa pilihan yang paling hati-hati untuk berpartisipasi dalam memperbaiki bangsa pun masih berakibat sangat fatal bagi orang Tionghoa. Terlalu banyak ‘dosa’ masa lalu yang menempel pada kehidupan orang Tionghoa.

Grace Tioso membahas peliknya menjadi Tionghoa melalui kisah orang-orang Tionghoa yang di akta lahirnya tertera kalimat: “anak luar nikah.” Di akta lahir mereka tertera kalimat “anak luar nikah”, bukan karena mereka tidak mempunyai ayah. Mereka terpaksa menjadi anak-anak luar nikah karena status kewarganegaraan ayahnya tidak segera jelas.

Kita tahu, bahwa untuk mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) tidak mudah dan tidak murah. Padahal mereka tidak bisa mencatatkan perkawinan mereka tanpa mempunyai SBKRI. Masalah yang muncul di era Orde Baru ini ternyata masih berdampak sampai saat ini.

baca juga: Silaturahmi dengan Warga Tionghoa Bandung, HT Sempatkan Kunjungi Museum Indonesia-Tionghoa

Martha, seorang ibu muda Tionghoa yang tinggal di Singapura berupaya berpartisipasi untuk memperbaiki bangsanya, bangsa Indonesia. Ibu muda dengan dua anak ini bersama sepupunya bernama Yuni, yang tinggal di Klaten, membuat akun twitter bernama @duolion163.

Melalui akun ini, Martha dan Yuni membeberkan latar belakang para kandidat parlemen dan kepala daerah yang sedang bersaing. Akun twitter @duolion163 memberikan informasi tentang para calon pemimpin tersebut, supaya para pemilihnya mempunyai pengetahuan siapa yang akan dipilihnya.

Martha adalah anak yang dibesarkan oleh keluarga yang sangat takut untuk berpolitik. Mamanya selalu menasihati supaya ia menjauhkan diri dari politik, karena ia adalah seorang perempuan Tionghoa. Sebagai seorang perempuan beretnik Tionghoa, salah-salah ia bisa diperkosa jika nekat mencampuri urusan politik. Mereka yang tidak berpolitik saja, saat kerusuhan bisa menjadi korban. Apalagi kalau sampai terlibat politik. Bisa-bisa mati digorok seperti zaman 1965.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More