Perundungan dan Kurikulum Merdeka Setengah Hati
Senin, 09 Oktober 2023 - 09:57 WIB
Lebih dari itu, sepertinya ada pemahaman yang kurang mengena dalam memaknai KM. Terdapat beberapa sekolah yang memahami KM sebagai kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam, sementara Kemdikbud Ristek disebutkan sebagai kokurikuler. Artinya terdapat sekolah yang masih menempatkan KM sebagai kurikulum dengan pola pembelajaran yang biasa-biasa saja, intrakurikuler seperti yang sudah berjalan selama ini, sedangkan karakteristik KM adalah pengembangan soft skills dan karakter, pembelajaran yang fleksibel, dan fokus kepada materi-materi yang esensial.
Dalam proses pembelajaran, menurut taksonomi Bloom, sasarannya tidak hanya sekadar kognisi, tetapi juga yang terpenting lainnya adalah harus mencakup aspek afektif, dan psikomotorik. Menghasilkan mahasiswa pintar dan berprestasi secara akademik adalah dambaan setiap satuan pendidikan, tetapi akan lebih bermakna ketika capaian ini juga dibarengi dengan pembentukan sikap dan perilaku yang baik, bermoral, dan Pancasila.
Mencuatnya sejumlah kasus perundungan siswa sekolah dapat mengindikasikan bahwa aspek afektif dari kurikulum yang digunakan tidak tercapai dengan baik. Dalam hal ini, aspek afektif dalam kurikulum mencakup beberapa hal penting seperti rasa, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap yang tercermin pada perilaku sehari-hari pada proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Untuk itu, pembentukan sikap dan perilaku ini tidak bisa bergantung kepada materi buku dan pengajaran dalam kelas, sementara para siswa juga terpapar oleh media sosial, terutama YouTube yang menayangkan beragam konten permainan yang beraroma kekerasan. Sekolah perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyerap dan mendalami nilai-nilai moral, religius, melalui program yang bersentuhan langsung dengan lingkungan masyarakat sekitar. Misalnya, siswa diajak bersama-sama warga setempat untuk ikut membantu membersihkan lingkungan masyarakat sekitar sebagai bentuk rasa gotong royong dan cinta lingkungan, sekaligus mengembalikan marwah sekolah sebagai teladan masyarakat.
Guru menjadi sumber pengetahuan dan teladan bagi murid-muridnya di sekolah. Untuk itu, perlu pembenahan dalam evaluasi dan pengawasan guru terutama mereka yang sudah menikmati tunjangan Sertifikasi Guru (Sergu). Studi Kartomo & Slameto (2016) menguatkan asumsi ini bahwa kinerja para guru yang telah disertifikasi perlu dievaluasi secara berkelanjutan. Hal ini dipandang perlu karena kita membutuhkan guru-guru profesional yang memiliki komitmen penuh untuk menghasilkan kader-kader terbaik bangsa di berbagai bidang.
Ketersediaan sistem evaluasi terintegrasi melibatkan semua pihak, termasuk murid dan para orang tua siswa merupakan suatu hal yang krusial untuk mengawal sektor pendidikan kita. Sistem ini dapat dipantau oleh unsur sekolah, dan pihak-pihak independen yang berkepentingan terhadap pendidikan seperti Ormas NU dan Muhammadiyah, dan juga perguruan tinggi. Setidaknya dengan ketatnya sistem evaluasi ini, pemerintah dapat menjamin sistem penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Belajar dari banyak negara maju, pendidikan dibangun berdasarkan kepada sistem meritokrasi yang memberikan kesempatan sama kepada semua pihak untuk bersaing dan berkompetisi dalam hal kebaikan. Kasus perundungan yang muncul di Media beberapa waktu belakangan banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa, dan Bali. Semestinya, akses terhadap sumber pembelajaran dan ketersediaan guru profesional bukan suatu masalah sehingga tidak berujung kepada beberapa kasus perundungan.
Fleksibilitas Belajar dan Lingkungan Sekitar
Dalam proses pembelajaran, menurut taksonomi Bloom, sasarannya tidak hanya sekadar kognisi, tetapi juga yang terpenting lainnya adalah harus mencakup aspek afektif, dan psikomotorik. Menghasilkan mahasiswa pintar dan berprestasi secara akademik adalah dambaan setiap satuan pendidikan, tetapi akan lebih bermakna ketika capaian ini juga dibarengi dengan pembentukan sikap dan perilaku yang baik, bermoral, dan Pancasila.
Mencuatnya sejumlah kasus perundungan siswa sekolah dapat mengindikasikan bahwa aspek afektif dari kurikulum yang digunakan tidak tercapai dengan baik. Dalam hal ini, aspek afektif dalam kurikulum mencakup beberapa hal penting seperti rasa, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap yang tercermin pada perilaku sehari-hari pada proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Untuk itu, pembentukan sikap dan perilaku ini tidak bisa bergantung kepada materi buku dan pengajaran dalam kelas, sementara para siswa juga terpapar oleh media sosial, terutama YouTube yang menayangkan beragam konten permainan yang beraroma kekerasan. Sekolah perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyerap dan mendalami nilai-nilai moral, religius, melalui program yang bersentuhan langsung dengan lingkungan masyarakat sekitar. Misalnya, siswa diajak bersama-sama warga setempat untuk ikut membantu membersihkan lingkungan masyarakat sekitar sebagai bentuk rasa gotong royong dan cinta lingkungan, sekaligus mengembalikan marwah sekolah sebagai teladan masyarakat.
Pengawasan Kinerja Guru
Guru menjadi sumber pengetahuan dan teladan bagi murid-muridnya di sekolah. Untuk itu, perlu pembenahan dalam evaluasi dan pengawasan guru terutama mereka yang sudah menikmati tunjangan Sertifikasi Guru (Sergu). Studi Kartomo & Slameto (2016) menguatkan asumsi ini bahwa kinerja para guru yang telah disertifikasi perlu dievaluasi secara berkelanjutan. Hal ini dipandang perlu karena kita membutuhkan guru-guru profesional yang memiliki komitmen penuh untuk menghasilkan kader-kader terbaik bangsa di berbagai bidang.
Ketersediaan sistem evaluasi terintegrasi melibatkan semua pihak, termasuk murid dan para orang tua siswa merupakan suatu hal yang krusial untuk mengawal sektor pendidikan kita. Sistem ini dapat dipantau oleh unsur sekolah, dan pihak-pihak independen yang berkepentingan terhadap pendidikan seperti Ormas NU dan Muhammadiyah, dan juga perguruan tinggi. Setidaknya dengan ketatnya sistem evaluasi ini, pemerintah dapat menjamin sistem penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Reward and Punishment
Belajar dari banyak negara maju, pendidikan dibangun berdasarkan kepada sistem meritokrasi yang memberikan kesempatan sama kepada semua pihak untuk bersaing dan berkompetisi dalam hal kebaikan. Kasus perundungan yang muncul di Media beberapa waktu belakangan banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa, dan Bali. Semestinya, akses terhadap sumber pembelajaran dan ketersediaan guru profesional bukan suatu masalah sehingga tidak berujung kepada beberapa kasus perundungan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda