Perundungan dan Kurikulum Merdeka Setengah Hati

Senin, 09 Oktober 2023 - 09:57 WIB
loading...
Perundungan dan Kurikulum...
Muhamad Nur Purnamasidi. Foto/Istimewa
A A A
Muhamad Nur Purnamasidi
Anggota Komisi X DPR RI

MARAKNYA kasus perundungan belakangan ini menggugah kesadaran kita tentang sejauh mana keberhasilan dunia pendidikan kita, seberapa efektif kurikulum yang diterapkan, dan bagaimana komitmen para pendidik dan pemangku kepentingan untuk mengawal masa depan anak bangsa kita.

Perundungan secara umum diartikan sebagai tindakan yang tidak menyenangkan dan intimidatif baik secara verbal, fisik, ataupun sosial. Hal ini dapat terjadi di lingkungan kita sehari-hari, ataupun di dunia digital, karena sekarang semua masyarakat sudah terhubung dalam jejaring sosial media. Kasus perundungan yang mencuat di media kemungkinan hanya sebagian dari berbagai kasus perundungan yang terjadi di satuan pendidikan. Hal ini disebabkan karena korban takut, terancam, oleh pelaku atau pihak-pihak yang terlibat, karena keluarga pelaku adalah anak pejabat, orang kaya, dan berkuasa. Artinya, perundungan dapat terjadi karena ada relasi kuasa, antara dia yang kuat, dengan dia yang lemah.

Terlepas dari itu semua, kita perlu melakukan refleksi dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap penyelenggaraan pendidikan kita, terutama pada tingkat dasar dan menengah dimana nilai-nilai dasar kebangsaan dan moralitas menjadi aspek fundamental untuk melestarikan Pancasila, dan mewujudkan Indonesia Emas 2045 .

Kurikulum Merdeka Setengah Hati


Kurikulum Merdeka (KM) diusung oleh Kemdikbud Ristek RI sebagai suatu program unggulan nasional untuk meningkatkan kinerja sektor pendidikan, membangun sumber daya manusia unggul yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. KM memiliki beberapa karakteristik seperti pengembangan soft skills dan karakter, fokus pada materi esensial, dan pembelajaran yang fleksibel. Bahkan, Kemdikbud Ristek secara khusus menempatkan proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila sebagai bagian terintegrasi dalam pelaksanaan KM. Dengan demikian, jika ini semua berjalan dengan baik dan efektif, kita tidak akan menyaksikan lagi kasus-kasus seperti kekerasan antar siswa sekolah, tindakan intoleransi antar suku dan umat beragama, dan perbuatan pelecehan seksual yang melibatkan para pelajar.



Namun dalam realitanya masih jauh dari harapan dan perencanaan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), salah satunya, menunjukkan peningkatan signifikan jumlah kasus perundungan di sekolah ketika kembali memberlakukan pembelajaran luring dari 53 kasus pada 2021 menjadi 226 kasus 2022. Lebih memprihatinkan lagi adalah sebagian besar kasus perundungan justru terjadi di tingkat SD dan SMP. Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan dari 16 kasus perundungan yang terjadi di sekolah pada periode Januari-Juli 2023, sebanyak 25 persen terjadi SD dan 25 persen lainnya di SMP.

Implementasi KM masih belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Sebagian satuan pendidikan masih mempertahankan penggunaan kurikulum lama karena belum memahami secara komprehensif maksud dan tujuan dari penyelenggaraan KM. Terdapat juga beberapa sekolah yang menerapkan kombinasi kurikulum antara KM dengan kurikulum lama. Tentunya ini akan membingungkan tidak hanya bagi siswa, tetapi juga para guru yang dibebani dengan dua kurikulum.

Lebih dari itu, sepertinya ada pemahaman yang kurang mengena dalam memaknai KM. Terdapat beberapa sekolah yang memahami KM sebagai kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam, sementara Kemdikbud Ristek disebutkan sebagai kokurikuler. Artinya terdapat sekolah yang masih menempatkan KM sebagai kurikulum dengan pola pembelajaran yang biasa-biasa saja, intrakurikuler seperti yang sudah berjalan selama ini, sedangkan karakteristik KM adalah pengembangan soft skills dan karakter, pembelajaran yang fleksibel, dan fokus kepada materi-materi yang esensial.

Fleksibilitas Belajar dan Lingkungan Sekitar


Dalam proses pembelajaran, menurut taksonomi Bloom, sasarannya tidak hanya sekadar kognisi, tetapi juga yang terpenting lainnya adalah harus mencakup aspek afektif, dan psikomotorik. Menghasilkan mahasiswa pintar dan berprestasi secara akademik adalah dambaan setiap satuan pendidikan, tetapi akan lebih bermakna ketika capaian ini juga dibarengi dengan pembentukan sikap dan perilaku yang baik, bermoral, dan Pancasila.

Mencuatnya sejumlah kasus perundungan siswa sekolah dapat mengindikasikan bahwa aspek afektif dari kurikulum yang digunakan tidak tercapai dengan baik. Dalam hal ini, aspek afektif dalam kurikulum mencakup beberapa hal penting seperti rasa, nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap yang tercermin pada perilaku sehari-hari pada proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Untuk itu, pembentukan sikap dan perilaku ini tidak bisa bergantung kepada materi buku dan pengajaran dalam kelas, sementara para siswa juga terpapar oleh media sosial, terutama YouTube yang menayangkan beragam konten permainan yang beraroma kekerasan. Sekolah perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyerap dan mendalami nilai-nilai moral, religius, melalui program yang bersentuhan langsung dengan lingkungan masyarakat sekitar. Misalnya, siswa diajak bersama-sama warga setempat untuk ikut membantu membersihkan lingkungan masyarakat sekitar sebagai bentuk rasa gotong royong dan cinta lingkungan, sekaligus mengembalikan marwah sekolah sebagai teladan masyarakat.

Pengawasan Kinerja Guru


Guru menjadi sumber pengetahuan dan teladan bagi murid-muridnya di sekolah. Untuk itu, perlu pembenahan dalam evaluasi dan pengawasan guru terutama mereka yang sudah menikmati tunjangan Sertifikasi Guru (Sergu). Studi Kartomo & Slameto (2016) menguatkan asumsi ini bahwa kinerja para guru yang telah disertifikasi perlu dievaluasi secara berkelanjutan. Hal ini dipandang perlu karena kita membutuhkan guru-guru profesional yang memiliki komitmen penuh untuk menghasilkan kader-kader terbaik bangsa di berbagai bidang.

Ketersediaan sistem evaluasi terintegrasi melibatkan semua pihak, termasuk murid dan para orang tua siswa merupakan suatu hal yang krusial untuk mengawal sektor pendidikan kita. Sistem ini dapat dipantau oleh unsur sekolah, dan pihak-pihak independen yang berkepentingan terhadap pendidikan seperti Ormas NU dan Muhammadiyah, dan juga perguruan tinggi. Setidaknya dengan ketatnya sistem evaluasi ini, pemerintah dapat menjamin sistem penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan dengan baik.

Reward and Punishment


Belajar dari banyak negara maju, pendidikan dibangun berdasarkan kepada sistem meritokrasi yang memberikan kesempatan sama kepada semua pihak untuk bersaing dan berkompetisi dalam hal kebaikan. Kasus perundungan yang muncul di Media beberapa waktu belakangan banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa, dan Bali. Semestinya, akses terhadap sumber pembelajaran dan ketersediaan guru profesional bukan suatu masalah sehingga tidak berujung kepada beberapa kasus perundungan.

Diperlukan sanksi tegas, komitmen negara untuk menjamin alokasi 20 persen untuk dana pendidikan harus dibarengi dengan sanksi dan penghargaan kepada sekolah dan semua satuan pendidikan. Sekolah yang kedapatan kasus asusila, sosial, perundungan, dan kasus-kasus lain yang tidak mencerminkan dunia pendidikan harus diberikan hukuman seperti pengurangan kuota tunjangan Sergu, pencopotan kepala sekolah, hingga mutasi guru kelas.

Sebaliknya, sekolah-sekolah yang berkinerja baik, bersih dari berbagai masalah kekerasan siswa, guru berprestasi dan berkinerja baik, perlu diberikan penghargaan seperti kesempatan liburan bagi para guru bersama keluarga ke tempat-tempat menyenangkan sebagai penyegaran dan motivasi untuk mereka.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1093 seconds (0.1#10.140)