Aspek Hukum Kejahatan Siber

Senin, 02 Oktober 2023 - 09:19 WIB
UU PDP jelas beririsan dengan hak setiap orang memperoleh pelindungan dari kejahatan siber termasuk kejahatan yang dilakukan dengan KI atau AI, sehingga saat ini perlu dipertimbangkan secara serius pemberlakuan UU Kejahatan Siber (termasuk AI) untuk melengkapi UU ITE yang bersifat regulative; tidak bersifat represif terhadap kejahatan siber.

Kebocoran data pribadi yang terjadi akhir-akhir ini di perbankan dan di Lembaga negara seperti OJK dan BI jelas merupakan ancaman yang bersifat serius dan mengandung efek berantai terhadap ketahanan bangsa dan negara. Keberadaan BSSN saat ini belum mampu secara efektif jika hanya mengandalkan sarana dan prasarana dengan UU ITE yang secara objektif tidak dapat diandalkan mencegah efek kejahatan siber dan efek samping negative penggunaan AI/KI.

Keberadaan UU khusus menghadapi kejahatan siber sangat yang semakin meningkat didukung teknologi modern sangat mendesak, selain memerlukan perubahan UU baik secara formil maupun secara materiel juga diperlukan koordinasi tersentralistik hanya di bawah oleh satu Lembaga negara saja yaitu Badan Intelijen Negara (BIN) yang dilaksanakan oleh BSSN sebagai lembaga negara penyangga kegiatan intelijen negara yang bertanggung jawab kepada presiden.

Saran perubahan peraturan perundang-undangan siber untuk menghadapi perkembangan pesat teknologi siber terkini artificial intelligence (AI) dan perubahan tata susunan organisasi sebagai perangkat keras diperlukan berdasarkan pengalaman betapa rapuhnya baik software maupun hardware pertahanan nasional dari serangan siber (cyber attack) akhir-akhir ini.

Jenis-jenis kejahatan telah semakin canggih didukung teknologi modern termasuk artificial intelligence (AI) yang jauh lebih canggih dari teknologi siber konvensional. Hampir 99% jenis kejahatan saat ini bersifat transnasional antara lain tindak pidana pencucian uang di mana hasil-hasil kejahatan di negara lain ditransfer ke dalam negeri untuk ditempatkan, disamarkan dan diintegrasikan ke dalam sistem keuangan dan perbankan, sehingga menjadi uang bersih.

Kembali kemudian digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi jual beli atau pembangunan proyek-proyek properti yang dibayai dana APBN/D sehingga bisa dibayangkan dengan kecanggihan teknologi modern sistem ekonomi, keuangan, dan perbankan suatu negara bisa dikuasai oleh aktivitas organisasi kejahatan transnasional yang berdampak megatif baik secara nasional maupun regional.

Kecanggihan teknologi siber modern telah menjadi pemicu kejahatan transnasional khususnya dalam tindak pidana pencucian uang. Apalagi di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khusus Pasal 2 telah ditetapkan 23 jenis tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Dalam konteks luas lingkup jenis tindak pidana asal (predicate offence) di lembaga negara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) wajib koordinasi dan supervise oleh Polri, Kejaksaaan, dan KPK dalam hal yang berkaitan dengan aliran dana yang berasal dari 23 jenis kejahatan termasuk antara lain, korupsi, perjudian, perdagangan orang dan anak, serta kejahatan perbankan.

Tanpa dukungan teknologi siber modern mustahil TPPU dari berbagai kejahatan asal tersebut dapat diatasi baik oleh PPATK, Polri, maupun Kejaksaan.
(rca)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More