Senjakala Militer Malaysia
Senin, 21 Agustus 2023 - 05:13 WIB
Selain itu, dalam Pedoman dan Kebijakan Program Offset tersebut telah dirilis sejak 2004 disebutkan bahwa keberadaan industri pertahanan lokal akan mengurangi ketergantungan MAF pada alutsista impor. Seperti halnya Indonesia, Malaysia juga menggunakan mekanisme offset atau transfer of technology (ToT) untuk mendukung berkembangnya industri pertahanan nasional.
Adapun untuk anggaran pertahanan, pengalokasiannya berdasarkan kemampuan keuangan negara dan disesuaikan dengan kebutuhan MAF dalam menghadapi dinamika tantangan. Demi efektivitas belanja alutsista, alokasi anggaran berdasar pada prinsip keterjangkauan, dalam hal ini tergantung kemampuan pendanaan negara.Di sisi lain penentuan alokasi anggaran tidak berdasarkan persentase tetap tertentu di anggaran negara, tetapi pada prioritas dan ketersediaan dana negara.
Fakta Kekuatan dan Kemampuan
Bila melihat orientasi pertahanan Malaysia, maka ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana negara terpisah dua bagian- di semenanjung Asia dan Kalimantan bagian utara- tersebut membangun kekuatan pertahanannya. Dalam hal ini memiliki angkatan bersenjata yang mampu memproyeksikan kekuatan melampaui batas wilayah untuk menghadapi ancaman kedaulatan secara efektif.
Indikator dimaksud yakni memiliki alutsista untuk angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara yang modern, bisa dimobilisasi secara cepat ke hot spot, dibekali senjata yang bisa diandalkan untuk menangkis ancaman atau serangan lawan; mampu mengembangkan industri pertahanan domestik untuk mewujudkan kemandirian alutsista; serta mendapatkan dukungan anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja alutsista.
Di antara negara-negara ASEAN, Malaysia pernah menunjukkan kejayaannya, terutama di era 1990-2000an awal. Kala itu, negara yang memiliki semboyan ‘Bersekutu Bertambah Maju’ itu memborong pesawat tempur sekelas BAE Hawk Mk 108/208, 18 unit MiG-29N/NUB (sudah dinon-aktifkan semua), 8 unit F/A-18D Hornet, hingga pada 2003 menambah 18 unit Sukhoi Su-30MKM.
Dengan kekuatan tersebut, praktis hanya Singapura yang bisa mengimbanginya untuk superioritas udara. Sedangkan di darat, Malaysia merupakan pioner di ASEAN yang memiliki main battle tank (MBT), dengan memborong 48 unit PT-91 M Pendekar atau Tank Twardy made in Polandia. Berkat bekal kekuatan itulah Malaysia kerap kali mengganggu kedaulatan Indonesia, terutama di Ambalat.
Secara teoritis, seiring perkembangan jaman dan munculnya tantangan yang semakin berat, setiap negara mutlak konsisten memordenisasi alutsistanya, seperti dilakukan Indonesia dan beberapa negara di kawasan. Bagaimana dengan Malaysia? Untuk belanja alutsista, parameter lazimnya berdasar laporan Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI. Dalam beberapa tahun belakangan, belanja alutsista Malaysia terbilang sangat minim dan seolah tak pernah lekang dari carut-marut persoalan.
Pada 2021 misalnya, beberapa pembelian signfikan antara lain OPV littoral mission ship (LMS) asal China yang diorder pada 2017 dan diserahkan pada 2019-202. Namun dari berbagai referensi, kapal tersebut terbilang ‘ompong’ karena sistem persenjataannya hanya berupa satu meriam 30mm CS/AN3 dan dua senjata CS/LM6 12.7mm. Bandingkan dengan kapal cepat rudal (KCR) made in Indonesia yang dibekali rudal.
Pada tahun sama, SIPRI juga masih mencatat akusisi fregat Gowind-2500 dari Prancis yang rencananya dilengkali rudal BVRAAM dan NSM. Kapal beserta rudal yang diakusisi sejak 2014 dan 2015 ini ternyata hingga kini sama sekali belum di-delivery ke Kementerian Pertahanan Malaysia karena mangkrak. Kabar terakhir, proyek littoral combat ship atau LCS itu baru akan digarap kembali September depan. Berdasar kabar yang beredar, mangkraknya kapal hasil ToT tersebut karena ketidakmampuan SDM-nya, hingga kemudian anggaran terus membengkak.
Adapun untuk anggaran pertahanan, pengalokasiannya berdasarkan kemampuan keuangan negara dan disesuaikan dengan kebutuhan MAF dalam menghadapi dinamika tantangan. Demi efektivitas belanja alutsista, alokasi anggaran berdasar pada prinsip keterjangkauan, dalam hal ini tergantung kemampuan pendanaan negara.Di sisi lain penentuan alokasi anggaran tidak berdasarkan persentase tetap tertentu di anggaran negara, tetapi pada prioritas dan ketersediaan dana negara.
Fakta Kekuatan dan Kemampuan
Bila melihat orientasi pertahanan Malaysia, maka ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana negara terpisah dua bagian- di semenanjung Asia dan Kalimantan bagian utara- tersebut membangun kekuatan pertahanannya. Dalam hal ini memiliki angkatan bersenjata yang mampu memproyeksikan kekuatan melampaui batas wilayah untuk menghadapi ancaman kedaulatan secara efektif.
Indikator dimaksud yakni memiliki alutsista untuk angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara yang modern, bisa dimobilisasi secara cepat ke hot spot, dibekali senjata yang bisa diandalkan untuk menangkis ancaman atau serangan lawan; mampu mengembangkan industri pertahanan domestik untuk mewujudkan kemandirian alutsista; serta mendapatkan dukungan anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja alutsista.
Di antara negara-negara ASEAN, Malaysia pernah menunjukkan kejayaannya, terutama di era 1990-2000an awal. Kala itu, negara yang memiliki semboyan ‘Bersekutu Bertambah Maju’ itu memborong pesawat tempur sekelas BAE Hawk Mk 108/208, 18 unit MiG-29N/NUB (sudah dinon-aktifkan semua), 8 unit F/A-18D Hornet, hingga pada 2003 menambah 18 unit Sukhoi Su-30MKM.
Dengan kekuatan tersebut, praktis hanya Singapura yang bisa mengimbanginya untuk superioritas udara. Sedangkan di darat, Malaysia merupakan pioner di ASEAN yang memiliki main battle tank (MBT), dengan memborong 48 unit PT-91 M Pendekar atau Tank Twardy made in Polandia. Berkat bekal kekuatan itulah Malaysia kerap kali mengganggu kedaulatan Indonesia, terutama di Ambalat.
Secara teoritis, seiring perkembangan jaman dan munculnya tantangan yang semakin berat, setiap negara mutlak konsisten memordenisasi alutsistanya, seperti dilakukan Indonesia dan beberapa negara di kawasan. Bagaimana dengan Malaysia? Untuk belanja alutsista, parameter lazimnya berdasar laporan Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI. Dalam beberapa tahun belakangan, belanja alutsista Malaysia terbilang sangat minim dan seolah tak pernah lekang dari carut-marut persoalan.
Pada 2021 misalnya, beberapa pembelian signfikan antara lain OPV littoral mission ship (LMS) asal China yang diorder pada 2017 dan diserahkan pada 2019-202. Namun dari berbagai referensi, kapal tersebut terbilang ‘ompong’ karena sistem persenjataannya hanya berupa satu meriam 30mm CS/AN3 dan dua senjata CS/LM6 12.7mm. Bandingkan dengan kapal cepat rudal (KCR) made in Indonesia yang dibekali rudal.
Pada tahun sama, SIPRI juga masih mencatat akusisi fregat Gowind-2500 dari Prancis yang rencananya dilengkali rudal BVRAAM dan NSM. Kapal beserta rudal yang diakusisi sejak 2014 dan 2015 ini ternyata hingga kini sama sekali belum di-delivery ke Kementerian Pertahanan Malaysia karena mangkrak. Kabar terakhir, proyek littoral combat ship atau LCS itu baru akan digarap kembali September depan. Berdasar kabar yang beredar, mangkraknya kapal hasil ToT tersebut karena ketidakmampuan SDM-nya, hingga kemudian anggaran terus membengkak.
Lihat Juga :
tulis komentar anda