Senjakala Militer Malaysia
loading...
A
A
A
PEKAN kemarin Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) menggelar Eksesais Angkasa Samudera (Eks Angsa) di Stesen LIMA TLDM Terumbu Layang-Layang. Yang menarik, tempat pelatihan untuk menerbangkan Unmanned Aerial System (UAS) ScanEagle tersebut berada di wilayah yang dipersengketakan dengan China, yakni di Kepulauan Spratly.
Kepulauan yang diidentifikasi kaya dengan minyak dan gas itu merupakan hot spot yang menjadi rebutan sejumlah negara di kawasan. Selain China dan Malaysia, Vietnam dan Filipina juga mengklaim kepemilikan atas wilayah tersebut. Di antara negara terlibat, China paling agresif. Betapa tidak, negeri tirai bambu itu mengklaim hampir 80 persen wilayah Laut China Selatan (LCS), hingga bertabrakan dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk Indonesia dan Brunei Darussalam.
Dalam konflik Malaysia vis a vis China, negeri jiran tersebut sempat kewalahan dengan berbagai manuver yang dilakukan nelayan China yang memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE)-nya. Kapal-kapal coast guard China bahkan acap kali mengganggu proyek eksplorasi migas yang dilakukan Petronas di lepas Pantai Serawak. Berdasar laporan Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), kapal coast guard China pernah mendekat hingga jarak 1,5 mil laut dari proyek tersebut.
Bukan hanya kapal yang bermanuver di ZEE Malaysia, pada medio 2021, Malaysia mengerahkan jet-jet tempur untuk mencegat 16 pesawat militer China yang muncul dari Kalimantan di atas LCS. Malaysia menuduh China melanggar kedaulatannya, sementara Beijing mengatakan penerbangan itu adalah pelatihan rutin.
Di antara negara-negara yang berkonflik dengan China, respons Malaysia terbilang paling lemah -dalam hal ini dibanding Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Vietnam mengerahkan fregat untuk berpatroli di kepulauan Spartly. Negeri tersebut telah melakukan berbagai persiapan, termasuk memborong berbagai jenis alutsista modern Rusia, India, hingga Amerika Serikat.
Pun Filipina yang belakangan memborong sejumlah alutsista seperti kapal perang, termasuk produksi Hyundai Heavy Industries dari Korea Selatan, memborong 12 pesawat tempur FA-50 made in Korea Aerospace Industries Korea Selatan dan lainnya. Apalagi Indonesia telah menempatkan berbagai jenis alutsista dan pasukan di Kepulauan Natuna, wilayah NKRI yang terdekat dengan titik konflik di LCS.
Sedangkan Malaysia, akuisisi dan mobilisasi alutsista sebagai variabel penting konsolidasi kekuatan militer masih sayup-sayup terdengar. Tentu sekuat apapun belanja militer yang dilakukan negara-negara di ASEAN mustahil bisa mengimbangi kemampuan China. Namun paling tidak langkah tersebut menjadi indikator geliat kekuatan militer masing-masing negara menghadapi ancaman terhadap kedaulatannya.
Walaupun sekadar latihan, pengerahan ScanEagle merupakan langkah maju Malaysia untuk secara progresif mengamankan wilayah yang diklaimnya. Bahkan, sebuah kanal youtube yang fokus pada informasi militer menilai langkah Kualalumpur tersebut sebagai tantangan ke China. Apalagi bila menempatkan drone yang mampu melakukan fungsi intelligence, surveillance and reconnaisance (ISR) itu secara permanen di Kepulauan Spartly.
Perkembangan ākeberanianā Malaysia dalam merespons agresivitas China di kawasan yang kini lazim disebut Indo-Pasifik tersebut tentu menimbulkan pertanyaan sekuat apa sebenarnya militer Malaysia saat ini? Atau, sejauh mana negeri yang kini dipimpin Perdana Menteri Anwar Ibrahim menunjukkan komitmen membangun kekuatan militer melalui akuisisi alutsista dan memberdayakan industri dalam negerinya demi terwujudnya kemandirian alutsista?
Orientasi Pertahanan
Pada 2021 lalu Malaysia telah merilis buku putih pertahanan atau Defense White Paper (DWP.) Jurnal The Diplomat dalam laporan bertajuk āāWhere Is Defense Reform in Malaysia Headed?āā yang ditulis peneliti Research for Social Advancement (Refsa) Nik Mohamed Rashid Nik Zurin memaparkan, tema utama DWP yang diproyeksikan untuk 10 tahun ke depan adalah perlunya modernisasi angkatan bersenjata Malaysia (Malaysian Armed Force/MAF) agar mampu merespons ancaman yang muncul seperti perang siber, perang kota, dan meningkatnya tantangan maritim. Prinsip penting dalam DWP adalah reformasi industri pertahanan untuk mencapai prioritas ekonomi dan pertahanan nasional.
Sebelum DWP diluncurkan, masing-masing angkatan sudah memiliki program modernisasi. Program dimaksud adalah Army4NextGen untuk Angkatan Darat, Program Transformasi 15-ke-5 untuk Angkatan Laut, dan CAP55 untuk Angkatan Udara. Semua rancangan diarahkan untuk memastikan alutsista usang dihapus dan diganti baru, sedangkan platform yang masih dapat diberdayagunakan akan diperbaiki, seperti refurbhisment di Indonesia.
DWP juga memuat tentang cetak biru industri pertahanan nasional yang menyeluruh. Dalam panduan berjudul āDasar Industri Pertahanan Negaraā, antara lain diuraikan kebijakan seperti apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam pengadaan pertahanan dan mengembangkan kemampuan domestik untuk memenuhi kebutuhan alutsista.
Sementara itu dalam sebuah dokumen Malaysiaās National Defence Policy (pmo.gov.my) dipaparkan bahwa tujuan pengembangan kemampuan pertahanan negara adalah membangun MAF yang terintegrasi dan seimbang antara aset dan sumber daya lainnya. Pembanguan MAF mempertimbangkan semua dimensi kemampuan perang modern di matra darat, laut, udara, serta elektromagnetik.
Dijelaskan pula pentingnya pertahanan modern agar mampu mencegah terjadinya atau memastikan bahwa konflik terjadi jauh dari wilayah Malaysia. Dengan demikan pertahanan modern mencakup konsep angkatan bersenjata mampu memproyeksikan kekuatan di luar batas wilayah Malaysia.Kondisi ini bisa tercapai bila MAF memiliki kekuatan alutsista yang dapat dimobilisasi dengan cepat dan dilengkapi dengan senjata dan dukungan logistik yang memadai.
Dokumen juga menjelaskan bahwa spektrum "kebersamaan" operasional -atau dikonsepsikan sebagai interoperabilitas- di antara ketiga layanan MAF adalah kunci keberhasilan operasional. Prasyaratnya adalah, pertama superioritas udara. Komando wilayah udara sangat penting untuk memastikan keberhasilan operasi darat, laut dan udara. MAF membutuhkan kemampuan defensif dan ofensif untuk memastikan superioritas udara yang bisa diandalkan mampu mengamankan kedaulatan negara.
Kedua, operasi maritim. MAF harus mampu mempertahankan keunggulan atas wilayah maritim. Keunggulan maritim juga termasuk kemampuan Angkatan Udara Malaysia (RMAF) dan Angkatan Laut Kerajaan Malaysia (RMN) untuk menghalau setiap perambahan ke ranah maritim. Hal tersebut termasuk kontrol pintu masuk kritis wilayah Malaysia di Selat Malaka dan Selat Singapura, serta jalur laut komunikasi antara Semenanjung Malaysia dan Singapura.
Kemudian ketiga, operasi darat. Kekuatan operasi darat tergantung pada kemampuan Angkatan Darat Malaysia untuk beroperasi bersama dengan RMAF dan RMN. Penyelesaian misi membutuhkan sistem senjata canggih, dukungan daya tembak, mobilitas, perlindungan, dan logistik. Panjangnya garis batas perbatasan negara membutuhkan MAF yang memiliki kemampuan reaksi cepat sebagai kekuatan gabungan.
Dokumen juga memuat pentingnya mendukung industri pertahanan nasional. Tujuan tersebut bisa tercapai melalui pengembangan industri pertahanan lokal; serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan. Terpenuhinya elemen tersebut sangat penting untuk memastikan negara yang dikepalai Yang Dipertuan Agung itu mampu mencapai kemandirian pertahanan. Melalui industri pertahanan kapabel, MAF akan memiliki akses teknologi dan sistem pertahanan canggih, serta menyediakan struktur dan layanan pendukung yang memainkan peran dalam meningkatkan serviceability rate alutsista.
Selain itu, dalam Pedoman dan Kebijakan Program Offset tersebut telah dirilis sejak 2004 disebutkan bahwa keberadaan industri pertahanan lokal akan mengurangi ketergantungan MAF pada alutsista impor. Seperti halnya Indonesia, Malaysia juga menggunakan mekanisme offset atau transfer of technology (ToT) untuk mendukung berkembangnya industri pertahanan nasional.
Adapun untuk anggaran pertahanan, pengalokasiannya berdasarkan kemampuan keuangan negara dan disesuaikan dengan kebutuhan MAF dalam menghadapi dinamika tantangan. Demi efektivitas belanja alutsista, alokasi anggaran berdasar pada prinsip keterjangkauan, dalam hal ini tergantung kemampuan pendanaan negara.Di sisi lain penentuan alokasi anggaran tidak berdasarkan persentase tetap tertentu di anggaran negara, tetapi pada prioritas dan ketersediaan dana negara.
Fakta Kekuatan dan Kemampuan
Bila melihat orientasi pertahanan Malaysia, maka ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana negara terpisah dua bagian- di semenanjung Asia dan Kalimantan bagian utara- tersebut membangun kekuatan pertahanannya. Dalam hal ini memiliki angkatan bersenjata yang mampu memproyeksikan kekuatan melampaui batas wilayah untuk menghadapi ancaman kedaulatan secara efektif.
Indikator dimaksud yakni memiliki alutsista untuk angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara yang modern, bisa dimobilisasi secara cepat ke hot spot, dibekali senjata yang bisa diandalkan untuk menangkis ancaman atau serangan lawan; mampu mengembangkan industri pertahanan domestik untuk mewujudkan kemandirian alutsista; serta mendapatkan dukungan anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja alutsista.
Di antara negara-negara ASEAN, Malaysia pernah menunjukkan kejayaannya, terutama di era 1990-2000an awal. Kala itu, negara yang memiliki semboyan āBersekutu Bertambah Majuā itu memborong pesawat tempur sekelas BAE Hawk Mk 108/208, 18 unit MiG-29N/NUB (sudah dinon-aktifkan semua), 8 unit F/A-18D Hornet, hingga pada 2003 menambah 18 unit Sukhoi Su-30MKM.
Dengan kekuatan tersebut, praktis hanya Singapura yang bisa mengimbanginya untuk superioritas udara. Sedangkan di darat, Malaysia merupakan pioner di ASEAN yang memiliki main battle tank (MBT), dengan memborong 48 unit PT-91 M Pendekar atau Tank Twardy made in Polandia. Berkat bekal kekuatan itulah Malaysia kerap kali mengganggu kedaulatan Indonesia, terutama di Ambalat.
Secara teoritis, seiring perkembangan jaman dan munculnya tantangan yang semakin berat, setiap negara mutlak konsisten memordenisasi alutsistanya, seperti dilakukan Indonesia dan beberapa negara di kawasan. Bagaimana dengan Malaysia? Untuk belanja alutsista, parameter lazimnya berdasar laporan Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI. Dalam beberapa tahun belakangan, belanja alutsista Malaysia terbilang sangat minim dan seolah tak pernah lekang dari carut-marut persoalan.
Pada 2021 misalnya, beberapa pembelian signfikan antara lain OPV littoral mission ship (LMS) asal China yang diorder pada 2017 dan diserahkan pada 2019-202. Namun dari berbagai referensi, kapal tersebut terbilang āompongā karena sistem persenjataannya hanya berupa satu meriam 30mm CS/AN3 dan dua senjata CS/LM6 12.7mm. Bandingkan dengan kapal cepat rudal (KCR) made in Indonesia yang dibekali rudal.
Pada tahun sama, SIPRI juga masih mencatat akusisi fregat Gowind-2500 dari Prancis yang rencananya dilengkali rudal BVRAAM dan NSM. Kapal beserta rudal yang diakusisi sejak 2014 dan 2015 ini ternyata hingga kini sama sekali belum di-delivery ke Kementerian Pertahanan Malaysia karena mangkrak. Kabar terakhir, proyek littoral combat ship atau LCS itu baru akan digarap kembali September depan. Berdasar kabar yang beredar, mangkraknya kapal hasil ToT tersebut karena ketidakmampuan SDM-nya, hingga kemudian anggaran terus membengkak.
Dari data SIPRI, dari belanja alutsista yang dilakukan Malaysia hingga 2021, yang terbilang tuntas adalah pembelian APC Pars dari Turki sebanyak 123 buah beserta mesin dan turret yang dilakukan terpisah. Lainnya adalah kedatangan ScanEagle yang merupakan hibah dari Amerika Serikat.
Begitupun laporan belanja alutsista SIPRI 2022 tidak mencatat belanja militer signifikan, kecuali melaporkan tentang tuntasnya pesanan 4 LMS dari China, kelarnya hibah 12 ScanEagle, kedatangan helikopter sewa jenis AW 139 dan 6 helikopter ringan MD-530 G. Rencana akuisisi pesawat ATR-72MP untuk anti sub-marine weapon atau ASW dan 3 UAV Anka dari Turki ternyata belum resmi diorder.
Bila ditelusuri, muramnya akuisisi alutsista negara yang berbentuk federal tersebut terjadi sejak mencuatnya kasus korupsi pembelian kapal selam kelas Scorpene buatan Prancis pada 2002. Korupsi belanja alutsista buatan pabrikan DCNS senilai USD1,2 miliar tersebut melibatkan Menteri Pertahanan Najib Rajak yang belakangan menjabat perdana menteri.
Malahan skandal rasuah yang kemudian disebut megakorupsi 1MDB itu dibumbui tewasnya Altantuya Shaariibu, seorang penterjemah asal Mongolia. Mirisnya lagi, kapal selam tersebut ditengarai tidak menyelam hingga harus ditambatkan di pelabuhan dalam kurun waktu cukup lama.
Sedangkan dari sisi kemandirian alutsista, Malaysia tidak memiliki produk yang bisa dibanggakan. Dari catatan belanja pertahanan SIPRI 2021 dan 2022 misalnya, tidak ada catatan mengenai ekspor alutsista Malaysia ke negara lain. Mangkraknya proyek kapal LCS yang diharapkan menjadi jembatan Malaysia membangun kemandirian melalui ToT dari Prancis menunjukkan ketidakmampuan SDM-nya menguasai teknologi pembuatan kapal perang. Boro-boro membuat kapal, negeri tersebut pun tidak memiliki kemampuan membuat senjata serbu. Program senjata VB Berapi LP 06 berdesain aneh yang pernah digagas, kini tidak ada kabar kelanjutannya.
Mengapa daftar belanja militer Malaysia sangat kecil? Jawabannya tidak lain karena keterbatasan anggaran militernya. Mengutip data Lowy Institute seperti dimuat Katadata, pada 2022 lalu Malaysia hanya menganggarkan dana sebesar USD3,96 miliar, beda tipis dengan Myanmar yang memiliki anggaran sebesar USD3,70 miliar. Besaran anggaran militer tersebut jauh dibanding Singapura (USD12 miliar), Indonesia (USD10 miliar), Thailand (USD7,44 miliar), Vietnam (USD7,21 miliar) dan Filipina (USD4,43 miliar).
Selain berdampak minimnya belanja militer, keterbatasan anggaran juga memaksa Malaysia ākreatifā dalam memenuhi kebutuhan alutsistanya. Kebijakan yang diambil di antaranya menyewa, seperti helikopter AW 139 -sebuah kebijakan yang tidak lazim dalam dunia militer.
Negeri yang dimerdekakan Inggris itu juga terpaksa memilih opsi barang bekas, seperti terkait rencana pembelian 33 pesawat F/A-18C/D Hornet milik Kuwait. Hanya saja, proposal yang disampaikan Malaysia hingga kini belum juga direspons negeri sultan tersebut. Karena itulah, tidak ada pilihan bagi negara dengan penduduk mayoritas etnis Melayu itu selain memperpanjang usia pesawat Hornet-nya hingga 2035.
Melihat realitas di atas, perkembangan kekuatan pertahanan Malaysia menunjukkan indikator suram. Tolok ukur alutsista modern yang dibutuhkan menangkis ancaman tidak terpenuhi karena alutsista sudah uzur, baik untuk angkatan darat, laut dan udara. Dengan begitu harapan adanya superioritas udara sebagai unsur penting untuk memenangkan perang secara keseluruhan sulit terpenuhi. Apalagi dibanding China yang membangun militernya secara besar-besaran dalam dekade ini, dibanding dengan Singapura yang memiliki F-35 dan Indonesia yang sudah memborong Rafale pun Malaysia tertinggal jauh.
Begitu pula kekuatan di darat. Setelah tank Pendekar, misalnya, tidak ada kabar lagi adanya pembelian tank baru. Apalagi kekuatan laut, fregat Gowind yang diharapkan menjadi tulang kekuatan laut hingga kini masih mangkrak. Praktis kekuatan maritim Malaysia saat ini hanya didukung sejumlah kapal perang buatan 90-an, seperti kelas korvet Laksamana dan fregat kelas Lekiu.
Adapun indikator kemandirian alutsista masih jauh dari harapan karena Malaysia belum memiliki kompetensi mengembangkan industri pertahanan. Entah kenapa negara yang memiliki begitu banyak universitas terkemuka dibanding Indonesia, tidak mampu membangun industri pertahanan yang bisa diandalkan.
Begitu juga indikator kemampuan pendanaan, anggaran yang bisa disediakan pemerintah untuk mendukung kapasitas pertahanannya masih terlalu kecil. Apalagi bila melihat rasio utang Malaysia terhadap product domestic bruto (PDB) yang mencapai 60 persen, ruang fiskal untuk menganggarkan belanja alutsista lebih besar, sangatlah sempit. Bisa jadi pula Malaysia kesulitan untuk me-refurbish untuk memperpanjang alutsista tuanya.
Jika fakta demkian adanya, kapabilitas militer dan kekautan pertahanan Malaysia dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan atau senjakala. Sampai kapan persoalan tersebut bisa diatasi, belum bisa diprediksi karena beberapa rencana modernisasi belum dieksekusi. Sebagai anggota Five Power Deffence Arangement (FPDA), Malaysia memang bisa berharap bantuan alutsista dari Inggris, Australia, Selandia Baru atau Singapura. Tapi belajar dari kasus Ukraina versus Rusia, suatu negara tidak bisa berharap banyak pada bantuan negara lain. (*)
Kepulauan yang diidentifikasi kaya dengan minyak dan gas itu merupakan hot spot yang menjadi rebutan sejumlah negara di kawasan. Selain China dan Malaysia, Vietnam dan Filipina juga mengklaim kepemilikan atas wilayah tersebut. Di antara negara terlibat, China paling agresif. Betapa tidak, negeri tirai bambu itu mengklaim hampir 80 persen wilayah Laut China Selatan (LCS), hingga bertabrakan dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk Indonesia dan Brunei Darussalam.
Dalam konflik Malaysia vis a vis China, negeri jiran tersebut sempat kewalahan dengan berbagai manuver yang dilakukan nelayan China yang memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE)-nya. Kapal-kapal coast guard China bahkan acap kali mengganggu proyek eksplorasi migas yang dilakukan Petronas di lepas Pantai Serawak. Berdasar laporan Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), kapal coast guard China pernah mendekat hingga jarak 1,5 mil laut dari proyek tersebut.
Bukan hanya kapal yang bermanuver di ZEE Malaysia, pada medio 2021, Malaysia mengerahkan jet-jet tempur untuk mencegat 16 pesawat militer China yang muncul dari Kalimantan di atas LCS. Malaysia menuduh China melanggar kedaulatannya, sementara Beijing mengatakan penerbangan itu adalah pelatihan rutin.
Di antara negara-negara yang berkonflik dengan China, respons Malaysia terbilang paling lemah -dalam hal ini dibanding Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Vietnam mengerahkan fregat untuk berpatroli di kepulauan Spartly. Negeri tersebut telah melakukan berbagai persiapan, termasuk memborong berbagai jenis alutsista modern Rusia, India, hingga Amerika Serikat.
Pun Filipina yang belakangan memborong sejumlah alutsista seperti kapal perang, termasuk produksi Hyundai Heavy Industries dari Korea Selatan, memborong 12 pesawat tempur FA-50 made in Korea Aerospace Industries Korea Selatan dan lainnya. Apalagi Indonesia telah menempatkan berbagai jenis alutsista dan pasukan di Kepulauan Natuna, wilayah NKRI yang terdekat dengan titik konflik di LCS.
Sedangkan Malaysia, akuisisi dan mobilisasi alutsista sebagai variabel penting konsolidasi kekuatan militer masih sayup-sayup terdengar. Tentu sekuat apapun belanja militer yang dilakukan negara-negara di ASEAN mustahil bisa mengimbangi kemampuan China. Namun paling tidak langkah tersebut menjadi indikator geliat kekuatan militer masing-masing negara menghadapi ancaman terhadap kedaulatannya.
Walaupun sekadar latihan, pengerahan ScanEagle merupakan langkah maju Malaysia untuk secara progresif mengamankan wilayah yang diklaimnya. Bahkan, sebuah kanal youtube yang fokus pada informasi militer menilai langkah Kualalumpur tersebut sebagai tantangan ke China. Apalagi bila menempatkan drone yang mampu melakukan fungsi intelligence, surveillance and reconnaisance (ISR) itu secara permanen di Kepulauan Spartly.
Perkembangan ākeberanianā Malaysia dalam merespons agresivitas China di kawasan yang kini lazim disebut Indo-Pasifik tersebut tentu menimbulkan pertanyaan sekuat apa sebenarnya militer Malaysia saat ini? Atau, sejauh mana negeri yang kini dipimpin Perdana Menteri Anwar Ibrahim menunjukkan komitmen membangun kekuatan militer melalui akuisisi alutsista dan memberdayakan industri dalam negerinya demi terwujudnya kemandirian alutsista?
Orientasi Pertahanan
Pada 2021 lalu Malaysia telah merilis buku putih pertahanan atau Defense White Paper (DWP.) Jurnal The Diplomat dalam laporan bertajuk āāWhere Is Defense Reform in Malaysia Headed?āā yang ditulis peneliti Research for Social Advancement (Refsa) Nik Mohamed Rashid Nik Zurin memaparkan, tema utama DWP yang diproyeksikan untuk 10 tahun ke depan adalah perlunya modernisasi angkatan bersenjata Malaysia (Malaysian Armed Force/MAF) agar mampu merespons ancaman yang muncul seperti perang siber, perang kota, dan meningkatnya tantangan maritim. Prinsip penting dalam DWP adalah reformasi industri pertahanan untuk mencapai prioritas ekonomi dan pertahanan nasional.
Sebelum DWP diluncurkan, masing-masing angkatan sudah memiliki program modernisasi. Program dimaksud adalah Army4NextGen untuk Angkatan Darat, Program Transformasi 15-ke-5 untuk Angkatan Laut, dan CAP55 untuk Angkatan Udara. Semua rancangan diarahkan untuk memastikan alutsista usang dihapus dan diganti baru, sedangkan platform yang masih dapat diberdayagunakan akan diperbaiki, seperti refurbhisment di Indonesia.
DWP juga memuat tentang cetak biru industri pertahanan nasional yang menyeluruh. Dalam panduan berjudul āDasar Industri Pertahanan Negaraā, antara lain diuraikan kebijakan seperti apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam pengadaan pertahanan dan mengembangkan kemampuan domestik untuk memenuhi kebutuhan alutsista.
Sementara itu dalam sebuah dokumen Malaysiaās National Defence Policy (pmo.gov.my) dipaparkan bahwa tujuan pengembangan kemampuan pertahanan negara adalah membangun MAF yang terintegrasi dan seimbang antara aset dan sumber daya lainnya. Pembanguan MAF mempertimbangkan semua dimensi kemampuan perang modern di matra darat, laut, udara, serta elektromagnetik.
Dijelaskan pula pentingnya pertahanan modern agar mampu mencegah terjadinya atau memastikan bahwa konflik terjadi jauh dari wilayah Malaysia. Dengan demikan pertahanan modern mencakup konsep angkatan bersenjata mampu memproyeksikan kekuatan di luar batas wilayah Malaysia.Kondisi ini bisa tercapai bila MAF memiliki kekuatan alutsista yang dapat dimobilisasi dengan cepat dan dilengkapi dengan senjata dan dukungan logistik yang memadai.
Dokumen juga menjelaskan bahwa spektrum "kebersamaan" operasional -atau dikonsepsikan sebagai interoperabilitas- di antara ketiga layanan MAF adalah kunci keberhasilan operasional. Prasyaratnya adalah, pertama superioritas udara. Komando wilayah udara sangat penting untuk memastikan keberhasilan operasi darat, laut dan udara. MAF membutuhkan kemampuan defensif dan ofensif untuk memastikan superioritas udara yang bisa diandalkan mampu mengamankan kedaulatan negara.
Kedua, operasi maritim. MAF harus mampu mempertahankan keunggulan atas wilayah maritim. Keunggulan maritim juga termasuk kemampuan Angkatan Udara Malaysia (RMAF) dan Angkatan Laut Kerajaan Malaysia (RMN) untuk menghalau setiap perambahan ke ranah maritim. Hal tersebut termasuk kontrol pintu masuk kritis wilayah Malaysia di Selat Malaka dan Selat Singapura, serta jalur laut komunikasi antara Semenanjung Malaysia dan Singapura.
Kemudian ketiga, operasi darat. Kekuatan operasi darat tergantung pada kemampuan Angkatan Darat Malaysia untuk beroperasi bersama dengan RMAF dan RMN. Penyelesaian misi membutuhkan sistem senjata canggih, dukungan daya tembak, mobilitas, perlindungan, dan logistik. Panjangnya garis batas perbatasan negara membutuhkan MAF yang memiliki kemampuan reaksi cepat sebagai kekuatan gabungan.
Dokumen juga memuat pentingnya mendukung industri pertahanan nasional. Tujuan tersebut bisa tercapai melalui pengembangan industri pertahanan lokal; serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan. Terpenuhinya elemen tersebut sangat penting untuk memastikan negara yang dikepalai Yang Dipertuan Agung itu mampu mencapai kemandirian pertahanan. Melalui industri pertahanan kapabel, MAF akan memiliki akses teknologi dan sistem pertahanan canggih, serta menyediakan struktur dan layanan pendukung yang memainkan peran dalam meningkatkan serviceability rate alutsista.
Selain itu, dalam Pedoman dan Kebijakan Program Offset tersebut telah dirilis sejak 2004 disebutkan bahwa keberadaan industri pertahanan lokal akan mengurangi ketergantungan MAF pada alutsista impor. Seperti halnya Indonesia, Malaysia juga menggunakan mekanisme offset atau transfer of technology (ToT) untuk mendukung berkembangnya industri pertahanan nasional.
Adapun untuk anggaran pertahanan, pengalokasiannya berdasarkan kemampuan keuangan negara dan disesuaikan dengan kebutuhan MAF dalam menghadapi dinamika tantangan. Demi efektivitas belanja alutsista, alokasi anggaran berdasar pada prinsip keterjangkauan, dalam hal ini tergantung kemampuan pendanaan negara.Di sisi lain penentuan alokasi anggaran tidak berdasarkan persentase tetap tertentu di anggaran negara, tetapi pada prioritas dan ketersediaan dana negara.
Fakta Kekuatan dan Kemampuan
Bila melihat orientasi pertahanan Malaysia, maka ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana negara terpisah dua bagian- di semenanjung Asia dan Kalimantan bagian utara- tersebut membangun kekuatan pertahanannya. Dalam hal ini memiliki angkatan bersenjata yang mampu memproyeksikan kekuatan melampaui batas wilayah untuk menghadapi ancaman kedaulatan secara efektif.
Indikator dimaksud yakni memiliki alutsista untuk angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara yang modern, bisa dimobilisasi secara cepat ke hot spot, dibekali senjata yang bisa diandalkan untuk menangkis ancaman atau serangan lawan; mampu mengembangkan industri pertahanan domestik untuk mewujudkan kemandirian alutsista; serta mendapatkan dukungan anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja alutsista.
Di antara negara-negara ASEAN, Malaysia pernah menunjukkan kejayaannya, terutama di era 1990-2000an awal. Kala itu, negara yang memiliki semboyan āBersekutu Bertambah Majuā itu memborong pesawat tempur sekelas BAE Hawk Mk 108/208, 18 unit MiG-29N/NUB (sudah dinon-aktifkan semua), 8 unit F/A-18D Hornet, hingga pada 2003 menambah 18 unit Sukhoi Su-30MKM.
Dengan kekuatan tersebut, praktis hanya Singapura yang bisa mengimbanginya untuk superioritas udara. Sedangkan di darat, Malaysia merupakan pioner di ASEAN yang memiliki main battle tank (MBT), dengan memborong 48 unit PT-91 M Pendekar atau Tank Twardy made in Polandia. Berkat bekal kekuatan itulah Malaysia kerap kali mengganggu kedaulatan Indonesia, terutama di Ambalat.
Secara teoritis, seiring perkembangan jaman dan munculnya tantangan yang semakin berat, setiap negara mutlak konsisten memordenisasi alutsistanya, seperti dilakukan Indonesia dan beberapa negara di kawasan. Bagaimana dengan Malaysia? Untuk belanja alutsista, parameter lazimnya berdasar laporan Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI. Dalam beberapa tahun belakangan, belanja alutsista Malaysia terbilang sangat minim dan seolah tak pernah lekang dari carut-marut persoalan.
Pada 2021 misalnya, beberapa pembelian signfikan antara lain OPV littoral mission ship (LMS) asal China yang diorder pada 2017 dan diserahkan pada 2019-202. Namun dari berbagai referensi, kapal tersebut terbilang āompongā karena sistem persenjataannya hanya berupa satu meriam 30mm CS/AN3 dan dua senjata CS/LM6 12.7mm. Bandingkan dengan kapal cepat rudal (KCR) made in Indonesia yang dibekali rudal.
Pada tahun sama, SIPRI juga masih mencatat akusisi fregat Gowind-2500 dari Prancis yang rencananya dilengkali rudal BVRAAM dan NSM. Kapal beserta rudal yang diakusisi sejak 2014 dan 2015 ini ternyata hingga kini sama sekali belum di-delivery ke Kementerian Pertahanan Malaysia karena mangkrak. Kabar terakhir, proyek littoral combat ship atau LCS itu baru akan digarap kembali September depan. Berdasar kabar yang beredar, mangkraknya kapal hasil ToT tersebut karena ketidakmampuan SDM-nya, hingga kemudian anggaran terus membengkak.
Dari data SIPRI, dari belanja alutsista yang dilakukan Malaysia hingga 2021, yang terbilang tuntas adalah pembelian APC Pars dari Turki sebanyak 123 buah beserta mesin dan turret yang dilakukan terpisah. Lainnya adalah kedatangan ScanEagle yang merupakan hibah dari Amerika Serikat.
Begitupun laporan belanja alutsista SIPRI 2022 tidak mencatat belanja militer signifikan, kecuali melaporkan tentang tuntasnya pesanan 4 LMS dari China, kelarnya hibah 12 ScanEagle, kedatangan helikopter sewa jenis AW 139 dan 6 helikopter ringan MD-530 G. Rencana akuisisi pesawat ATR-72MP untuk anti sub-marine weapon atau ASW dan 3 UAV Anka dari Turki ternyata belum resmi diorder.
Bila ditelusuri, muramnya akuisisi alutsista negara yang berbentuk federal tersebut terjadi sejak mencuatnya kasus korupsi pembelian kapal selam kelas Scorpene buatan Prancis pada 2002. Korupsi belanja alutsista buatan pabrikan DCNS senilai USD1,2 miliar tersebut melibatkan Menteri Pertahanan Najib Rajak yang belakangan menjabat perdana menteri.
Malahan skandal rasuah yang kemudian disebut megakorupsi 1MDB itu dibumbui tewasnya Altantuya Shaariibu, seorang penterjemah asal Mongolia. Mirisnya lagi, kapal selam tersebut ditengarai tidak menyelam hingga harus ditambatkan di pelabuhan dalam kurun waktu cukup lama.
Sedangkan dari sisi kemandirian alutsista, Malaysia tidak memiliki produk yang bisa dibanggakan. Dari catatan belanja pertahanan SIPRI 2021 dan 2022 misalnya, tidak ada catatan mengenai ekspor alutsista Malaysia ke negara lain. Mangkraknya proyek kapal LCS yang diharapkan menjadi jembatan Malaysia membangun kemandirian melalui ToT dari Prancis menunjukkan ketidakmampuan SDM-nya menguasai teknologi pembuatan kapal perang. Boro-boro membuat kapal, negeri tersebut pun tidak memiliki kemampuan membuat senjata serbu. Program senjata VB Berapi LP 06 berdesain aneh yang pernah digagas, kini tidak ada kabar kelanjutannya.
Mengapa daftar belanja militer Malaysia sangat kecil? Jawabannya tidak lain karena keterbatasan anggaran militernya. Mengutip data Lowy Institute seperti dimuat Katadata, pada 2022 lalu Malaysia hanya menganggarkan dana sebesar USD3,96 miliar, beda tipis dengan Myanmar yang memiliki anggaran sebesar USD3,70 miliar. Besaran anggaran militer tersebut jauh dibanding Singapura (USD12 miliar), Indonesia (USD10 miliar), Thailand (USD7,44 miliar), Vietnam (USD7,21 miliar) dan Filipina (USD4,43 miliar).
Selain berdampak minimnya belanja militer, keterbatasan anggaran juga memaksa Malaysia ākreatifā dalam memenuhi kebutuhan alutsistanya. Kebijakan yang diambil di antaranya menyewa, seperti helikopter AW 139 -sebuah kebijakan yang tidak lazim dalam dunia militer.
Negeri yang dimerdekakan Inggris itu juga terpaksa memilih opsi barang bekas, seperti terkait rencana pembelian 33 pesawat F/A-18C/D Hornet milik Kuwait. Hanya saja, proposal yang disampaikan Malaysia hingga kini belum juga direspons negeri sultan tersebut. Karena itulah, tidak ada pilihan bagi negara dengan penduduk mayoritas etnis Melayu itu selain memperpanjang usia pesawat Hornet-nya hingga 2035.
Melihat realitas di atas, perkembangan kekuatan pertahanan Malaysia menunjukkan indikator suram. Tolok ukur alutsista modern yang dibutuhkan menangkis ancaman tidak terpenuhi karena alutsista sudah uzur, baik untuk angkatan darat, laut dan udara. Dengan begitu harapan adanya superioritas udara sebagai unsur penting untuk memenangkan perang secara keseluruhan sulit terpenuhi. Apalagi dibanding China yang membangun militernya secara besar-besaran dalam dekade ini, dibanding dengan Singapura yang memiliki F-35 dan Indonesia yang sudah memborong Rafale pun Malaysia tertinggal jauh.
Begitu pula kekuatan di darat. Setelah tank Pendekar, misalnya, tidak ada kabar lagi adanya pembelian tank baru. Apalagi kekuatan laut, fregat Gowind yang diharapkan menjadi tulang kekuatan laut hingga kini masih mangkrak. Praktis kekuatan maritim Malaysia saat ini hanya didukung sejumlah kapal perang buatan 90-an, seperti kelas korvet Laksamana dan fregat kelas Lekiu.
Adapun indikator kemandirian alutsista masih jauh dari harapan karena Malaysia belum memiliki kompetensi mengembangkan industri pertahanan. Entah kenapa negara yang memiliki begitu banyak universitas terkemuka dibanding Indonesia, tidak mampu membangun industri pertahanan yang bisa diandalkan.
Begitu juga indikator kemampuan pendanaan, anggaran yang bisa disediakan pemerintah untuk mendukung kapasitas pertahanannya masih terlalu kecil. Apalagi bila melihat rasio utang Malaysia terhadap product domestic bruto (PDB) yang mencapai 60 persen, ruang fiskal untuk menganggarkan belanja alutsista lebih besar, sangatlah sempit. Bisa jadi pula Malaysia kesulitan untuk me-refurbish untuk memperpanjang alutsista tuanya.
Jika fakta demkian adanya, kapabilitas militer dan kekautan pertahanan Malaysia dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan atau senjakala. Sampai kapan persoalan tersebut bisa diatasi, belum bisa diprediksi karena beberapa rencana modernisasi belum dieksekusi. Sebagai anggota Five Power Deffence Arangement (FPDA), Malaysia memang bisa berharap bantuan alutsista dari Inggris, Australia, Selandia Baru atau Singapura. Tapi belajar dari kasus Ukraina versus Rusia, suatu negara tidak bisa berharap banyak pada bantuan negara lain. (*)
(hdr)