Nestapa Petani Tebu yang (Selalu) Berulang
Selasa, 08 Agustus 2023 - 12:47 WIB
Kebijakan ini jadi syarat agar petani mendapatkan jaminan pasar dan keuntungan. Dari tahun ke tahun ada kecenderungan yang konsisten yang menandai kian memudarnya insentif ekonomi yang membuat petani tak tertarik lagi menanam tebu. Pertama, terjadi transfer marjin keuntungan dari petani ke pelaku distribusi dan pedagang. Pada 2006, marjin distribusi dan pedagang hanya 10,13%. Artinya, marjin yang dinikmati petani hampir 90%. Pada 2017, marjin distribusi dan pedagang mencapai 37%. Artinya, marjin yang didapatkan petani hanya 63%. Terjadi penurunan yang luar biasa besar.
Kedua, petani mengalihkan usahatani dari tanaman tebu ke tanaman lain. Pada 2010, luas tanam tebu mencapai 454.111 hektare. Pada 2018, luas tanam menurun jadi 414.847 hektare. Tahun 2022, luas tanam naik jadi 488.982 hektare. Akan tetapi, tak ada jaminan luas tanam ini akan bertahan atau bertambah apabila insentif ekonomi tidak menarik. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, respons seperti ini wajar adanya. Jika insentif terus merosot, Indonesia harus membuang jauh-jauh target swasembada gula.
Ke depan, perlu dua langkah simultan agar sengkarut tidak berulang. Pertama, harus tersedia satu data gula buat acuan kebijakan. Baik data produksi maupun konsumsi, baik gula konsumsi maupun rafinasi. Selama ini tersedia sejumlah versi data, sesui vested interest kementerian/lembaga. Selain karena konflik kepentingan, perbedaan data terjadi sejak Dewan Gula Indonesia (DGI), lembaga clearing house yang mensinkronkan kebijakan pergulaan K/L, dibubarkan Presiden Jokowi pada 2014 karena alasan mubazir. Perlu ditimbang ihwal perlunya lembaga clearing house yang independen seperti DGI.
Kedua, mengintensifkan pengawasan dan menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Diakui atau tidak, centang perenang selama ini terjadi karena pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang lembek. Pedagang dan pelaku dominan di pasar tidak pernah jera menerobos rambu-rambu hukum karena tahu bakal lolos sanksi atau disanksi ringan. Bila ada pihak –pedagang atau siapapun—berperilaku culas, konstitusi memberi mandat agar negara (baca: pemerintah) menyeret mereka ke meja hijau.
Dalam UU Perdagangan No. 7/2014, penimbun kebutuhan pokok bisa dipenjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar, dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan. Di UU Pangan No. 18/2012, sanksinya lebih berat: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar. Sanksi yang berat ini agar memberi efek jera.
Lihat Juga: Perindo Tekankan Pentingnya Penguatan Infrastruktur Pertanian di Daerah-daerah Sulit Dijangkau
Kedua, petani mengalihkan usahatani dari tanaman tebu ke tanaman lain. Pada 2010, luas tanam tebu mencapai 454.111 hektare. Pada 2018, luas tanam menurun jadi 414.847 hektare. Tahun 2022, luas tanam naik jadi 488.982 hektare. Akan tetapi, tak ada jaminan luas tanam ini akan bertahan atau bertambah apabila insentif ekonomi tidak menarik. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, respons seperti ini wajar adanya. Jika insentif terus merosot, Indonesia harus membuang jauh-jauh target swasembada gula.
Ke depan, perlu dua langkah simultan agar sengkarut tidak berulang. Pertama, harus tersedia satu data gula buat acuan kebijakan. Baik data produksi maupun konsumsi, baik gula konsumsi maupun rafinasi. Selama ini tersedia sejumlah versi data, sesui vested interest kementerian/lembaga. Selain karena konflik kepentingan, perbedaan data terjadi sejak Dewan Gula Indonesia (DGI), lembaga clearing house yang mensinkronkan kebijakan pergulaan K/L, dibubarkan Presiden Jokowi pada 2014 karena alasan mubazir. Perlu ditimbang ihwal perlunya lembaga clearing house yang independen seperti DGI.
Kedua, mengintensifkan pengawasan dan menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Diakui atau tidak, centang perenang selama ini terjadi karena pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang lembek. Pedagang dan pelaku dominan di pasar tidak pernah jera menerobos rambu-rambu hukum karena tahu bakal lolos sanksi atau disanksi ringan. Bila ada pihak –pedagang atau siapapun—berperilaku culas, konstitusi memberi mandat agar negara (baca: pemerintah) menyeret mereka ke meja hijau.
Dalam UU Perdagangan No. 7/2014, penimbun kebutuhan pokok bisa dipenjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar, dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan. Di UU Pangan No. 18/2012, sanksinya lebih berat: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar. Sanksi yang berat ini agar memberi efek jera.
Lihat Juga: Perindo Tekankan Pentingnya Penguatan Infrastruktur Pertanian di Daerah-daerah Sulit Dijangkau
(wur)
tulis komentar anda