Nestapa Petani Tebu yang (Selalu) Berulang
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Giling tebu di Jawa sudah berjalan setengah musim. Sejak akhir April lalu, petani mulai menebang tebu dan menggiling di pabrik gula. Inilah musim menuai hasil jerih payah berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak. Sayangnya, bukan suka cita yang datang, petani tebu justru cemas. Seperti tahun-tahun sebelumnya, petani dihantui harga gula yang anjlok. Nestapa ini selalu berulang bagai suratan takdir yang tak bisa diubah. Posisinya yang lemah membuat petani sebagai penerima harga (price taker).
Kekhawatiran petani sejak mengawali tahun 2023 bahwa harga gula bakal anjlok kini terbukti. Harga sempat membaik saat Mei-Juni 2023. Memasuki Juli 2023, lelang gulang seringkali dibatalkan karena penawaran harga yang rendah. Harga penawaran tak hanya sekitar Rp12 ribu/kg, kecenderungan penawaran harga di lelang malah di bawah Rp12 ribu/kg. Harga lelang itu masih jauh dari biaya pokok produksi, yang menurut versi APTRI mencapai Rp13.649/kg. Harga gula masih berpotensi terus tertekan karena musim giling kemungkinan berlangsung hingga Oktober 2023. Petani dihadapkan pada situasi dilematis: jika gula dilepas mereka tekor, jika tak dilepas aneka kebutuhan tak terpenuhi.
Ini terjadi karena pasar dan pipa jalur distribusi diperkirakan sudah terisi penuh gula. Menurut kalkulasi APTRI, sejak awal tahun pasar sudah banjir gula. Ini ditandai stok awal tahun 2023 yang mencapai 2,3 juta ton gula konsumsi. Jumlah itu sudah memperhitungkan gula industri, yakni gula rafinasi, yang bocor ke pasar gula konsumsi sekitar 300 ribu ton serta stok awal tahun, produksi gula dalam negeri, dan realisasi impor sepanjang 2022. Jika stok awal 2023 sebanyak 2,3 juta ton ditambah produksi domestik tahun ini 2,5 juta ton, mestinya tidak perlu impor. Karena kebutuhan domestik hanya 2,8 juta ton. Kalaupun pakai versi kebutuhan pemerintah 3,4 juta ton, impor tetap tak perlu.
Pemerintah punya kalkulasi berbeda. Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), stok gula konsumsi awal tahun 2023 hanya 1,11 juta ton. Karena kebutuhan tahunan mencapai 3,39 juta ton dan produksi domestik tahun ini diperkirakan 2,74 juta ton, makanya pemerintah mematok kuota impor gula mentah (raw sugar) 1,04 juta ton atau setara 991 ribu ton gula konsumsi. Kuota impor gula mentah ini lebih rendah dari kuota 2022 yang mencapai 1,37 juta ton atau setara dengan 1,309 juta ton gula konsumsi. Merujuk data Bapanas, realisasi impor Januari-Mei 2023 mencapai 293.400 ton.
Data yang berbeda ini jadi salah satu sumber perdebatan. Sebab, data ini jadi basis otoritas berwenang untuk membuat kebijakan. Ketika datanya salah, kebijakan potensial salah. Demikian pula sebaliknya. Upaya membuat satu data gula untuk jadi rujukan bersama difasilitasi Neraca Komoditas. Sayangnya, perumusan neraca pasokan dalam Neraca Komoditas menihilkan peran produsen, dalam hal ini petani. Neraca Komoditas juga kedap dari akses publik. Tertutupnya peran publik ini jadi titik rawan moral hazard.
Mengacu pada kecenderungan harga lelang gula yang terus menurun, ini indikasi pasar jenuh gula. Padahal, pasar gula konsumsi kali ini kemungkinan mendapatkan limpahan permintaan dari industri kecil menengah. Mengapa? Selama ini IKM memakai gula rafinasi sebagai bahan baku produksi makanan-minuman. Alasannya, harga gula rafinasi lebih murah. Kini, seiring kenaikan harga raw sugar di pasar dunia, harga gula rafinasi menanjak. Bahkan setara dengan harga gula konsumsi. Di sisi lain, membeli gula rafinasi harus lewat koperasi. Jika kalkulasi ini benar, mestinya harga gula konsumsi terangkat. Buktinya, harga terus turun. Salah satu kemungkinan pasar telah jenuh gula.
Agar harga gula di tingkat petani tidak semakin terjun bebas, pemerintah lewat Bapanas harus segera turun tangan. Pada 21 Juli 2023, Bapanas mengeluarkan Peraturan Bapanas No. 17/2023. Di dalamnya antara lain mengatur harga acuan pembelian gula di produsen Rp12.5000/kg, dan harga acuan penjualan di konsumen Rp15.500/kg di Maluku, Papua, dan wilayah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan. Di luar wilayah itu harga acuan penjualan di konsumen sebesar Rp14.500/kg. Untuk menolong petani, Bapanas perlu segera menugaskan BUMN pangan, ID Food, untuk jadi pembeli siaga gula petani. Kala harga lelang jatuh di bawah Rp12.500/kg, ID Food harus membelinya.
Kebijakan ini jadi syarat agar petani mendapatkan jaminan pasar dan keuntungan. Dari tahun ke tahun ada kecenderungan yang konsisten yang menandai kian memudarnya insentif ekonomi yang membuat petani tak tertarik lagi menanam tebu. Pertama, terjadi transfer marjin keuntungan dari petani ke pelaku distribusi dan pedagang. Pada 2006, marjin distribusi dan pedagang hanya 10,13%. Artinya, marjin yang dinikmati petani hampir 90%. Pada 2017, marjin distribusi dan pedagang mencapai 37%. Artinya, marjin yang didapatkan petani hanya 63%. Terjadi penurunan yang luar biasa besar.
Kedua, petani mengalihkan usahatani dari tanaman tebu ke tanaman lain. Pada 2010, luas tanam tebu mencapai 454.111 hektare. Pada 2018, luas tanam menurun jadi 414.847 hektare. Tahun 2022, luas tanam naik jadi 488.982 hektare. Akan tetapi, tak ada jaminan luas tanam ini akan bertahan atau bertambah apabila insentif ekonomi tidak menarik. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, respons seperti ini wajar adanya. Jika insentif terus merosot, Indonesia harus membuang jauh-jauh target swasembada gula.
Ke depan, perlu dua langkah simultan agar sengkarut tidak berulang. Pertama, harus tersedia satu data gula buat acuan kebijakan. Baik data produksi maupun konsumsi, baik gula konsumsi maupun rafinasi. Selama ini tersedia sejumlah versi data, sesui vested interest kementerian/lembaga. Selain karena konflik kepentingan, perbedaan data terjadi sejak Dewan Gula Indonesia (DGI), lembaga clearing house yang mensinkronkan kebijakan pergulaan K/L, dibubarkan Presiden Jokowi pada 2014 karena alasan mubazir. Perlu ditimbang ihwal perlunya lembaga clearing house yang independen seperti DGI.
Kedua, mengintensifkan pengawasan dan menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Diakui atau tidak, centang perenang selama ini terjadi karena pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang lembek. Pedagang dan pelaku dominan di pasar tidak pernah jera menerobos rambu-rambu hukum karena tahu bakal lolos sanksi atau disanksi ringan. Bila ada pihak –pedagang atau siapapun—berperilaku culas, konstitusi memberi mandat agar negara (baca: pemerintah) menyeret mereka ke meja hijau.
Dalam UU Perdagangan No. 7/2014, penimbun kebutuhan pokok bisa dipenjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar, dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan. Di UU Pangan No. 18/2012, sanksinya lebih berat: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar. Sanksi yang berat ini agar memberi efek jera.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Giling tebu di Jawa sudah berjalan setengah musim. Sejak akhir April lalu, petani mulai menebang tebu dan menggiling di pabrik gula. Inilah musim menuai hasil jerih payah berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak. Sayangnya, bukan suka cita yang datang, petani tebu justru cemas. Seperti tahun-tahun sebelumnya, petani dihantui harga gula yang anjlok. Nestapa ini selalu berulang bagai suratan takdir yang tak bisa diubah. Posisinya yang lemah membuat petani sebagai penerima harga (price taker).
Kekhawatiran petani sejak mengawali tahun 2023 bahwa harga gula bakal anjlok kini terbukti. Harga sempat membaik saat Mei-Juni 2023. Memasuki Juli 2023, lelang gulang seringkali dibatalkan karena penawaran harga yang rendah. Harga penawaran tak hanya sekitar Rp12 ribu/kg, kecenderungan penawaran harga di lelang malah di bawah Rp12 ribu/kg. Harga lelang itu masih jauh dari biaya pokok produksi, yang menurut versi APTRI mencapai Rp13.649/kg. Harga gula masih berpotensi terus tertekan karena musim giling kemungkinan berlangsung hingga Oktober 2023. Petani dihadapkan pada situasi dilematis: jika gula dilepas mereka tekor, jika tak dilepas aneka kebutuhan tak terpenuhi.
Ini terjadi karena pasar dan pipa jalur distribusi diperkirakan sudah terisi penuh gula. Menurut kalkulasi APTRI, sejak awal tahun pasar sudah banjir gula. Ini ditandai stok awal tahun 2023 yang mencapai 2,3 juta ton gula konsumsi. Jumlah itu sudah memperhitungkan gula industri, yakni gula rafinasi, yang bocor ke pasar gula konsumsi sekitar 300 ribu ton serta stok awal tahun, produksi gula dalam negeri, dan realisasi impor sepanjang 2022. Jika stok awal 2023 sebanyak 2,3 juta ton ditambah produksi domestik tahun ini 2,5 juta ton, mestinya tidak perlu impor. Karena kebutuhan domestik hanya 2,8 juta ton. Kalaupun pakai versi kebutuhan pemerintah 3,4 juta ton, impor tetap tak perlu.
Pemerintah punya kalkulasi berbeda. Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), stok gula konsumsi awal tahun 2023 hanya 1,11 juta ton. Karena kebutuhan tahunan mencapai 3,39 juta ton dan produksi domestik tahun ini diperkirakan 2,74 juta ton, makanya pemerintah mematok kuota impor gula mentah (raw sugar) 1,04 juta ton atau setara 991 ribu ton gula konsumsi. Kuota impor gula mentah ini lebih rendah dari kuota 2022 yang mencapai 1,37 juta ton atau setara dengan 1,309 juta ton gula konsumsi. Merujuk data Bapanas, realisasi impor Januari-Mei 2023 mencapai 293.400 ton.
Data yang berbeda ini jadi salah satu sumber perdebatan. Sebab, data ini jadi basis otoritas berwenang untuk membuat kebijakan. Ketika datanya salah, kebijakan potensial salah. Demikian pula sebaliknya. Upaya membuat satu data gula untuk jadi rujukan bersama difasilitasi Neraca Komoditas. Sayangnya, perumusan neraca pasokan dalam Neraca Komoditas menihilkan peran produsen, dalam hal ini petani. Neraca Komoditas juga kedap dari akses publik. Tertutupnya peran publik ini jadi titik rawan moral hazard.
Mengacu pada kecenderungan harga lelang gula yang terus menurun, ini indikasi pasar jenuh gula. Padahal, pasar gula konsumsi kali ini kemungkinan mendapatkan limpahan permintaan dari industri kecil menengah. Mengapa? Selama ini IKM memakai gula rafinasi sebagai bahan baku produksi makanan-minuman. Alasannya, harga gula rafinasi lebih murah. Kini, seiring kenaikan harga raw sugar di pasar dunia, harga gula rafinasi menanjak. Bahkan setara dengan harga gula konsumsi. Di sisi lain, membeli gula rafinasi harus lewat koperasi. Jika kalkulasi ini benar, mestinya harga gula konsumsi terangkat. Buktinya, harga terus turun. Salah satu kemungkinan pasar telah jenuh gula.
Agar harga gula di tingkat petani tidak semakin terjun bebas, pemerintah lewat Bapanas harus segera turun tangan. Pada 21 Juli 2023, Bapanas mengeluarkan Peraturan Bapanas No. 17/2023. Di dalamnya antara lain mengatur harga acuan pembelian gula di produsen Rp12.5000/kg, dan harga acuan penjualan di konsumen Rp15.500/kg di Maluku, Papua, dan wilayah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan. Di luar wilayah itu harga acuan penjualan di konsumen sebesar Rp14.500/kg. Untuk menolong petani, Bapanas perlu segera menugaskan BUMN pangan, ID Food, untuk jadi pembeli siaga gula petani. Kala harga lelang jatuh di bawah Rp12.500/kg, ID Food harus membelinya.
Kebijakan ini jadi syarat agar petani mendapatkan jaminan pasar dan keuntungan. Dari tahun ke tahun ada kecenderungan yang konsisten yang menandai kian memudarnya insentif ekonomi yang membuat petani tak tertarik lagi menanam tebu. Pertama, terjadi transfer marjin keuntungan dari petani ke pelaku distribusi dan pedagang. Pada 2006, marjin distribusi dan pedagang hanya 10,13%. Artinya, marjin yang dinikmati petani hampir 90%. Pada 2017, marjin distribusi dan pedagang mencapai 37%. Artinya, marjin yang didapatkan petani hanya 63%. Terjadi penurunan yang luar biasa besar.
Kedua, petani mengalihkan usahatani dari tanaman tebu ke tanaman lain. Pada 2010, luas tanam tebu mencapai 454.111 hektare. Pada 2018, luas tanam menurun jadi 414.847 hektare. Tahun 2022, luas tanam naik jadi 488.982 hektare. Akan tetapi, tak ada jaminan luas tanam ini akan bertahan atau bertambah apabila insentif ekonomi tidak menarik. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, respons seperti ini wajar adanya. Jika insentif terus merosot, Indonesia harus membuang jauh-jauh target swasembada gula.
Ke depan, perlu dua langkah simultan agar sengkarut tidak berulang. Pertama, harus tersedia satu data gula buat acuan kebijakan. Baik data produksi maupun konsumsi, baik gula konsumsi maupun rafinasi. Selama ini tersedia sejumlah versi data, sesui vested interest kementerian/lembaga. Selain karena konflik kepentingan, perbedaan data terjadi sejak Dewan Gula Indonesia (DGI), lembaga clearing house yang mensinkronkan kebijakan pergulaan K/L, dibubarkan Presiden Jokowi pada 2014 karena alasan mubazir. Perlu ditimbang ihwal perlunya lembaga clearing house yang independen seperti DGI.
Kedua, mengintensifkan pengawasan dan menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Diakui atau tidak, centang perenang selama ini terjadi karena pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang lembek. Pedagang dan pelaku dominan di pasar tidak pernah jera menerobos rambu-rambu hukum karena tahu bakal lolos sanksi atau disanksi ringan. Bila ada pihak –pedagang atau siapapun—berperilaku culas, konstitusi memberi mandat agar negara (baca: pemerintah) menyeret mereka ke meja hijau.
Dalam UU Perdagangan No. 7/2014, penimbun kebutuhan pokok bisa dipenjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar, dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan. Di UU Pangan No. 18/2012, sanksinya lebih berat: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar. Sanksi yang berat ini agar memberi efek jera.
(wur)