Nestapa Petani Tebu yang (Selalu) Berulang

Selasa, 08 Agustus 2023 - 12:47 WIB
Khudori - Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP). Foto/Dok Pribadi
Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Giling tebu di Jawa sudah berjalan setengah musim. Sejak akhir April lalu, petani mulai menebang tebu dan menggiling di pabrik gula. Inilah musim menuai hasil jerih payah berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak. Sayangnya, bukan suka cita yang datang, petani tebu justru cemas. Seperti tahun-tahun sebelumnya, petani dihantui harga gula yang anjlok. Nestapa ini selalu berulang bagai suratan takdir yang tak bisa diubah. Posisinya yang lemah membuat petani sebagai penerima harga (price taker).



Kekhawatiran petani sejak mengawali tahun 2023 bahwa harga gula bakal anjlok kini terbukti. Harga sempat membaik saat Mei-Juni 2023. Memasuki Juli 2023, lelang gulang seringkali dibatalkan karena penawaran harga yang rendah. Harga penawaran tak hanya sekitar Rp12 ribu/kg, kecenderungan penawaran harga di lelang malah di bawah Rp12 ribu/kg. Harga lelang itu masih jauh dari biaya pokok produksi, yang menurut versi APTRI mencapai Rp13.649/kg. Harga gula masih berpotensi terus tertekan karena musim giling kemungkinan berlangsung hingga Oktober 2023. Petani dihadapkan pada situasi dilematis: jika gula dilepas mereka tekor, jika tak dilepas aneka kebutuhan tak terpenuhi.

Ini terjadi karena pasar dan pipa jalur distribusi diperkirakan sudah terisi penuh gula. Menurut kalkulasi APTRI, sejak awal tahun pasar sudah banjir gula. Ini ditandai stok awal tahun 2023 yang mencapai 2,3 juta ton gula konsumsi. Jumlah itu sudah memperhitungkan gula industri, yakni gula rafinasi, yang bocor ke pasar gula konsumsi sekitar 300 ribu ton serta stok awal tahun, produksi gula dalam negeri, dan realisasi impor sepanjang 2022. Jika stok awal 2023 sebanyak 2,3 juta ton ditambah produksi domestik tahun ini 2,5 juta ton, mestinya tidak perlu impor. Karena kebutuhan domestik hanya 2,8 juta ton. Kalaupun pakai versi kebutuhan pemerintah 3,4 juta ton, impor tetap tak perlu.

Pemerintah punya kalkulasi berbeda. Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), stok gula konsumsi awal tahun 2023 hanya 1,11 juta ton. Karena kebutuhan tahunan mencapai 3,39 juta ton dan produksi domestik tahun ini diperkirakan 2,74 juta ton, makanya pemerintah mematok kuota impor gula mentah (raw sugar) 1,04 juta ton atau setara 991 ribu ton gula konsumsi. Kuota impor gula mentah ini lebih rendah dari kuota 2022 yang mencapai 1,37 juta ton atau setara dengan 1,309 juta ton gula konsumsi. Merujuk data Bapanas, realisasi impor Januari-Mei 2023 mencapai 293.400 ton.

Data yang berbeda ini jadi salah satu sumber perdebatan. Sebab, data ini jadi basis otoritas berwenang untuk membuat kebijakan. Ketika datanya salah, kebijakan potensial salah. Demikian pula sebaliknya. Upaya membuat satu data gula untuk jadi rujukan bersama difasilitasi Neraca Komoditas. Sayangnya, perumusan neraca pasokan dalam Neraca Komoditas menihilkan peran produsen, dalam hal ini petani. Neraca Komoditas juga kedap dari akses publik. Tertutupnya peran publik ini jadi titik rawan moral hazard.

Mengacu pada kecenderungan harga lelang gula yang terus menurun, ini indikasi pasar jenuh gula. Padahal, pasar gula konsumsi kali ini kemungkinan mendapatkan limpahan permintaan dari industri kecil menengah. Mengapa? Selama ini IKM memakai gula rafinasi sebagai bahan baku produksi makanan-minuman. Alasannya, harga gula rafinasi lebih murah. Kini, seiring kenaikan harga raw sugar di pasar dunia, harga gula rafinasi menanjak. Bahkan setara dengan harga gula konsumsi. Di sisi lain, membeli gula rafinasi harus lewat koperasi. Jika kalkulasi ini benar, mestinya harga gula konsumsi terangkat. Buktinya, harga terus turun. Salah satu kemungkinan pasar telah jenuh gula.

Agar harga gula di tingkat petani tidak semakin terjun bebas, pemerintah lewat Bapanas harus segera turun tangan. Pada 21 Juli 2023, Bapanas mengeluarkan Peraturan Bapanas No. 17/2023. Di dalamnya antara lain mengatur harga acuan pembelian gula di produsen Rp12.5000/kg, dan harga acuan penjualan di konsumen Rp15.500/kg di Maluku, Papua, dan wilayah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan. Di luar wilayah itu harga acuan penjualan di konsumen sebesar Rp14.500/kg. Untuk menolong petani, Bapanas perlu segera menugaskan BUMN pangan, ID Food, untuk jadi pembeli siaga gula petani. Kala harga lelang jatuh di bawah Rp12.500/kg, ID Food harus membelinya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More