Aspek Hukum Polemik Kasus Basarnas
Sabtu, 29 Juli 2023 - 15:17 WIB
Keluarbiasaan lain dari KPK, menurut UU KPK, antara lain melakukan penyadapan (interception) tanpa izin ketua pengadilan dan bebas dari campur tangan kekuasaan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Berdasarkan uraian aspek hukum di atas maka polemik OTT KPK dalam perkara Basarnas terkait 4 UU, yaitu UU Tipikor, UU TNI, UU Peradilan Militer, dan UU KKN. Keempatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Subjek hukum KPK tidak terbatas pada pegawai negeri dalam kedudukan eselon terendah melainkan juga pejabat tinggi setingkat menteri. Bahkan seorang presiden tidak ada perbedaan perlakuan hukum (equality before the law) kecuali peraturan protokoler yang merupakan etika lembaga kenegaraan saja.
Dari aspek pemberlakuan suatu UU dikenal asas lex posteriori derogate lege priori, undang-undang terdahulu (UU Tahun 1997) dikesampingkan UU yang berlaku kemudian (UU 2004).
Bertolak dari asas hukum universal dalam sistem perundangan-undangan Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa jika pemberlakuan UU Peradilan Militer bertentangan dengan UU TNI, maka UU Peradilan Militer tidak berlaku.
Begitu juga merujuk ketentuan Pasal 65 UU Tahun 1997, UU Peradilan Militer tidak berlaku absolut bagi seorang anggota militer yang melakukan kejahatan, terutama tindak pidana korupsi. Hanya berlaku absolut terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana (KUHP Militer). Kewenangan peradilan militer berdasarkan UU Peradilan Militer (1997) tidak bersifat rigid (kaku) dan masih terdapat pilihan (opsi) kewenangannya dalam hal memeriksa anggota miiter yang melakukan tindak pidana umum, sehingga dapat diadili di peradilan umum.
UU Peradilan Militer (1997) sejatinya hanya berlaku untuk anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Hal ini diperkuat secara tegas dalam UU TNI (2004) bahwa pertama, prajurit siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit. Kedua, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Ketiga, apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat dua tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
Pertanyaan muncul dari ketentuan tersebut bagaimana hal jika anggota militer melakukan tindak pidana korupsi? Tidak secara eksplsit bahwa UU Peradilan Militer berlaku juga bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi (delik khusus), melainkan hanya untuk tindak pidana militer dan tindak pidana umum (delik umum).
Berdasarkan uraian di atas semakin memastikan bahwa polemik OTT KPK atas Basarnas khusus terhadap anggota militer dan anggota militer lain yang turut terlibat (Kepala Basarnas) tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak tidak mengedepankan ego sectoral masing-masing.
Berdasarkan uraian aspek hukum di atas maka polemik OTT KPK dalam perkara Basarnas terkait 4 UU, yaitu UU Tipikor, UU TNI, UU Peradilan Militer, dan UU KKN. Keempatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Subjek hukum KPK tidak terbatas pada pegawai negeri dalam kedudukan eselon terendah melainkan juga pejabat tinggi setingkat menteri. Bahkan seorang presiden tidak ada perbedaan perlakuan hukum (equality before the law) kecuali peraturan protokoler yang merupakan etika lembaga kenegaraan saja.
Dari aspek pemberlakuan suatu UU dikenal asas lex posteriori derogate lege priori, undang-undang terdahulu (UU Tahun 1997) dikesampingkan UU yang berlaku kemudian (UU 2004).
Bertolak dari asas hukum universal dalam sistem perundangan-undangan Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa jika pemberlakuan UU Peradilan Militer bertentangan dengan UU TNI, maka UU Peradilan Militer tidak berlaku.
Begitu juga merujuk ketentuan Pasal 65 UU Tahun 1997, UU Peradilan Militer tidak berlaku absolut bagi seorang anggota militer yang melakukan kejahatan, terutama tindak pidana korupsi. Hanya berlaku absolut terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana (KUHP Militer). Kewenangan peradilan militer berdasarkan UU Peradilan Militer (1997) tidak bersifat rigid (kaku) dan masih terdapat pilihan (opsi) kewenangannya dalam hal memeriksa anggota miiter yang melakukan tindak pidana umum, sehingga dapat diadili di peradilan umum.
UU Peradilan Militer (1997) sejatinya hanya berlaku untuk anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Hal ini diperkuat secara tegas dalam UU TNI (2004) bahwa pertama, prajurit siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit. Kedua, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Ketiga, apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat dua tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
Pertanyaan muncul dari ketentuan tersebut bagaimana hal jika anggota militer melakukan tindak pidana korupsi? Tidak secara eksplsit bahwa UU Peradilan Militer berlaku juga bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi (delik khusus), melainkan hanya untuk tindak pidana militer dan tindak pidana umum (delik umum).
Berdasarkan uraian di atas semakin memastikan bahwa polemik OTT KPK atas Basarnas khusus terhadap anggota militer dan anggota militer lain yang turut terlibat (Kepala Basarnas) tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak tidak mengedepankan ego sectoral masing-masing.
tulis komentar anda