Aspek Hukum Polemik Kasus Basarnas

Sabtu, 29 Juli 2023 - 15:17 WIB
loading...
Aspek Hukum Polemik Kasus Basarnas
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto: SINDOnews/Dok
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

POLEMIK kasus Basarnas merebak setelah operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pengadaan barang/jasa Basarnas yang melibatkan dua orang pelaku usaha dan anggota militer.

Hal ini dberitakan luas di medsos setelah terjadi protes dari Mabes TNI terhadap proses penetapan tersangka anggota militer dan ditindaklanjuti bersama KPK dan petinggi militer yang diakhiri dengan ucapan permintaan maaf KPK kepada Mabes TNI atas kesalahan/kekeliruan/kelupaan penyelidik/penyidik KPK atas penetapan status tersangka anggota militer dan penahanan terhadapnya.

Intinya, protes petinggi militer adalah masalah kewenangan pemeriksaan anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi/suap oleh penyelidik/penyidik KPK yang dipandang melanggar ketentuan mengenai koneksitas yang telah diatur dalam Pasal 89 hingga Pasal 94 KUHAP, dan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Akan tetapi dalam kasus ini tidak dapat diabaikan berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor), serta UU Nomor 28 Tahun 1999 (KKN).

Dari aspek historis dan maksud dan tujuan pembentukan UU TIpikor (teleleogi), UU Tipikor bertujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas KKN. Hal in diperkuat dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 dan UU Nomor 31 Tahun 1999, status anggota militer dan status sipil dalam kedudukan yang setara tidak dapat dibedakan lagi jika melakukan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi secara sosiologis merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes) yang merugikan negara dan melanggar hak asasi masyarakat untuk memperoleh keadilan, sehingga pemberantasannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Antara lain dengan pembentukan KPK melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 yang diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.

Keluarbiasaan lain dari KPK, menurut UU KPK, antara lain melakukan penyadapan (interception) tanpa izin ketua pengadilan dan bebas dari campur tangan kekuasaan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Berdasarkan uraian aspek hukum di atas maka polemik OTT KPK dalam perkara Basarnas terkait 4 UU, yaitu UU Tipikor, UU TNI, UU Peradilan Militer, dan UU KKN. Keempatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Subjek hukum KPK tidak terbatas pada pegawai negeri dalam kedudukan eselon terendah melainkan juga pejabat tinggi setingkat menteri. Bahkan seorang presiden tidak ada perbedaan perlakuan hukum (equality before the law) kecuali peraturan protokoler yang merupakan etika lembaga kenegaraan saja.

Dari aspek pemberlakuan suatu UU dikenal asas lex posteriori derogate lege priori, undang-undang terdahulu (UU Tahun 1997) dikesampingkan UU yang berlaku kemudian (UU 2004).

Bertolak dari asas hukum universal dalam sistem perundangan-undangan Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa jika pemberlakuan UU Peradilan Militer bertentangan dengan UU TNI, maka UU Peradilan Militer tidak berlaku.

Begitu juga merujuk ketentuan Pasal 65 UU Tahun 1997, UU Peradilan Militer tidak berlaku absolut bagi seorang anggota militer yang melakukan kejahatan, terutama tindak pidana korupsi. Hanya berlaku absolut terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana (KUHP Militer). Kewenangan peradilan militer berdasarkan UU Peradilan Militer (1997) tidak bersifat rigid (kaku) dan masih terdapat pilihan (opsi) kewenangannya dalam hal memeriksa anggota miiter yang melakukan tindak pidana umum, sehingga dapat diadili di peradilan umum.

UU Peradilan Militer (1997) sejatinya hanya berlaku untuk anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Hal ini diperkuat secara tegas dalam UU TNI (2004) bahwa pertama, prajurit siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit. Kedua, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

Ketiga, apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat dua tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.

Pertanyaan muncul dari ketentuan tersebut bagaimana hal jika anggota militer melakukan tindak pidana korupsi? Tidak secara eksplsit bahwa UU Peradilan Militer berlaku juga bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi (delik khusus), melainkan hanya untuk tindak pidana militer dan tindak pidana umum (delik umum).

Berdasarkan uraian di atas semakin memastikan bahwa polemik OTT KPK atas Basarnas khusus terhadap anggota militer dan anggota militer lain yang turut terlibat (Kepala Basarnas) tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak tidak mengedepankan ego sectoral masing-masing.

Akan tetapi melihat kasus tipikor sebagai masalah bersama antarlembaga negara untuk kepentingan Indonesia, baik di dalam negeri maupun imejnya terhadap pandangan masyarakat internasional.

Ke depan perlu dipertimbangkan serius koordinasi dan sinkronisasi antara Mabes TNI dan KPK dalam bentuk sebuah Perpres yang lebih lengkap dan rinci hukum acara peradilan militer disertai perubahan hukumm acara UU Tipikor mengatur khusus anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi dan yang melakukan secara bersama-sama dengan anggota masyarakat.

Namun yang harus dijaga adalah tidak lagi ada kesan masyarkat terdapat diskriminasi perlakuan hukum antara pelaku tipikor anggota militer dan anggota masyarakat sipil lain, sehingga antara kedua pihak memiliki kedudukan hukum yang lebih ajeg, jelas, dan tidak multitafsir.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1602 seconds (0.1#10.140)