Politik Dinasti Jangan Sampai Reduksi Kualitas Calon

Selasa, 28 Juli 2020 - 17:45 WIB
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Isu praktik politik dinasti belakangan ini menjadi perbincangan hangat, seiring majunya putra dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, serta putri Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah Ma'ruf pada Pilkada Serentak 2020.

Gibran akan maju sebagai calon wali kota Solo, sementara Bobby maju di Pilkada Kota Medan, Siti Nur Azizah Ma'ruf maju sebagai calon wali kota Tangerang Selatan.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, sebenarnya politik dinasti bukan fenomena baru. "Dari dulu sejak pilkada langsung dimulai 2005 hingga sekarang 2020, kira-kira sudah empat putaran pilkada langsung ini, fenomena politik dinasti terjadi," kata Saan dalam Diskusi Forum Legislasi bertema Kekhawatiran Menguatnya Dinasti Politik di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/7/2020).

Saan mengatakan, fenomena dinasti politik juga bukan hanya umum terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain yang demokrasinya sudah jauh lebih maju dibandingkan Indonesia.



"Jauh lebih dulu seperti kayak di Amerika, misalnya, bagaimana dulu Bill Clinton presiden, kemudian istrinya ikut konvensi calon presiden juga. George Walker Bush juga sama, baik di eksekutif maupun di parlemen," tuturnya.

Menurut Saan, hal yang penting adalah bagaimana membentengi agar praktik politik dinasti ini tidak mereduksi kualitas personal calon itu sendiri.( )

Saat menyebutkan alasan kenapa fenomena dinasti terjadi. Pertama, terkait dengan sistem kepartaian karena sumber utama lahirnya para kepala daerah dan sumber utama rekrutmen ada di partai politik.

Menurut, partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik itu, baik di eksekutif maupun legislatif ini juga berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya dinasti politik menguat atau tidak.

"Maka ke depan proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai-partai itu menjadi bagian penting yang harus kita pikirkan dan kita sadari secara bersama-sama. Kalau memang hal tersebut oleh partai tidak bisa dihindari bahwa itu akan terjadi, tapi minimal tidak mengabaikan apa yang namanya kompetensi dari seseorang," katanya.

Saan menyebutkan seorang calon harus diketahui rekam jejaknya sehingga calon yang diusung tidak ujug-ujug menjadi calon pemimpin. Padahal calon tersebut tidak memiliki catatan politik atau jabatan-jabatan publik lainnya.

Selain rekrutmen, kedua adalah Undang-Undang Pilkada. Menurut Saan, banyak pengalaman dari 2005 sampai sekarang, proses untuk mendapatkan dukungan maju sebagai calon kepala daerah dengan 20% persyaratan untuk gubernur, bupati, dan walikota. Dengan kondisi multipartai ini, apalagi di tingkat dua, tidak ada yang namanya ambang batas parlemen 0%.

"Maka distribusi hasil pemilu itu distribusi suara dalam bentuk kursi, distribusinya ke banyak partai. Bisa jadi ada satu, dua partai yang dapat kursi cuma satu, itu misalnya. Ketika misalnya distribusi perolehan kursi di DPRD, baik provinsi maupun kabupaten, kota, ini terkadang menyulitkan bagi calon kepala daerah untuk mendapatkan proses dukungan karena terlalu banyak," tuturnya.
(nbs)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More