Erdogan, Hagia Sophia, dan Neo-Ottomanisme
Selasa, 28 Juli 2020 - 06:52 WIB
Pada 24 Juni 2018, Turki menggelar pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) secara serentak. Tercatat sebanyak 59,39 juta pemilih yang terdaftar (termasuk 3,047 juta pemilih di luar negeri). Pilpres Turki 2018 diikuti oleh enam capres, yaitu Recep Tayyip Erdogan (calon petahana), Muharrem Ince, Selahattin Demirtas, Meral Aksener, Temel Karamollaoglu, dan Dogu Perincek. Di Pilpres 2018 ini, Erdogan terpilih kembali sebagai Presiden Turki. Kemenangan ini semakin memperkuat posisi dirinya sebagai kepala negara dan pemerintahan sekaligus memperkuat pula posisi partainya (Partai Keadilan dan Pembangunan/PKP) sebagai the ruling party.
Mengapa Erdogan dan partainya yang berhaluan Islam mendapat dukungan luas dari rakyat? Paling tidak ada tiga faktor. Pertama, pemerintahan Erdogan yang didukung kuat oleh PKP berhasil menyejahterakan kehidupan rakyat dengan program perbaikan ekonomi secara signifikan. Kedua, di bawah pemerintahan Erdogan, nilai mata uang Turki stabil dan harga-harga barang terkendali. Ketiga, di bawah pemerintahan Erdogan, banyak investasi dari luar masuk dan ini sudah tentu menciptakan lapangan kerja lebih luas bagi rakyat. Pemerintahan Erdogan yang didukung kuat oleh partainya, PKP, dan mitra koalisinya memberikan banyak kemaslahatan kepada rakyat.
Terkait Hagia Sophia, kelompok-kelompok muslim yang taat menghendaki agar bangunan itu dikembalikan menjadi masjid. Mereka memprotes Undang-Undang 1931 yang isinya melarang praktik keagamaan di situs tersebut. Merespons aspirasi kelompok-kelompok muslim ini, Presiden Erdogan memberikan perhatian khusus terhadap aspirasi mereka. Dalam pidato kampanye menjelang pemilihan lokal tahun lalu, dia mengatakan "kesalahan sangat besar" mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Sebagai tindak lanjutnya, pada 10 Juli 2020, Presiden Erdogan mengeluarkan keputusan presiden yang isinya memfungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid.
Pengumuman Erdogan ini disampaikan setelah Majelis Negara Turki membatalkan keputusan kabinet tahun 1931 dan kembali memfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid. Salat Jumat pertama di Hagia Sophia dilaksanakan pada 24 Juli 2020. Keputusan Presiden Erdogan memfungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid menuai kekecewaan dan bahkan protes dari berbagai negara di Eropa. Tapi, Erdogan mengatakan bahwa kebijakannya merupakan persoalan internal Turki.
Mengapa Erdogan dan partainya yang berhaluan Islam mendapat dukungan luas dari rakyat? Paling tidak ada tiga faktor. Pertama, pemerintahan Erdogan yang didukung kuat oleh PKP berhasil menyejahterakan kehidupan rakyat dengan program perbaikan ekonomi secara signifikan. Kedua, di bawah pemerintahan Erdogan, nilai mata uang Turki stabil dan harga-harga barang terkendali. Ketiga, di bawah pemerintahan Erdogan, banyak investasi dari luar masuk dan ini sudah tentu menciptakan lapangan kerja lebih luas bagi rakyat. Pemerintahan Erdogan yang didukung kuat oleh partainya, PKP, dan mitra koalisinya memberikan banyak kemaslahatan kepada rakyat.
Terkait Hagia Sophia, kelompok-kelompok muslim yang taat menghendaki agar bangunan itu dikembalikan menjadi masjid. Mereka memprotes Undang-Undang 1931 yang isinya melarang praktik keagamaan di situs tersebut. Merespons aspirasi kelompok-kelompok muslim ini, Presiden Erdogan memberikan perhatian khusus terhadap aspirasi mereka. Dalam pidato kampanye menjelang pemilihan lokal tahun lalu, dia mengatakan "kesalahan sangat besar" mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Sebagai tindak lanjutnya, pada 10 Juli 2020, Presiden Erdogan mengeluarkan keputusan presiden yang isinya memfungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid.
Pengumuman Erdogan ini disampaikan setelah Majelis Negara Turki membatalkan keputusan kabinet tahun 1931 dan kembali memfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid. Salat Jumat pertama di Hagia Sophia dilaksanakan pada 24 Juli 2020. Keputusan Presiden Erdogan memfungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid menuai kekecewaan dan bahkan protes dari berbagai negara di Eropa. Tapi, Erdogan mengatakan bahwa kebijakannya merupakan persoalan internal Turki.
(ras)
tulis komentar anda