Erdogan, Hagia Sophia, dan Neo-Ottomanisme

Selasa, 28 Juli 2020 - 06:52 WIB
loading...
Erdogan, Hagia Sophia,...
Faisal Ismail
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

SUNGGUH sangat fenomenal! Kesultanan Turki Usmani (Ottoman) mampu bertahan selama 642 tahun (1281-923). Selama 642 tahun itu, Islam di Kesultanan Turki menjadi ikon, simbol, identitas, dan konstitusi negara. Salah seorang sultan Turki yang sangat terkenal adalah Sultan Mehmed II (dikenal juga sebagai Sultan Muhammad Al Fatih) yang merupakan sultan ketujuh dan memerintah dari 1444-1446 dan 1451-1481. Sultan Muhammad Al Fatih adalah putra Sultan Murad II dan dinobatkan menjadi sultan ketika berusia 12 tahun. Gelar Al Fatih (Sang Penakluk ) diberikan kepadanya karena pada usia 21 tahun, ia berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 1453 sekaligus mengakhiri Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) yang telah berkuasa selama 11 abad.

Pascapenaklukan Konstantinopel (Ibu Kota Kekaisaran Bizantium) yang sangat bersejarah itu, Sultan Muhammad Al Fatih memfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid di Distrik Fatih di Kota Istanbul. Pada masa kekuasaan Bizantium, Hagia Sophia merupakan katedral besar di Konstantinopel yang mulai dibangun pada 532 (dan selesai pada 537) atas perintah Kaisar Justinian I. Kekaisaran Bizantium menggelar upacara kenegaraan, seperti penobatan, di bangunan tersebut. Selama hampir 900 tahun Hagia Sophia menjadi rumah bagi Gereja Ortodoks Timur. Dalam kurun waktu yang singkat di abad ke-13, tempat ini sempat dilarang dan diubah menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kontrol pasukan invasi dari Eropa selama Perang Salib IV.

Hagia Sophia: Riwayatmu Dulu dan Kini
Sebagaimana telah disinggung sedikit di atas, pascapenaklukan Konstantinopel, Sultan Muhammad Al Fatih mengalihfungsikan Hagia Sophia dari katedral menjadi masjid. Sultan Muhammad Al Fatih hadir dan ikut melaksanakan salat Jumat pertama di bangunan itu. Para arsitek Turki Usmani menutupi simbol-simbol Kristen Ortodoks yang menghiasi bagian dalam bangunan tersebut dan sebagai gantinya ditambahkan menara tinggi pada strukturnya. Sampai penyelesaian pembangunan Masjid Biru di Istanbul pada 1616, Hagia Sophia merupakan masjid utama di kota tersebut. Bentuk arsitektur dan pernik-pernik ornamennya mengilhami pembangunan Masjid Biru dan beberapa masjid lainnya di sekitar kota dan di berbagai kota di Dunia Muslim.

Pasca-Perang Dunia I pada 1918, negara-negara Sekutu sebagai pihak pemenang perang memecah wilayah-wilayah Kesultanan Turki Usmani sebagai pihak yang kalah dalam peperangan. Dalam perkembangan selanjutnya, di Turki muncul kekuatan kaum nasionalis pimpinan Mustafa Kemal Ataturk (1880-1938). Tokoh ini berlatar belakang militer dan berhasil menghimpun kekuatan dan kemudian mengambil alih kekuasaan. Di bawah pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk, Turki mengalami perubahan tatanan politik dan ketatanegaraan secara fundamental. Kemal Ataturk mentransformasi Turki dari kesultanan yang berbasis Islam menjadi republik yang berbasis sekularisme dan Ataturk menjadi presiden pertamanya (1923-1938). Ataturk melakukan gebrakan politik sangat drastis, radikal, dan ambisius. Pada 1924, Majelis Nasional Turki menghapus kekhalifahan. Jabatan Syaikhul Islam dan Menteri Waqaf ditiadakan dan undang-undang pendidikan disekulerkan.

Ataturk terus melakukan gebrakan politik. Pengadilan Islam dihapus pada 1926 dan diganti dengan sistem hukum Swiss. Lafaz azan dalam bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki. Dinilai kolot, semua organisasi tarekat dibubarkan. Dipandang sebagai atribut keislaman, hijab dilarang di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas. Ataturk melarang pemakaian tarbush (topi tradisional Turki) karena dianggap kuno dan usang. Gebrakan lain yang dilakukan Kemal Ataturk adalah mengubah Hagia Sophia dari masjid menjadi museum. Sejak dibuka kembali pada 1935 untuk umum, tempat ini menjadi salah satu tempat wisata paling banyak dikunjungi di Turki. Hagia Sophia yang bangunannya sudah berusia sekira 1.500 tahun memiliki makna keagamaan, spiritual, dan politik yang signifikan bagi kelompok-kelompok di dalam dan di luar Turki. Selain mengubah Hagia Sophia menjadi museum, Ataturk juga mengubah nama Kota Islambol menjadi Istanbul.

Erdogan dan Hagia Sophia
Pada 24 Juni 2018, Turki menggelar pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) secara serentak. Tercatat sebanyak 59,39 juta pemilih yang terdaftar (termasuk 3,047 juta pemilih di luar negeri). Pilpres Turki 2018 diikuti oleh enam capres, yaitu Recep Tayyip Erdogan (calon petahana), Muharrem Ince, Selahattin Demirtas, Meral Aksener, Temel Karamollaoglu, dan Dogu Perincek. Di Pilpres 2018 ini, Erdogan terpilih kembali sebagai Presiden Turki. Kemenangan ini semakin memperkuat posisi dirinya sebagai kepala negara dan pemerintahan sekaligus memperkuat pula posisi partainya (Partai Keadilan dan Pembangunan/PKP) sebagai the ruling party.

Mengapa Erdogan dan partainya yang berhaluan Islam mendapat dukungan luas dari rakyat? Paling tidak ada tiga faktor. Pertama, pemerintahan Erdogan yang didukung kuat oleh PKP berhasil menyejahterakan kehidupan rakyat dengan program perbaikan ekonomi secara signifikan. Kedua, di bawah pemerintahan Erdogan, nilai mata uang Turki stabil dan harga-harga barang terkendali. Ketiga, di bawah pemerintahan Erdogan, banyak investasi dari luar masuk dan ini sudah tentu menciptakan lapangan kerja lebih luas bagi rakyat. Pemerintahan Erdogan yang didukung kuat oleh partainya, PKP, dan mitra koalisinya memberikan banyak kemaslahatan kepada rakyat.

Terkait Hagia Sophia, kelompok-kelompok muslim yang taat menghendaki agar bangunan itu dikembalikan menjadi masjid. Mereka memprotes Undang-Undang 1931 yang isinya melarang praktik keagamaan di situs tersebut. Merespons aspirasi kelompok-kelompok muslim ini, Presiden Erdogan memberikan perhatian khusus terhadap aspirasi mereka. Dalam pidato kampanye menjelang pemilihan lokal tahun lalu, dia mengatakan "kesalahan sangat besar" mengubah Hagia Sophia menjadi museum. Sebagai tindak lanjutnya, pada 10 Juli 2020, Presiden Erdogan mengeluarkan keputusan presiden yang isinya memfungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid.

Pengumuman Erdogan ini disampaikan setelah Majelis Negara Turki membatalkan keputusan kabinet tahun 1931 dan kembali memfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid. Salat Jumat pertama di Hagia Sophia dilaksanakan pada 24 Juli 2020. Keputusan Presiden Erdogan memfungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid menuai kekecewaan dan bahkan protes dari berbagai negara di Eropa. Tapi, Erdogan mengatakan bahwa kebijakannya merupakan persoalan internal Turki.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0987 seconds (0.1#10.140)