Zonasi dan Tradisi Manipulasi
Rabu, 12 Juli 2023 - 05:46 WIB
Begitu berderetnya praktik haram PPDB dari jalur zonasi ini kian membuat sistem ini jauh dari makna inti. Padahal ditilik dari latar belakangnya yang dikuatkan dengan Permendikbud No 17/2017 dan disempurnakan lewat Permendikbud No 14/2018, zonasi memiliki tujuan mulia untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan.
Namun, akibat tidak dipikirkan secara matang, sistem baru ini tak henti menyisakan nada sumbang. Kecurangan, pemalsuan, ketimpangan, dan berbagai bentuk pelanggaran kasat mata terlihat. Uniknya sudah lima tahun berselang, hal itu seolah dibiarkan tanpa menyentuh persoalan inti.
Langkah Wali Kota Bima Arya yang terjun melalui Tim Verifikasi ke lapangan adalah bentuk keberanian sekaligus terobosan. Namun potret di Kota Bogor ini hanyalah secuil persoalan pendidikan Indonesia hari ini, tepatya di institusi yang seharusnya menjadi basis penggemblengan kejujuran, kedisiplinan dan kepatuhan.
Minggu (9/7/2023), Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta (ORI DIY) juga menangkap persoalan tak jauh beda. Anehnya, laporan dugaan kecurangan ini rutin setiap tahun terjadi sejak sistem zonasi ini diberlakukan. Uniknya, tahun ini ORI DIY menemukan kasus satu rumah yang memiliki dua KK. Dalam masing-masing satu KK terdapat 10 anak dengan status keluarga lain.
baca juga: KPK Kantongi Informasi Praktik Suap Penerimaan Siswa Masuk SMA Negeri
Praktis, dalam satu rumah itu ada 20 anak calon siswa yang sejatinya berbeda keluarga. Patgulipat ini sengaja dilakukan karena rumah dijadikan basis ‘KK raksasa’ sangat dekat dengan sebuah sekolah favorit incaran para siswa tersebut.
Di luar Kota Bogor dan Yogyakarta, ada ribuan kasus hampir serupa terjadi. Namun umumnya kasus-kasus itu didiamkan atau malah cenderung dimanfaafkan untuk ajang ‘bancakan’ pihak tertentu. Maraknya praktik manipulasi dan seolah perlahan menjadi tradisi ini memang memprihatinkan. Sistem zonasi faktanya belum benar-benar mencapai tujuan yang hakiki.
Memang pada satu sisi, ada banyak perubahan positif dari kebijakan ini. Seperti kualitas pendidikan kian merata, stigma sekolag favorit perlahan hilang, mendekatkan sekolah dengan keluarga, pembelajaran tentang keberagaman dan munculnya kepercayaan diri siswa. Namun, potret kecurangan seperti terungkap di atas seolah menjadi kerikil zonasi yang membuat kebijakan ini belum sepenuhnya kuat terpatri.
Melalui Pendidikan Berkeadilan, benar bahwa sistem zonasi berupaya memberikan jaminan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan secara adil. Konsekuensi dari sistem ini adalah menghilangkan tren favoritisme sekolah yang telah mengakar puluhan tahun.
baca juga: Ombudsman Jabar Buka Kanal Pengaduan Penerimaan Siswa Baru
Namun, akibat tidak dipikirkan secara matang, sistem baru ini tak henti menyisakan nada sumbang. Kecurangan, pemalsuan, ketimpangan, dan berbagai bentuk pelanggaran kasat mata terlihat. Uniknya sudah lima tahun berselang, hal itu seolah dibiarkan tanpa menyentuh persoalan inti.
Langkah Wali Kota Bima Arya yang terjun melalui Tim Verifikasi ke lapangan adalah bentuk keberanian sekaligus terobosan. Namun potret di Kota Bogor ini hanyalah secuil persoalan pendidikan Indonesia hari ini, tepatya di institusi yang seharusnya menjadi basis penggemblengan kejujuran, kedisiplinan dan kepatuhan.
Minggu (9/7/2023), Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta (ORI DIY) juga menangkap persoalan tak jauh beda. Anehnya, laporan dugaan kecurangan ini rutin setiap tahun terjadi sejak sistem zonasi ini diberlakukan. Uniknya, tahun ini ORI DIY menemukan kasus satu rumah yang memiliki dua KK. Dalam masing-masing satu KK terdapat 10 anak dengan status keluarga lain.
baca juga: KPK Kantongi Informasi Praktik Suap Penerimaan Siswa Masuk SMA Negeri
Praktis, dalam satu rumah itu ada 20 anak calon siswa yang sejatinya berbeda keluarga. Patgulipat ini sengaja dilakukan karena rumah dijadikan basis ‘KK raksasa’ sangat dekat dengan sebuah sekolah favorit incaran para siswa tersebut.
Di luar Kota Bogor dan Yogyakarta, ada ribuan kasus hampir serupa terjadi. Namun umumnya kasus-kasus itu didiamkan atau malah cenderung dimanfaafkan untuk ajang ‘bancakan’ pihak tertentu. Maraknya praktik manipulasi dan seolah perlahan menjadi tradisi ini memang memprihatinkan. Sistem zonasi faktanya belum benar-benar mencapai tujuan yang hakiki.
Memang pada satu sisi, ada banyak perubahan positif dari kebijakan ini. Seperti kualitas pendidikan kian merata, stigma sekolag favorit perlahan hilang, mendekatkan sekolah dengan keluarga, pembelajaran tentang keberagaman dan munculnya kepercayaan diri siswa. Namun, potret kecurangan seperti terungkap di atas seolah menjadi kerikil zonasi yang membuat kebijakan ini belum sepenuhnya kuat terpatri.
Melalui Pendidikan Berkeadilan, benar bahwa sistem zonasi berupaya memberikan jaminan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan secara adil. Konsekuensi dari sistem ini adalah menghilangkan tren favoritisme sekolah yang telah mengakar puluhan tahun.
baca juga: Ombudsman Jabar Buka Kanal Pengaduan Penerimaan Siswa Baru
Lihat Juga :
tulis komentar anda