Piala Dunia U-17 untuk Persatuan Indonesia

Senin, 03 Juli 2023 - 07:02 WIB
Efek positif sepak bola juga dirasakan masyarakat Irak yang pernah diguncang perang saudara yang melibatkan suku Syiah, Kurdi, dan Sunni. Kisah ini terjadi pada Piala Asia 2007 yang kebetulan digelar di Indonesia. Saat bertemu Arab Saudi pada partai final dan menjadi kampiun, Irak berhasil menang dengan skor tipis 1-0. Yang istimewa, gol kemenangan itu dicetak Younis Mahmoud yang berasal dari kelompok Suni berkat umpan matang Hawar Taher dari suku Kurdi.

Konon, Indonesia juga pernah merasakan dampak manis sepak bola. Momen terjadi saat pecah kerusuhan era reformasi pasca-tumbangnya Presiden Soeharto pada 1998. Kerusuhan dan ketegangan itu serta-merta mereda pada 10 Juni 1998 bertepatan dengan kick-off Piala Dunia 1998. Setelah itu, kerusuhan yang sempat menjalar ke beberapa kota di Indonesia hampir tidak terjadi lagi.

baca juga: 3 Alasan Piala Dunia U-17 Digelar di Indonesia

Sepak bola juga berperan menyatukan kembali masyarakat Maluku yang terpecah-belah akibat konflik SARA. Kisah nyata masyarakat Maluku menemukan persatuan dan perdamaian dari sepakbola bahkan diangkat dalam layar lebar berjudul Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Tokoh bernama Sani Tawainella yang dipercaya menjadi pelatih Tim Maluku di kompetisi PSSI U-15 menyatuk-padukan remaja dari Tulehu dan Passo hingga tampil sebagai juara dalam kompetisi PSSI U-15.

Racikan Sani bukan hanya mengembalikan persaudaraan masyarakat Maluku atau pela gandong, tapi sukses mengorbitkan sejumlah nama dalam kancah sepak bola profesional Tanah Air seperti Alvin Ismail Tuasalamony, Rizky Pellu, dan Hendra Adi Bayao.

Melihat peran dan dampak konstruktif sepak bola tersebut, pada 2013 pesepak bola Inggris kelahiran Pakistan, Kashif Siddiqi, dan legenda sepak bola dari Chile, Elias Figueroa, mendirikan organisasi bernama Football for Peace (FFP). Pendiriannya ditujukan untuk mengatasi perpecahan, budaya rasis, kekerasan, dan sikap negatif yang ada di seluruh dunia. Kampanye yang diawali di kawasan Amerika Selatan dengan semboyan ‘’Futbol Por la Paz (Sepak Bola untuk Perdamaian)” pada 2006 kemudian dibawa ke Eropa, Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Timur Jauh.

Demi Sukses Piala Dunia dan Timnas

Kegagalan Indonesia menggelar Piala Dunia U-20 2023 secara langsung atau tidak langsung mengindikasikan adanya intervensi politik sebagai imbas pertarungan menuju Pilpres 2024. Dengan berbalut sikap anti-Israel, pragmatisme politik telah mengubur mimpi Robi Darwis, Rabbani Tasnim dan kawan-kawan untuk bisa tampil di ajang bergengsi dunia tersebut dan memupus harapan penggemar sepak bola Tanah Air bisa menyaksikan Piala Dunia secara langsung.

baca juga: FIFA Tunjuk Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-17

Suka tidak suka, nama Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster melambung tinggi dan menjadi buah bibir karena dianggap sebagai biang kerok kegagalan tersebut. Betapa tidak, dua kepala daerah yang menjadi tuan rumah pelaksanaan Piala Dunia U-20 sebelumnya sudah berkomitmen mendukung, di injury time menolak karena masuknya Timnas U-20 Israel.

Keputusan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 mengindikasikan FIFA masih mempercayai Indonesia. Kepercayaan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin, bukan hanya untuk menyukseskan gelaran piala dunia saja tapi juga demi pembangunan sepak bola di masa depan. Harapan ini mustahil terwujud bila elite politik berlomba mengedepankan ego politik.

Karena itulah, demi nama baik bangsa di mata internasinonal, demi mimpi anak muda Indonesia, dan demi masa depan sepak bola negeri ini, sangat elok bila semua pihak bersatu-padu menyukseskan Piala Dunia U-17 2023 dengan meninggalkan semua kepentingan, terutama politik.

Persatuan bisa diwujudkan dalam berbagai konteks. Terkait dengan rencana menggunakan Jakarta International Stadium (JIS), misalnya. Hendaknya sikap saling menegasikan antara legasi Anies Baswedan atau bukan dihilangkan. Pembangunan stadion yang belum sempurna, butuh sentuhan dari pemerintahan Joko Widodo agar stadion bisa layak menjadi tempat pelaksanaan pertandingan. Katakan bahwa stadion milik rakyat dan dibangun bersama demi nama besar Jakarta dan Indonesia.

baca juga: Peru Mundur Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17 2023

Walapun Erick Thohir sebagai bos PSSI, capres atau cawapres lain yang berseberangan tidak perlu curiga atau berkecil hati tidak dapat memanfatkan momentum meraih suara kalangan penggemar sepak bola atau kelompok Zilenial. Dengan mendukung sukses Piala Dunia U-17 dan sukses punggawa timnas, mereka akan turut meraih persepsi positif ketimbang menjegalnya.

Toh semua capres dan capres bisa menontong langsung pertandingan di lapangan, seperti ditunjukkan dengan hadirnya Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono saat Timnas Indonesia menjamu Timnas Argentina dalam FIFA Matchday di Gelora Bung Karno (GBK) beberapa waktu lalu. Jika pola fikir positif bisa dilakukan, tidak mustahil pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2024 akan berlangsung damai dan lancar.

Selain menjadi momentum menyatukan elit politik dan mewujudkan perdamaian dalam pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2024, Piala Dunia U-17 sangat stragegis untuk menyatukan talenta yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, mulai dari Aceh, Maluku hingga Papua. Mereka pemain terbaik harus diberi kesempatan untuk mewakili merah putih dengan menjadi bagian Timnas U-17.

Kesempatan sama juga harus diberikan kepada talenta yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Pemerintah dan PSSI harus mencari potensi tersebut. Tujuannya bukan hanya untuk menambal kekurangan dan menggenjot kapasitas Timnas agar bisa bersaing dengan tim papan atas dunia, tapi mewujudkan persatuan Indonesia.

baca juga: Media Vietnam Soroti Target Indonesia U-16 Tembus Piala Dunia U-17

Mereka pemain sepak bola yang direkrut dari luar negeri tidak sebatas anak turun dari WNI yang menetap atau sudah menjadi warga negara lain. Lebih jauh di antara mereka sangat mungkin ada keturunan orang-orang yang pernah menjadi musuh negara, seperti anggota KNIL yang pro Belanda dan memilih tinggal di Belanda, yang merupakan negara sumber terbanyak talenta Indonesia di luar negeri.

Atau malahan di antara mereka ada keturunan aktivis PKI atau eksil yang terpaksa tinggal di negeri orang karena dampak pertarungan politik di peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Merekrut mereka bukan hanya menyatukan serpihan tulang-tulang anak bangsa yang berserakan di seluruh penjuru dunia, tapi juga membangunkan kembali kesadaran bahwa mereka memiliki ikatan darah dari leluhur di Nusantara yang kini diikat dalam negara bernama Indonesia.

Tak kalah pentingnya, momen persatuan dalam membangun timnas bisa menjadi bersatunya kembali talenta-talenta di berbagai bidang untuk bersama-sama berkontribusi membangun masa depan bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. One for all, all for one. (*)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More