Moralitas Hukum Pidana
Senin, 05 Juni 2023 - 19:41 WIB
Peralihan atau pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dari pemuka agama oleh politisi negara telah berlangsung lebih dari 50 abad lampau sehingga dalam ilmu hukum buatan manusia hanya mengandalkan apa yang menurut moral masyarakat adalah benar. Roscou Pound, ahli botani dan filsafat Amerika abad 19 menegaskan kekuatan norma buatan manusia sejatinya dipengaruhi moral, agama, dan lebih fokus pada kenyataan (realita) yang terjadi di sekelilingnya.
Pendapat Pound cocok dengan pandangan tradisional masyarakat Indonesia bahwa kekuatan hukum terletak pada nilai-nilai (values) moral masyarakatnya yang masih berpegang pada nilai agama, panutan, dan adat istiadat. Sejalan dengan pendapat tersebut Lord Patrick Devlin, ahli hukum Inggris dalam perdebatan masalah moralitas dan hukum ketika membahas apakah hukum dapat memaksakan kesusilaan atau apakah kesusilaan dapat mempengaruhi hukum menyatakan bahwa hanya UU yang memerintahkannya tanpa kecuali. Perubahan norma yang dipandang baik, adil bagi masyarakat berbeda di setiap masa ke masa sehingga perubahan norma yang terjadi selalu berada dan tumbuh di dalam masyarakatnya.
Pendapat Von Savigny di awal tulisan ini kita rasakan sejak perkembangan politik era Orde Baru sampai saat Reformasi dan setelahnya melalui perubahan peraturan perundang-undangan. Contoh pada masa tahun 1960-an tidak ada kebutuhan untuk membuat UU ITE dan UU TPPU. Akan tetapi sejak 2010 dan 2011, kedua UU tersebut justru diperlukan untuk mengatur lalu lintas informasi yang juga dapat merugikan kepentingan pribadi atau masyarakat luas.
Kejahatan pencucian uang (money laundering) tidak dikenal pada era 1960-an. Namun saat ini menjadi masalah besar ketika uang hasil kejahatan diinvestasikan ke dalam proyek usaha.
Bahkan pada 2022 dan saat ini, hak setiap orang untuk memperoleh harta kekayaan serta jaminan dan perlindungan dari negara dirasakan penting dan mendesak sejak teknologi informasi dapat memasuki ruang privasi setiap anggota masyarakat tanpa sepengetahuan pemiliknya. Lalu muncul UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Namun perubahan hukum yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat itu hanya sebatas pengaturan dan penghukuman semata-mata. Belum sampai pada pandangan bahwa di balik setiap norma perubahan terdapat suatu nilai-nilai yang menjiwai norma dimaksud.
Banyak manfaat hukum yang akan diperoleh dari pengetahuan akan nilai-nilai di balik norma hukum sehingga masyarakat dapat memahami maksud dan tujuan serta substansi norma hukum dengan benar dan tidak keliru. Contoh dalam hukum pidana, setiap perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi harus memenuhi syarat penting antara lain, perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian masyarakat baik secara materiil maupun imateriil.
Pandangan terakhir dipastikan memberikan penilaian tersendiri bagi manusia yang memerlukannya. Bahwa hukum bukan lagi norma regulasi dan menghukum, melainkan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang menuju kesejahteraan lahir dan batin. Bukan hanya untuk memenuhi syahwat penguasa atau pemiliki kekuasaan semata.
Jika pemahaman masyarakat tentang hukum sudah mencapai titik tersebut maka dipastikan setiap individu dalam masyarakat akan selalu menghargai dan memuliakan hak dan kewajiban orang lain di dalam interaksi sosial satu sama lain. Pemuliaan yang dimaksud itulah yang dalam kehidupan kekinian pada umumnya telah tidak dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat kita.
Konsekuensi logis dari pandangan yang merendahkan, menyelekan serta pandangan sebelah mata terhadap hukum merupakan embrio dari bencana sosial dan skandal moralitas masyarakat. Bentuk dan jenis hukuman penjara sekeras apapun tidak akan pernah dapat menghentikan atau mencegah setiap perbuatan asosial atau kejahatan sehebat apapun, kecuali hukuman mati.
Pendapat Pound cocok dengan pandangan tradisional masyarakat Indonesia bahwa kekuatan hukum terletak pada nilai-nilai (values) moral masyarakatnya yang masih berpegang pada nilai agama, panutan, dan adat istiadat. Sejalan dengan pendapat tersebut Lord Patrick Devlin, ahli hukum Inggris dalam perdebatan masalah moralitas dan hukum ketika membahas apakah hukum dapat memaksakan kesusilaan atau apakah kesusilaan dapat mempengaruhi hukum menyatakan bahwa hanya UU yang memerintahkannya tanpa kecuali. Perubahan norma yang dipandang baik, adil bagi masyarakat berbeda di setiap masa ke masa sehingga perubahan norma yang terjadi selalu berada dan tumbuh di dalam masyarakatnya.
Pendapat Von Savigny di awal tulisan ini kita rasakan sejak perkembangan politik era Orde Baru sampai saat Reformasi dan setelahnya melalui perubahan peraturan perundang-undangan. Contoh pada masa tahun 1960-an tidak ada kebutuhan untuk membuat UU ITE dan UU TPPU. Akan tetapi sejak 2010 dan 2011, kedua UU tersebut justru diperlukan untuk mengatur lalu lintas informasi yang juga dapat merugikan kepentingan pribadi atau masyarakat luas.
Kejahatan pencucian uang (money laundering) tidak dikenal pada era 1960-an. Namun saat ini menjadi masalah besar ketika uang hasil kejahatan diinvestasikan ke dalam proyek usaha.
Bahkan pada 2022 dan saat ini, hak setiap orang untuk memperoleh harta kekayaan serta jaminan dan perlindungan dari negara dirasakan penting dan mendesak sejak teknologi informasi dapat memasuki ruang privasi setiap anggota masyarakat tanpa sepengetahuan pemiliknya. Lalu muncul UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Namun perubahan hukum yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat itu hanya sebatas pengaturan dan penghukuman semata-mata. Belum sampai pada pandangan bahwa di balik setiap norma perubahan terdapat suatu nilai-nilai yang menjiwai norma dimaksud.
Banyak manfaat hukum yang akan diperoleh dari pengetahuan akan nilai-nilai di balik norma hukum sehingga masyarakat dapat memahami maksud dan tujuan serta substansi norma hukum dengan benar dan tidak keliru. Contoh dalam hukum pidana, setiap perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi harus memenuhi syarat penting antara lain, perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian masyarakat baik secara materiil maupun imateriil.
Pandangan terakhir dipastikan memberikan penilaian tersendiri bagi manusia yang memerlukannya. Bahwa hukum bukan lagi norma regulasi dan menghukum, melainkan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang menuju kesejahteraan lahir dan batin. Bukan hanya untuk memenuhi syahwat penguasa atau pemiliki kekuasaan semata.
Jika pemahaman masyarakat tentang hukum sudah mencapai titik tersebut maka dipastikan setiap individu dalam masyarakat akan selalu menghargai dan memuliakan hak dan kewajiban orang lain di dalam interaksi sosial satu sama lain. Pemuliaan yang dimaksud itulah yang dalam kehidupan kekinian pada umumnya telah tidak dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat kita.
Konsekuensi logis dari pandangan yang merendahkan, menyelekan serta pandangan sebelah mata terhadap hukum merupakan embrio dari bencana sosial dan skandal moralitas masyarakat. Bentuk dan jenis hukuman penjara sekeras apapun tidak akan pernah dapat menghentikan atau mencegah setiap perbuatan asosial atau kejahatan sehebat apapun, kecuali hukuman mati.
tulis komentar anda