Moralitas Hukum Pidana

Senin, 05 Juni 2023 - 19:41 WIB
loading...
Moralitas Hukum Pidana
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

KONDISI terkini dalam penegakan hukum pidana di Indonesia sangat memperihatinkan kita semua karena praktik suap dan korupsi melalui perdagangan perkara. Baik pada tahap penyidikan, sidang pengadilan pertama sampai dengan Mahkamah Agung (MA).

Peraturan Kode Etik dan UU Anti KKN, UU Anti Korupsi dan diperkuat UU Anti Pencucian Uang telah diberlakukan. Namun itu semua hanya sebatas the law in the textbook. Tidak efektif dan efisien dalam praktik (the law in action) sehingga memandulkan efek jera.

Perkembangan dan pertumbuhan hukum sebagai norma tingkah laku diawali sejak ratusan abad silam ketika bangsa-bangsa masih terbelah dalam suku-suku dengan kebiasaan dan adat istiadatnya. Perkembangan hukum dari aspek sejarah selalu tumbuh dan melekat dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya telah diakui para ahli khusus ahli sosiologi.

Ahli antropologi dan terutama ahli hukum sejak Von Savigny (1779) mengungkapkan das recht wird nicht gemacht es is und wird mit dem volke (hukum tidak perlu dibuat karena ia akan tumbuh sendiri bersama masyarakatnya). Pernyataan Savigny cocok dengan kenyataan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang sejak pertumbuhan bangsa berakar pada hukum adat setempat, jauh sebelum penjajahan Belanda.

Penjajahan telah mengubah pemikiran masyarakat tentang hukum, semula berpedoman pada hukum adat (hukum tidak tertulis) berubah kepada paham legisme di mana kehidupan manusia harus berpedoman kepada hukum tertulis (written laws).

Baik di dalam pembentukan hukum tidak tertulis maupun yang tertulis sejatinya telah dikandung unsur moral/kesusilaan masyarakatnya tentang baik dan benar, tercela atau tidak tercela. Perbedaan hakiki terletak relativitas tentang konsep dan makna kesusilaan/moralitas yang telah dijadikan internal guiding principles masyarakatnya.

Bagi sebagian besar masyarakat bangsa barat, apa yang boleh dilakukan dan tidak tabu, pada bangsa masyarakat timur sebaliknya. Contoh hidup bersama antara laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan dan pergaulan seks bebas adalah merupakan perbuatan yang diharamkan.

Dalam konteks moralitas hukum pidana terkait efektivitas dan efisiensi hukuman (punishment) telah dilakukan mulai dari pendekatan agamis, penjeraan sampai pengucilan untuk menimbulkan pertobatan dengan cara yang kejam tidak membuahkan moralitas yang sesuai dengan nilai perlindungan hak asasi manusia. Bahkan sebaliknya ditolak oleh para ahli hukum reformis pada pertengahan abad 18.

Reformasi hukum yang dikumandangkan dengan berbalut kemanusiaan dalam politik hukum pidana tidak mengubah banyak moralitas manusia. Kecuali beberapa gelintir manusia saja mengalami perbaikan rehabilitasi diri pribadi di tengah-tengah masyarakatnya.

Perlindungan dan upaya manusia untuk menegakkan perlindungan hak asasi tersebut belum juga selesai karena karakter syahwat kekuasaan (power) tidak lepas dari kekerasan (force) dan tidak lekang oleh perubahan zaman. Bahkan sampai hari ini. Prinsip balas dendam yang biasa berlaku antarsuku di Eropa, an eye for an eye, a tooth for a tooth, telah menghilang dari kosa kata peradaban abad modern.

Substitusi peradaban masyarakat kuno oleh keadilan restoratif sejak dilontarkan para ahli belum menginternalisasi ke dalam sikap dan kepribadian sosial masyarakat kita. Keinginan manusia untuk hidup damai, tenteram dan sejahtera selalu berbanding terbalik dengan hadirnya kejahatan di tengah kehidupan manusia, tidak ada yang luput dari padanya.

Cesare Lombroso (1830), seorang ahli antropologi mengatakan, manusia dilahirkan sebagai penjahat; laki-laki sebagai perampok, perempuan sebagai pelacur bukan omong kosong belaka. Kehadiran ilmu pengetahuan yang selalu mendorong keingintahuan manusia untuk meneliti seluk beluk kehidupan alam semesta yang selalu dipertanyakan tentang asal mula dan implikasinya terhadap kehidupan manusia berimbas kepada dirinya telah mendorong kemajuan ilmu-ilmu.

Dalam pencarian tersebut keyakinan akan kekuatan ilmu pengetahuan pada para ahlinya sering melebihi keyakinannya terhadap keyakinan kepada Tuhan Maha Kuasa sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya.

Munculnya Charles Darwin tentang asal usul lahirnya manusia dan teori Lombroso tentang man is borned criminal sering diyakini merupakan keunggulan manusia daripada Sang Pencipta. Pengaruh teori-teori tersebut bukan tidak nyata.

Seorang ahli filsafat hukum, Oliver Wendell Holmes mengatakan untuk mendalami hukum sejatinya harus belajar dari penjahat. Sebuah pendapat ekstrem yang mencerminkan bahwa ilmuwan khususnya hukum, sejatinya tidak memahami hukum; makna, penyebab, dan implikasinya terhadap kehidupan manusia.

Hal demikian seharusnya menjadi bagian tidak terpisah dari pemikiran angggota penegak hukum dan ahli hukum, termasuk hakim. Sehingga tidak keliru jika di semester awal pendidikan hukum telah diajarkan mata kuliah antropologi, sosiologi, serta kriminologi.

Sejarah hukum sejak terjadi revolusi keilmuan yang menentang pengaruh ajaran agama pada pertengahan abad 19 telah menuai hasilnya di abad ini. Bahkan hari ini karena sejak terbentuknya negara-bangsa (nation-state), pengaruh ajaran agama serta fungsi dan peranannya dalam ikut serta membangun pemerintahan sama sekali tidak dipertimbangkan.

Peralihan atau pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dari pemuka agama oleh politisi negara telah berlangsung lebih dari 50 abad lampau sehingga dalam ilmu hukum buatan manusia hanya mengandalkan apa yang menurut moral masyarakat adalah benar. Roscou Pound, ahli botani dan filsafat Amerika abad 19 menegaskan kekuatan norma buatan manusia sejatinya dipengaruhi moral, agama, dan lebih fokus pada kenyataan (realita) yang terjadi di sekelilingnya.

Pendapat Pound cocok dengan pandangan tradisional masyarakat Indonesia bahwa kekuatan hukum terletak pada nilai-nilai (values) moral masyarakatnya yang masih berpegang pada nilai agama, panutan, dan adat istiadat. Sejalan dengan pendapat tersebut Lord Patrick Devlin, ahli hukum Inggris dalam perdebatan masalah moralitas dan hukum ketika membahas apakah hukum dapat memaksakan kesusilaan atau apakah kesusilaan dapat mempengaruhi hukum menyatakan bahwa hanya UU yang memerintahkannya tanpa kecuali. Perubahan norma yang dipandang baik, adil bagi masyarakat berbeda di setiap masa ke masa sehingga perubahan norma yang terjadi selalu berada dan tumbuh di dalam masyarakatnya.

Pendapat Von Savigny di awal tulisan ini kita rasakan sejak perkembangan politik era Orde Baru sampai saat Reformasi dan setelahnya melalui perubahan peraturan perundang-undangan. Contoh pada masa tahun 1960-an tidak ada kebutuhan untuk membuat UU ITE dan UU TPPU. Akan tetapi sejak 2010 dan 2011, kedua UU tersebut justru diperlukan untuk mengatur lalu lintas informasi yang juga dapat merugikan kepentingan pribadi atau masyarakat luas.

Kejahatan pencucian uang (money laundering) tidak dikenal pada era 1960-an. Namun saat ini menjadi masalah besar ketika uang hasil kejahatan diinvestasikan ke dalam proyek usaha.

Bahkan pada 2022 dan saat ini, hak setiap orang untuk memperoleh harta kekayaan serta jaminan dan perlindungan dari negara dirasakan penting dan mendesak sejak teknologi informasi dapat memasuki ruang privasi setiap anggota masyarakat tanpa sepengetahuan pemiliknya. Lalu muncul UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Namun perubahan hukum yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat itu hanya sebatas pengaturan dan penghukuman semata-mata. Belum sampai pada pandangan bahwa di balik setiap norma perubahan terdapat suatu nilai-nilai yang menjiwai norma dimaksud.

Banyak manfaat hukum yang akan diperoleh dari pengetahuan akan nilai-nilai di balik norma hukum sehingga masyarakat dapat memahami maksud dan tujuan serta substansi norma hukum dengan benar dan tidak keliru. Contoh dalam hukum pidana, setiap perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi harus memenuhi syarat penting antara lain, perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian masyarakat baik secara materiil maupun imateriil.

Pandangan terakhir dipastikan memberikan penilaian tersendiri bagi manusia yang memerlukannya. Bahwa hukum bukan lagi norma regulasi dan menghukum, melainkan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang menuju kesejahteraan lahir dan batin. Bukan hanya untuk memenuhi syahwat penguasa atau pemiliki kekuasaan semata.

Jika pemahaman masyarakat tentang hukum sudah mencapai titik tersebut maka dipastikan setiap individu dalam masyarakat akan selalu menghargai dan memuliakan hak dan kewajiban orang lain di dalam interaksi sosial satu sama lain. Pemuliaan yang dimaksud itulah yang dalam kehidupan kekinian pada umumnya telah tidak dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat kita.

Konsekuensi logis dari pandangan yang merendahkan, menyelekan serta pandangan sebelah mata terhadap hukum merupakan embrio dari bencana sosial dan skandal moralitas masyarakat. Bentuk dan jenis hukuman penjara sekeras apapun tidak akan pernah dapat menghentikan atau mencegah setiap perbuatan asosial atau kejahatan sehebat apapun, kecuali hukuman mati.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1751 seconds (0.1#10.140)