UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang: Solusi Atau Masalah

Senin, 29 Mei 2023 - 13:12 WIB
Pencarian faktor penyebab inefisiensi dan inefektivitas usaha pemerintah tersebut dipicu oleh pertama, kesadaran berhukum dari masyarakat pada umumnya, khususnya pelaku usaha masih rendah cenderung apatis dan skeptis terhadap ancaman bahaya yang mengintai kehidupan bangsa dan negara di masa kini dan masa depan. Kedua, sarana dan prasarana teknologi informasi modern belum dimiliki K/L di seluruh Indonesia, dan ketiga, keterbatasan dana APBN untuk membayar biaya yang tinggi sebagai konsekuensi logis dari perjuangan pemerintah terhadap kedua kejahatan tersebut terbukti tidak efisien dan tidak efektif.

Masih terdapat kekeliruan memahami masalah kejahatan yang bersifat sistematis dan berdampak luas dalam masyarakat termasuk di kalangan para ahli terutama ahli hukum, seolah-olah kedua kejahatan yang terjadi adalah urusan hukum semata-mata dan para ahli hukum dan bagi ahli hukum masalah tersebut hanya dipandang sebagai masalah penegakan hukum. Tidak dipahami bahwa sesungguhnya masalah penegakan hukum tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masalah penegakan moralitas dan etika dalam kelembagaan penegak hukum. Hubungan interelasi antara moralitas dan hukum telah diakui sejak abad 17 di benua Eropa akan tetapi khususnya di Indonesia memang sering diucapkan.

Di dalam Konstitusi UUD45 yang merupakan landasan konstutisonal bernegara. Hal tersebut tidak sekalipun dicantumkan secara eksplisit termasuk di dalam Bab XA UUD 45, kecuali di dalam ketentuan Pasal 28 J UUD 45 untuk menegaskan bahwa nilai moral dan agama sebagai tolok ukur batasan atas hak dan kebebasan asasi manusia Indonesia. Dalam situasi dan kondisi pemerintah dan masyarakat menghadapi kejahatan-kejahatan tersebut, tampak berada dalam keadaan “trial and error” dan juga di dalam Konstitusi UUD 45, tidak ada jaminan dan kewajiban setiap orang untuk mengikuti pendidikan moral dan agama sejak di bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Pendidikan moral dan etika sesungguhnya terjadi sejak pendidikan di dalam keluarga. Indonesia kini menghadapi yang disebut “obesitas regulasi” tanpa kredibilitas dan miskin moralitas pada aparatur hukumnnya termasuk hakim dan hakim agung terbukti dari keterlibatan mereka dalam kasus korupsi. Data KPK menunjukkan bahwa pada tahun 2000-2020 sekitar lebih dari seratus oknum APH terlibat korupsi. Peristiwa korupsi Proyek Based Transceiver System (BTS) pada Kominfo merupakan contoh konkret tingkat keseriusan korupsi di Indonesia.

Bagaimana meneguhkan ketahanan moralitas di kalangan birokrasi termasuk pinpinan K/L setingkat menteri termasuk masalah kepemimpinan (leadership) dari setiap pimpinan K/L di bawah seorang Presiden. Dalam pemberantasan KKN, Indonesia termasuk yang terlengkap dari sisi peraturan perundang-undangannya dibandingkan dengan negara tetangga se-ASEAN bahkan Kepala BPR Malaysia ketika membaca UU KPK dengan segala kewenangan yang sangat luas bisa menangkap pejabat setingkat menteri telah memberikan apresiasi bahwa UU semacam ini tidak akan terjadi di negerinya karena jiika BPR menangkap dan menahan pejabat setingkat menteri harus seizin Menteri Dalam Negeri.

Di dalam praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan dilanjutkan dengan terhadap tindak pidana pencucian uang bukan perkara mudah karena sejak penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan asal (predicate offense) memerlukan ketelitian dan kecermatan menghitung waktu termasuk masa penahanan sementara dan pengumpulan alat bukti dan keterangan saksi-saksi sampai puluhan saksi jika kualitas tipikor sangat rumit, persidangan perkara korupsi telah ditetapkan MA paling lama enam bulan terhitung sejak sidang pertama di PN Tipikor.

Proses penggeledahan, penelusuran, dan pemblokiran rekening para pelaku tipikor merupakan modal awal yang dapat memudahkan perampasan aset melalui UU Antipencucian Uang. Namun sampai saat ini dalam UU TPPU belum diatur memadai proses pembuktian TPPU terutama ketentuan mengenai hukum acara beban pembuktian terbalik (reversal of burden of proof). Data perkara TPPU sampai tahun 2023 tidak lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi sehingga tujuan pengembalian keuangan negara karena korupsi belum maksimal, belum ditambah beban biaya perkara yang telah dikeluarkan negara.

Akhir dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang fakta membuktikan bahwa telah terjadi “besar pasak dari tiang” jika tidak segera diambil langkah hukum terobosan dalam menangani perkara korupsi dan pencucian uang dan dipastikan akan semakin memperluas kesenjangan antara pemasukan uang kepada negara dan anggaran biaya operasional ketigal lembaga penegak hukum yang telah dikeluarkan.
(kri)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More