Pakar Hukum Minta Pengadilan di Indonesia Hindari Vonis Mati
Senin, 22 Mei 2023 - 16:41 WIB
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyampaikan, selain belum jelasnya keberlakuan masa percobaan, catatan terhadap pidana mati dalam UU 1/2023 juga menyasar pada cara menilai kelakuan baik terpidana mati. Penilaian yang positif merupakan tiket bagi terpidana mati untuk selamat dari eksekusi karena Pasal 100 ayat (4) UU 1/2023 mengatur kewenangan presiden untuk mengubah pidana mati menjadi penjara seumur hidup bagi mereka yang berkelakuan terpuji.
Nella Sumika Putri, Ketua Pusat Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menyoroti sumirnya ketentuan penilaian perilaku terpidana mati dalam UU 1/2023. Terutama pada beberapa kategori penilaian yang mungkin bersifat subjektif.
"Bagaimana menilai seseorang berkelakuan terpuji dalam sel penjara? Siapa yang berwenang melakukan penilaian? Apa saja parameternya?" ujar Nella.
Ia juga mempertanyakan parameter mengirimkan seorang terpidana mati ke lapangan eksekusi. Karena itu, ia meminta negara benar-benar memikirkan dengan matang apa saja parameter yang dapat digunakan negara untuk memutuskan kapan seorang terpidana mati layak dieksekusi dan tidak dapat diberi kesempatan untuk hidup.
"Tentunya hal ini perlu diperjelas dengan parameter yang lebih terukur secara objektif," kata Nella.
Selaras dengan pandangan Nella, Muhammad Tanziel Aziezi dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menilai, tata cara menilai perilaku terpidana mati akan dilakukan dalam peraturan pelaksana. Misal, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Penilaian ini perlu dipertegas untuk mencegah celah-celah korupsi baru. Jangan sampai penilaian dilakukan secara subjektif saja.
"Tantangannya sekarang bagaimana kita bisa menilai sikap dan pikiran seseorang secara objektif," kata Aziezi.
Selain dari pelaksanaan masa percobaan yang membutuhkan peraturan pelaksana, para akademisi hukum juga mengusulkan pentingnya peraturan pelaksana bagi kejaksaan dan pengadilan menggunakan pidana mati pasca-berlakunya UU 1/2023.
Pohan mengingatkan, dalam KUHP baru pidana mati dituliskan sebagai pidana yang bersifat khusus. Artinya sebisa mungkin ia tidak digunakan. "Dari desainnya penerapan pidana mati harus mengutamakan kepentingan individu, selektif, dan hati-hati," katanya.
Ia mengusulkan beberapa parameter yang dapat digunakan oleh hakim, seperti tidak dijatuhkan atas dasar diskriminasi, tidak ditemukan dugaan pelanggaran hak hukum terdakwa selama proses pidana berlangsung, dan dijatuhkan hanya kepada residivis (pelaku berulang) dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara untuk waktu tertentu.
Nella Sumika Putri, Ketua Pusat Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menyoroti sumirnya ketentuan penilaian perilaku terpidana mati dalam UU 1/2023. Terutama pada beberapa kategori penilaian yang mungkin bersifat subjektif.
"Bagaimana menilai seseorang berkelakuan terpuji dalam sel penjara? Siapa yang berwenang melakukan penilaian? Apa saja parameternya?" ujar Nella.
Ia juga mempertanyakan parameter mengirimkan seorang terpidana mati ke lapangan eksekusi. Karena itu, ia meminta negara benar-benar memikirkan dengan matang apa saja parameter yang dapat digunakan negara untuk memutuskan kapan seorang terpidana mati layak dieksekusi dan tidak dapat diberi kesempatan untuk hidup.
"Tentunya hal ini perlu diperjelas dengan parameter yang lebih terukur secara objektif," kata Nella.
Selaras dengan pandangan Nella, Muhammad Tanziel Aziezi dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menilai, tata cara menilai perilaku terpidana mati akan dilakukan dalam peraturan pelaksana. Misal, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Penilaian ini perlu dipertegas untuk mencegah celah-celah korupsi baru. Jangan sampai penilaian dilakukan secara subjektif saja.
"Tantangannya sekarang bagaimana kita bisa menilai sikap dan pikiran seseorang secara objektif," kata Aziezi.
Selain dari pelaksanaan masa percobaan yang membutuhkan peraturan pelaksana, para akademisi hukum juga mengusulkan pentingnya peraturan pelaksana bagi kejaksaan dan pengadilan menggunakan pidana mati pasca-berlakunya UU 1/2023.
Pohan mengingatkan, dalam KUHP baru pidana mati dituliskan sebagai pidana yang bersifat khusus. Artinya sebisa mungkin ia tidak digunakan. "Dari desainnya penerapan pidana mati harus mengutamakan kepentingan individu, selektif, dan hati-hati," katanya.
Ia mengusulkan beberapa parameter yang dapat digunakan oleh hakim, seperti tidak dijatuhkan atas dasar diskriminasi, tidak ditemukan dugaan pelanggaran hak hukum terdakwa selama proses pidana berlangsung, dan dijatuhkan hanya kepada residivis (pelaku berulang) dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara untuk waktu tertentu.
tulis komentar anda