Keamanan Data di Tengah Tsunami Digital
Selasa, 16 Mei 2023 - 11:45 WIB
Jika mengacu pada laporan National Cyber Security Index (NCSI), skor indeks keamanan siber Indonesia ke-3 terendah di antara seluruh negara G20. Sementara secara global, Indonesia menempati peringkat ke-83 dari 160 negara.
Dengan kondisi yang sangat rentan tersebut, maka sangat mengherankan memang jika Menteri Komunikasi dan Informatika, Jhonny G Plate, pernah menyebut keamanan siber bukan mandat di Forum Digital Economy Working Group (DEWG) G20. Pernyataan tersebut menimbulkan kesan belum seriusnya penanganan kejahatan dunia maya.
Riset yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company berjudul eConomy SEA 2022 akhir 2022 kemarin menunjukkan, nilai ekonomi digital Indonesia dipercaya akan terus ngacir dan mencapai USD77 miliar setara dengan Rp1.197,8 triliun. Angka yang merefleksikan sekitar 5,7% dari produk domestik bruto Indonesia.
Belum lagi jika dilihat dari pertumbuhan pengguna jasa pinjaman daring. Yang sejak 2018, pertumbuhannya selalu di atas 100%. Hingga Maret 2021 saja, jumlahnya sudah mencapai 55 juta nasabah. Bisa dibayangkan, berapa jumlahnya sekarang.
Dalam perbincangan hangat dengan seorang pejabat salah satu bank syariah sebelum terjadinya merger, saya diberitahu jika sempat terjadi pertumbuhan luar biasa pengguna transaksi digital di Indonesia melalui bank syariah. Hebatnya, sebagian besarnya berasal dari kalangan milenial. Kala itu, dia pun tidak tahu apakah itu cuma trend atau ada semacam kesadaran spiritual.
Apapun alasannya, booming ekonomi digital memang telah melahirkan tsunami digital. Masa dimana terjadi ledakan data dan informasi. Terjadi penambahan kuantitas besar data yang terus mengalir dan meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi melalui berbagai platform digital.
Tsunami digital terjadi sebagai hasil dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Semakin banyak perangkat yang terhubung ke internet, semakin banyak data yang dihasilkan, baik oleh manusia maupun oleh mesin. Data tersebut dihasilkan melalui berbagai sumber, seperti media sosial, aplikasi, website, sensor IoT, dan perangkat lainnya. Oleh karena itu, volume data yang dihasilkan semakin besar dan meningkat setiap tahunnya.
Tsunami digital tidak hanya mengacu pada kuantitas data, tetapi juga soal tantangan dalam mengelola dan memproses data tersebut. Dalam era tsunami digital, data harus dikumpulkan, dianalisis, dan diolah dengan cepat dan akurat agar bisa memberikan nilai tambah bagi bisnis dan masyarakat secara keseluruhan.
Dengan kondisi yang sangat rentan tersebut, maka sangat mengherankan memang jika Menteri Komunikasi dan Informatika, Jhonny G Plate, pernah menyebut keamanan siber bukan mandat di Forum Digital Economy Working Group (DEWG) G20. Pernyataan tersebut menimbulkan kesan belum seriusnya penanganan kejahatan dunia maya.
Tsunami Digital
Padahal semua juga tahu, jika lalu lintas data internet di dunia akan semakin ramai dan padat, termasuk di Indonesia. Hal ini jelas karena semakin bertambahnya jumlah pengguna internet. Pada 2023, pengguna internet dunia sudah mencapai 5,16 miliar orang (We are Social). Sedang di Indonesia, mencapai 215,63 juta pengguna (APJII, 2023).Riset yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company berjudul eConomy SEA 2022 akhir 2022 kemarin menunjukkan, nilai ekonomi digital Indonesia dipercaya akan terus ngacir dan mencapai USD77 miliar setara dengan Rp1.197,8 triliun. Angka yang merefleksikan sekitar 5,7% dari produk domestik bruto Indonesia.
Belum lagi jika dilihat dari pertumbuhan pengguna jasa pinjaman daring. Yang sejak 2018, pertumbuhannya selalu di atas 100%. Hingga Maret 2021 saja, jumlahnya sudah mencapai 55 juta nasabah. Bisa dibayangkan, berapa jumlahnya sekarang.
Dalam perbincangan hangat dengan seorang pejabat salah satu bank syariah sebelum terjadinya merger, saya diberitahu jika sempat terjadi pertumbuhan luar biasa pengguna transaksi digital di Indonesia melalui bank syariah. Hebatnya, sebagian besarnya berasal dari kalangan milenial. Kala itu, dia pun tidak tahu apakah itu cuma trend atau ada semacam kesadaran spiritual.
Apapun alasannya, booming ekonomi digital memang telah melahirkan tsunami digital. Masa dimana terjadi ledakan data dan informasi. Terjadi penambahan kuantitas besar data yang terus mengalir dan meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi melalui berbagai platform digital.
Tsunami digital terjadi sebagai hasil dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Semakin banyak perangkat yang terhubung ke internet, semakin banyak data yang dihasilkan, baik oleh manusia maupun oleh mesin. Data tersebut dihasilkan melalui berbagai sumber, seperti media sosial, aplikasi, website, sensor IoT, dan perangkat lainnya. Oleh karena itu, volume data yang dihasilkan semakin besar dan meningkat setiap tahunnya.
Tsunami digital tidak hanya mengacu pada kuantitas data, tetapi juga soal tantangan dalam mengelola dan memproses data tersebut. Dalam era tsunami digital, data harus dikumpulkan, dianalisis, dan diolah dengan cepat dan akurat agar bisa memberikan nilai tambah bagi bisnis dan masyarakat secara keseluruhan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda