Pakar IPB: Independensi Aturan Pangan Indonesia Harus Tetap Dijaga
Sabtu, 13 Mei 2023 - 20:11 WIB
Apa yang terjadi terhadap cemaran EtO pada mie instan ini seharusnya juga diperlakukan sama dengan isu Bisfenol A (BPA) pada produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon guna ulang. BPOM dalam produk ini terkesan menerapkan kebijakan berbeda, yang seakan memaksa Indonesia untuk mengikuti standar dari negara lain.
Sebagaimana diketahui bebrapa tahun belakangan BPOM gencar menyosialisasikan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang dan menggunakan standar EFSA sebagai referensi. “Sama dengan etilen oksida, angka standar aman dari cemaran BPA pada produk pangan itu juga berbeda-beda di setiap negara. Indonesia mempunyai standar sendiri, begitu juga dengan negara-negara lain,” tukas Purwiyanto.
Senada, anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi Universitas Al-Irsyad Cilacap mengatakan, setiap negara itu memiliki kewenangan dalam menetapkan standar keamanan pangan di negaranya masing-masing. Hal itu disebabkan adanya faktor yang berbeda-beda yang digunakan masing-masing negara itu dalam menetapkan ambang batas aman cemaran kimia yang masih bisa ditoleransi ada dalam produk pangan.
“Seperti apa yang terjadi terhadap salah satu produk mie instan kita di Taiwan yang menganggap residu 2-CE yang ditemukan dalam produk itu berbahaya bagi kesehatan. Tapi, Indonesia menganggap residu ini tidak tidak begitu membahayakan karena sifatnya yang mudah menguap. Perbedaan standar seperti ini adalah wewenang masing-masing negara dan tidak bisa dipaksakan agar diterapkan juga di negara lain,” cetusnya.
Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin juga berpikiran yang sama. Menurutnya, Indonesia tidak perlu harus mengikuti perkembangan luar negeri dalam menetapkan keamanan pangan. “Indonesia punya kriteria sendiri untuk menetapkan ambang batas aman produk pangannya,” ujarnya.
Dia mencontohkan terhadap isu BPA di mana Indonesia seharusnya tidak menjadikan standar-standar yang ditetapkan di negara lain untuk diterapkan juga di Indonesia. “Daya tahan tubuh masyarakat di setiap negara itu berbeda-beda. Kalau dengan standar yang sudah ada masyarakat selama ini aman untuk mengonsumsi produk tersebut, ngapain harus sibuk lagi untuk mengubah kebijakan untuk mengikuti standar dari negara lain?” tukasnya.
Jadi, Zainal menyarankan agar penetapan ambang batas cemaran kimia produk pangan itu mengacu pada penelitian yang dilakukan di negara masing-masing. “Karena, kondisi lingkungan masing-masing negara itu sangat mempengaruhi standar yang dikatakan aman bagi setiap produk pangan untuk bisa dikonsumsi masyarakat dengan tidak membahayakan kesehatan,” katanya.
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Ahmad Sulaeman, juga mengatakan peraturan yang ada di Indonesia telah mengizinkan keberadaan BPA di dalam kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan dan menjadi cemaran pada pangan maksimum 0,6 bpj.
“Jadi, Indonesia tidak perlu mengikuti standar dari negara lain yang belum tentu cocok untuk digunakan sebagai standar aman pangan di Indonesia,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui bebrapa tahun belakangan BPOM gencar menyosialisasikan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang dan menggunakan standar EFSA sebagai referensi. “Sama dengan etilen oksida, angka standar aman dari cemaran BPA pada produk pangan itu juga berbeda-beda di setiap negara. Indonesia mempunyai standar sendiri, begitu juga dengan negara-negara lain,” tukas Purwiyanto.
Senada, anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi Universitas Al-Irsyad Cilacap mengatakan, setiap negara itu memiliki kewenangan dalam menetapkan standar keamanan pangan di negaranya masing-masing. Hal itu disebabkan adanya faktor yang berbeda-beda yang digunakan masing-masing negara itu dalam menetapkan ambang batas aman cemaran kimia yang masih bisa ditoleransi ada dalam produk pangan.
“Seperti apa yang terjadi terhadap salah satu produk mie instan kita di Taiwan yang menganggap residu 2-CE yang ditemukan dalam produk itu berbahaya bagi kesehatan. Tapi, Indonesia menganggap residu ini tidak tidak begitu membahayakan karena sifatnya yang mudah menguap. Perbedaan standar seperti ini adalah wewenang masing-masing negara dan tidak bisa dipaksakan agar diterapkan juga di negara lain,” cetusnya.
Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin juga berpikiran yang sama. Menurutnya, Indonesia tidak perlu harus mengikuti perkembangan luar negeri dalam menetapkan keamanan pangan. “Indonesia punya kriteria sendiri untuk menetapkan ambang batas aman produk pangannya,” ujarnya.
Dia mencontohkan terhadap isu BPA di mana Indonesia seharusnya tidak menjadikan standar-standar yang ditetapkan di negara lain untuk diterapkan juga di Indonesia. “Daya tahan tubuh masyarakat di setiap negara itu berbeda-beda. Kalau dengan standar yang sudah ada masyarakat selama ini aman untuk mengonsumsi produk tersebut, ngapain harus sibuk lagi untuk mengubah kebijakan untuk mengikuti standar dari negara lain?” tukasnya.
Jadi, Zainal menyarankan agar penetapan ambang batas cemaran kimia produk pangan itu mengacu pada penelitian yang dilakukan di negara masing-masing. “Karena, kondisi lingkungan masing-masing negara itu sangat mempengaruhi standar yang dikatakan aman bagi setiap produk pangan untuk bisa dikonsumsi masyarakat dengan tidak membahayakan kesehatan,” katanya.
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Ahmad Sulaeman, juga mengatakan peraturan yang ada di Indonesia telah mengizinkan keberadaan BPA di dalam kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan dan menjadi cemaran pada pangan maksimum 0,6 bpj.
“Jadi, Indonesia tidak perlu mengikuti standar dari negara lain yang belum tentu cocok untuk digunakan sebagai standar aman pangan di Indonesia,” pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda