Komnas Anak Minta BPOM Labeli BPA dan Etilen Glikol di Kemasan Plastik

Minggu, 11 Desember 2022 - 16:26 WIB
loading...
Komnas Anak Minta BPOM...
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melabeli semua kemasan pangan plastik yang mengandung zat-zat berbahaya seperti Bisfenol A (BPA) dan etilen glikol (EG). Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Komnas Perlindungan Anak meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) melabeli semua kemasan pangan plastik yang mengandung zat-zat berbahaya seperti Bisfenol A (BPA) dan etilen glikol (EG). Pasalnya, kandungan zat-zat kimia itu berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak yang mengonsumsi produknya.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa Komnas Perlindungan Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya BPA dan etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. “Kami sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita sakit karena makanan yang dikonsumsinya,” ujar Arist Merdeka Sirait, Minggu (11/12/2022).

Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dia membeberkan ada sekitar 152 anak yang dinyatakan positif gagal ginjal karena telah mengonsumsi sirop obat batuk yang mengandung zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi batas ambang aman yang ditetapkan BPOM. Sementara itu, IDAI Jawa Timur dan Malang melaporkan dari 13 anak gagal ginjal, 10 di antaranya yang berada di Surabaya meninggal dunia.





Selain itu, Ddi Malang dari 6 anak yang ditemukan gagal ginjal 2 meninggal dunia. Di Jogja, ada 5 anak yang berumur di bawah 5 tahun meninggal dunia. Kemudian, di Rumah Sakit Adam Malik Sumatera, dari 11 anak gagal ginjal 6 di antaranya meninggal dunia.

“Ini masih dicari penyebabnya. Kalau memang itu nanti ada dampak dari etilen glikol, saya kira ini harus menjadi perhatian IDAI untuk merekomendasikan kepada Badan POM sebagai pemegang regulasi untuk mengadakan penelitian terhadap semua kemasan pangan yang mengandung etilen glikol,” ucapnya.

Dia juga meminta agar BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan ‘berpotensi mengandung etilen glikol’ terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol. Hal tersebut dinilai perlu untuk mengantisipasi lebih banyak lagi anak-anak di Indonesia yang meninggal atau mengalami gagal ginjal akibat mengonsumsi produk-produk yang dikemas dalam kemasan pangan yang mengandung EG dan DEG ini.

Dia menambahkan, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi BPOM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi supaya masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu. “Karena kemasan pangan termasuk plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, dan lain-lain, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” imbuhnya.

Dia mengatakan bahwa pihaknya melihat banyaknya produk plastik yang mengandung etilen glikol yang dikonsumsikan oleh anak-anak, baik bayi dan balita. “Kami juga akan terus mengampanyekan bahaya etilen glikol ini ke masyarakat. Semua produk yang digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk plastik termasuk plastik sekali pakai itu harus ada peringatan bahwa kemasan itu mengandung etilen glikol pada labelnya,” ungkapnya.

Selain etilen glikol, zat berbahaya lainnya yang harus diawasi BPOM adalah kemasan-kemasan pangan yang mengandung BPA. Dia menilai kemasan ini juga perlu pelabelan yang sama seperti etilen glikol.

Lebih lanjut dia mengatakan, akumulasi BPA yang terkandung dari plastik dapat menyebabkan kanker payudara, merusak janin, gangguan hormonal pada orang dewasa, dan juga mengganggu kesuburan, dan menghasilkan embrio dengan kualitas rendah. Dia melanjutkan, selain orang dewasa, risiko penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA bisa menyebabkan gangguan di otak dan kelenjar prostat pada janin, bayi, dan anak-anak.

Dirinya mengaku ingin membangun kesadaran orang tua agar lebih bijak dalam memilih barang yang dikonsumsi anak, karena sistem kekebalan tubuh anak belum sempurna seperti orang dewasa. “Bahan kimia ini juga bisa memicu perubahan perilaku anak. Korelasi gangguan perilaku yang lebih besar terjadi antara usia nol sampai 12 tahun,” kata dia.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1625 seconds (0.1#10.140)